23 Desember 2019

Tidak Menghargai

BismillahirRohmaanirRohiim

T I  D  A  K      M E N G H A R G A I

Pernahkah anda berbuat sesuatu lantas perbuatan anda tidak dihargai oleh orang disekitar anda ? Bahkan keluarga terdekat atau org terdekat andapun cuek tidak menghargaimu.
Namun mereka semua menikmati hasil karyamu....
Bagaimanakah perasaanmu ?
Kesalkah, marahkah, kecewakah, atau bahkan kapok...?
Menyalahkan lingkungankah ?

Begitulah hakekat rasa Dunia...
Dunia memang penuh dengan tipu daya....termasuk isinya..
Maka apabila berbuat, berbuatlah untukNYA saja...buktikan laa illaha ilallaah dg perbuatan, bukan hanya dilidah saja....

Lihatlah sejarah para kekasih Allah...
Apakah mereka mengharapkan penghargaan dari Manusia ?
Enggak...
Apakah perbuatan karya besar mereka dihargai atau disyukuri oleh manusia ?
Enggak....
Walaupun ada yg bersyukur, itu hanya sedikit..
Selebihnya, dinikmati oleh manusia manusia berwajah dan berhati binatang...yg hanya bisa menikmati tanpa bisa berterimakasih....
Berterimakasih sama Manusia saja tidak mampu, apalagi sama Allah sang pencipta ...
Nah...
Apakah anda ingin di puji oleh para manusia yg hakekatnya  berhati dan berwajah binatang ? Mereka manusia yg tidak pernah menyadari kehadiran dirinya dg rasa syukur pdNYA dimuka Bumi....namun ingin disyukuri dan haus dengan aneka pujian dari manusia...krn orientasi hidupnya adalah sebatas Dunia......akhirat masih jauh....
Hmmm....
Na'udzubillahi min dzaalik...

Ketahuilah...
Syukur itu termasuk perwujudan AKHLAK MULIA...
Syukur...berterimakasih pd Allah, diwujudkan dg menghargai perbuatan hambaNYA, dg memujiNYA melalui sang hamba...

Hakekat  tdk menghargai itu sama saja dg tdk menghargai dirinya sendiri...
Kalau dirinya sendiri saja sudah tidak dihargai, dia akan tampil bagaikan pisau terbang yang pastinya akan melukai dirinya sendiri dan melukai orang sekitar, dijadikan  mudharat olehNYA untuk lingkungan sekitarnya  sesuai dg rencanaNYA saja.....
Yaaa..sesuai rencaraNYA dong, bukankah hanya  Allah Ta'ala saja  yang dapat memunculkan manfaat dan mudharat...?

Ini nasihat buat diri sendiri saja....
Wahai diri....
Jangan bersedih ketika kamu tidak dihargai....
Jangan kecewa ketika perjuangan dan pengorbananmu tidak dihargai.....
Hakekat kecewa timbul  ketika perbuatan yang  dilakukan belum di sertai ke ikhlasan, sehingga ber efek rasa menyakitkan hati...dan kesadaran Ruhani, kesadaran Ilahiyah  belum merambah ke seluruh sel lahir batinmu....
Wahai jiwa, sadarilah bahwa dirimu belum sejiwa dengan Ruhanimu...
Sadarilah bahwa Allah Maha Mensyukuri..  yaaa Syakuur.........
 bisakah menyadari ini  sesadar sadarnya wahai jiwa ?
Apabila telah sadar, tentu kamu tdk akan pernah kecewa setingkat dewa walau sekitarmu tidak pernah menghargai hasil karyamu...bahkan orang terdekatmu melupakanmu, cuek, tidak menghargai seluruh pengorbananmu, bahkan kurang kurang dan kurang...ini semua tidak akan ber efek kepadamu..tidak ngefek gitu loh...paham !
Ketahuilah...
Hakekat hasil karyamu adalah karyanya Allah Ta'ala saja, perbuatanNYA saja...bukan perbuatanmu,..lantas mengapa minta dihargai ?
Mengapa tidak bersyukur pd yang Maha Syukur bahwa DIA telah meminjam jiwa ragamu untuk sebuah karya cipta ciptaanNYA saja...
Lah kalau kamu tidak dihargai, berarti mereka tidak menghargai Allah...krn Allah yang berkarya..itu urusan Allah sajalah....

Siapapun yang tidak menghargai Allah ta'ala, sama dengan tidak mensyukuri Allah..... Allah pasti akan membereskan semua itu dengan caraNYA.,,pastiiiiii....
Bukankah Allah Maha Adil ? 

Laa Illaha Ilallaah..,
Maha Agung Allah, Maha Kasih Allah...
Dunia hanyalah fatamorgana ...
Tertipu oleh Dunia bagi jiwa yang tidak Sadar Allah...

Wallahu a'lam bish showwab
Shollu 'ala Nabi Sholallahu 'alaiyhi wasallam

Surabaya 23 Des 2019
Waktu Subuh
Al Faqir ,...binti Waluyo...

05 Desember 2019

Nafsu Halus

بِسْــــــــــــــــــــــمِ اللّهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ

*NAFSU TERSEMBUNYI*

Beberapa pakar sejarah Islam meriwayatkan sebuah kisah menarik. Kisah Ahmad bin Miskin, seorang ulama abad ke-3 Hijriah dari kota Basrah, Irak. Beliau bercerita:

Aku pernah diuji dengan kemiskinan pada tahun 219 Hijriyah. Saat itu, aku sama sekali tidak memiliki apapun, sementara aku harus menafkahi seorang istri dan seorang anak. Lilitan hebat rasa lapar terbiasa mengiringi hari-hari kami.

