15 Januari 2012

*♧°˚♥˚˚°♧ Menggapai Cinta Allah.*♧°˚♥˚˚°♧



Hasan al Bashri pernah berungkap :

“Barang siapa yang mengenali Rabb-nya, maka ia pasti akan mencintai-Nya. Karena itu barang siapa yang mencintai selain Allah, tidak dia nisbahkan kepada Allah, maka ini menunjukkan kebodohan dan lemahnya pengenalan (ma’rifah) dia kepada Allah.

Dari ungkapan Hasan al Bishri di atas, kita memahami bahwa cinta kepada Allah itu hanya akan hadir manakala kita telah menghadirkan dua prinsip dalam kehidupan ini, yaitu :
  1. Ma’rifatullah (mengenali Allah) secara utuh di dalam jiwa.
  2. Menyingkirkan seluruh perintangdan penghalang cinta kepada Allah, yakni dunia dengan segala gemerlap uthopianya.
Dunia, dalam pandangan hamba beriman, hanyalah bayangan “keindahan” di dalam air. Ia ada hanya dalam prasangka. Sebab segala sesuatu selain Allah itu pada hakikatnya “tidak ada”, yang “ada” hanyalah Allah.

Seorang ulama ahli hikmah pernah berujar : “Keberadaan ciptaan Allah ini seperti sebuah bayangan pohon didalam air, ia tidak akan bisa menghalangi jalan perahu yang melintasinya.

Karena itu tidak ada satu benda pun yang bisa menghalangi seorang hamba di dalam berjalan menuju Allah, kecuali kalau ia menyangka bayangan itu sebagai kenyataan yang betul-betul “ada”
Memang ketika dunia yang “tiada” ini  dianggap “ada”, maka dunia tidak akan pernah sunyi untuk sekedar dipergunakan buat merenung dan berfikir sekalipun.

Suaranya  teramat gaduh, berisik, membuat telinga menjadi pekak dan tuli, bahkan gelegarnya bisa merontokkan dinding dan benteng pertahanan iman. Fatamorgananya pun sangat menyilaukan,  membuat perih di mata, sehingga selalu gagal mengais, menemukan dan memungut kebenaran. Jasad pun harus bersimbah peluh ketakutan, kecemasan, kebimbangan dan keputus-asaan.



Ya Allah jauhkan kami dari tipu daya dunia yang menghalang-halangi kami untuk menuai keindahan-Mu dalam naungan Rahmat dan Ridha-Mu.


*♧°˚♥˚˚°♧ Pengaruh Cinta Kepada Allah *♧°˚♥˚˚°♧

Cinta kepada Allah (Mahabbatullah), sebagaimana pernah diungkapkan oleh Al Muqaddasi dalam Mukhtashar Minhaj al Qashidin, adalah puncak iman (al Ghayah al Qushwa). Di atas puncak itulah kita akan merasakan berjuta keindahan dan kelezatan ruhani, yang tidak bisa digambarkan dan dipahami oleh siapapun kecuali oleh orang yang telah sampai ke sana

˚♥˚ Ibarat perahu yang mengarungi samudra, maka Mahabbatullah adalah labuhan iman.˚♥˚

Di situlah iman akan melabuhkan dirinya, dan di situ pulalah iman akan mereguk sejuta kenikmatan, kelezatan dan juga keindahan, yang tak akan mungkin dirasakan oleh iman yang belum melabuhkan diri dalam labuhan Mahabbatullah ini  (Ya Allah bimbing hamba-Mu ini untuk selekasnya melabuhkan iman kami dalam labuhan cinta kepada-Mu)

Karena Mahabbatullah ini merupakan al Ghayatul Qushwa, maka sudah menjadi sebuah keniscayaan kalau dia akan menghadirkan nuansa-nuansa indah yang sarat dengan sentuhan-sentuhan samawi, di antaranya :
  1. Kelezatan spiritual yang tiada tara di setiap kali seorang Muslim mewujudkan penghambaan dirinya, khususunya, dalam amaliyah ibadah mahdhah, seperti shalat, zakat, shaum, hajji, dzikir, tilawah al Qur’an dan lain sebagainya. Baginya ibadah mahdhah itu merupakan media bersua dengan Sang Kekasih.  Saat itulah jiwanya akan terbang ke alam malakut untuk “bercengkerama” dengan-Nya, menyampaikan keluh kesahnya, pengharapannya, kecemasannya dan juga cinta kasihnya serta memahami kehendak-kehendak-Nya atas dirinya. Karena itu ibadah mahdhah, bagi seorang Muslim,   bukanlah sebuah beban,   melainkan  kebutuhan asasi,   yang dengannya kerontang ruhani akan terbasahi, gelisah rindu akan terobati dan kedamaian sukmawi akan termiliki.
  2. Terjauhkan dari perilaku-perilaku yang tidak disukai oleh Sosok yang dicintai, baik itu ma’hiyat, dosa, perilaku sia-sia dan sejenisnya, bahkan di hatinya akan terhunjam  kebencian kepada semua tersebut.
  3. Selalu mengingat dan menyebut Asma’(Nama) Allah yang penuh dengan Keagungan di setiap amaliyah yaumiyah (aktivitas harian).
  4. Rela dan ridha terhadap semua yang telah  digariskan oleh Allah Ta’ala.
  5. Merindukan perjumpaan “hakiki” dengan Allah Sang Kekasih. Jalan untuk menuju perjumpaan tersebut bernama “maut” (kematian). Karena itu tidak ada peristiwa yang paling dirindukan dalam hidup di dunia ini kecuali peristiwa kematian.
  6. Terajutnya tautan hati yang kokoh dengan sesama yang juga mencitai Allah, yang karenanya akan tercipta ‘alaqah akhawiyah [hubungan persaudaraan] yang indah.
  7. Menimbulkan rasa kasih terhadap sesama yang belum mampu mencintai Allah.
                                                         *♧°˚♥˚˚°♧*♧°˚♥˚˚°♧*♧°˚♥˚˚°♧

Tidak ada komentar:

Posting Komentar