Maka aku bertekad untuk menjual rumah dan pindah ke tempat lain. Akupun berjalan mencari orang yang bersedia membeli rumahku.

Bertemulah aku dengan sahabatku Abu Nashr dan kuceritakan kondisiku. Lantas, dia malah memberiku 2 lembar roti isi manisan dan berkata: “Berikan makanan ini kepada keluargamu.”

Di tengah perjalanan pulang, aku berpapasan dengan seorang wanita fakir bersama anaknya. Tatapannya jatuh di kedua lembar rotiku. Dengan memelas dia memohon:

“Tuanku, anak yatim ini belum makan, tak kuasa terlalu lama menahan rasa lapar yang melilit. Tolong beri dia sesuatu yang bisa dia makan. Semoga Allah merahmati Tuan.”

Sementara itu, si anak menatapku polos dengan tatapan yang takkan kulupakan sepanjang hayat. Tatapan matanya menghanyutkan fikiranku dalam khayalan ukhrowi, seolah-olah surga turun ke bumi, menawarkan dirinya kepada siapapun yang ingin meminangnya, dengan mahar mengenyangkan anak yatim miskin dan ibunya ini.

Tanpa ragu sedetikpun, kuserahkan semua yang ada ditanganku. “Ambillah, beri dia makan”, kataku pada si ibu.

Demi Allah, padahal waktu itu tak sepeserpun dinar atau dirham kumiliki. Sementara di rumah, keluargaku sangat membutuhkan makanan itu.

Spontan, si ibu tak kuasa membendung air mata dan si kecilpun tersenyum indah bak purnama.

Kutinggalkan mereka berdua dan kulanjutkan langkah gontaiku, sementara beban hidup terus bergelayutan dipikiranku.

Sejenak, kusandarkan tubuh ini di sebuah dinding, sambil terus memikirkan rencanaku menjual rumah. Dalam posisi seperti itu, tiba-tiba Abu Nashr dengan kegirangan mendatangiku.

“Hei, Abu Muhammad...! Kenapa kau duduk duduk di sini sementara limpahan harta sedang memenuhi rumahmu?”, tanyanya.

“Subhanallah....!”, jawabku kaget. “Dari mana datangnya?”

“Tadi ada pria datang dari Khurasan. Dia bertanya-tanya tentang ayahmu atau siapapun yang punya hubungan kerabat dengannya. Dia membawa berduyun-duyun angkutan barang penuh berisi harta,” ujarnya.

“Terus?”, tanyaku keheranan.

“Dia itu dahulu saudagar kaya di Bashroh ini. Kawan ayahmu. Dulu ayahmu pernah menitipkan kepadanya harta yang telah ia kumpulkan selama 30 tahun. Lantas dia rugi besar dan bangkrut. Semua hartanya musnah, termasuk harta ayahmu.

Lalu dia lari meninggalkan kota ini menuju Khurasan. Di sana, kondisi ekonominya berangsur-angsur membaik. Bisnisnya melejit sukses. Kesulitan hidupnya perlahan lahan pergi, berganti dengan limpahan kekayaan. 
Lantas dia kembali ke kota ini, ingin meminta maaf dan memohon keikhlasan ayahmu atau keluarganya atas kesalahannya yang lalu.

Maka sekarang, dia datang membawa seluruh harta hasil keuntungan niaganya yang telah dia kumpulkan selama 30 tahun berbisnis. Dia ingin berikan semuanya kepadamu, berharap ayahmu dan keluarganya berkenan memaafkannya.”

Dengan perubahan drastis nasib hidupnya ini, Ahmad bin Miskin melanjutkan ceritanya:

“Kalimat puji dan syukur kepada Allah berdesakan meluncur dari lisanku. Sebagai bentuk syukur. Segera kucari wanita faqir dan anaknya tadi. Aku menyantuni dan menanggung biaya hidup mereka seumur hidup.

Aku pun terjun di dunia bisnis seraya menyibukkan diri dengan kegiatan sosial, sedekah, santunan dan berbagai bentuk amal salih. Adapun hartaku, terus bertambah melimpah ruah tanpa berkurang.

Tanpa sadar, aku merasa takjub dengan amal salihku. Aku merasa, telah mengukir lembaran catatan malaikat dengan hiasan amal kebaikan. Ada semacam harapan pasti dalam diri, bahwa namaku mungkin telah tertulis di sisi Allah dalam daftar orang orang shalih.

🌒Suatu malam, aku tidur dan bermimpi. Aku lihat, diriku tengah berhadapan dengan hari kiamat. Aku juga lihat, manusia bagaikan ombak, bertumpuk dan berbenturan satu sama lain.

Aku juga lihat, badan mereka membesar. Dosa-dosa pada hari itu berwujud dan berupa, dan setiap orang memanggul dosa-dosa itu masing-masing di punggungnya.

Bahkan aku melihat, ada seorang pendosa yang memanggul di punggungnya beban besar seukuran kota Basrah, isinya hanyalah dosa-dosa dan hal-hal yang menghinakan.

Kemudian, timbangan amal pun ditegakkan, dan tiba giliranku untuk perhitungan amal.

Seluruh amal burukku ditaruh di salah satu sisi timbangan, sedangkan amal baikku di sisi timbangan yang lain. Ternyata, amal burukku jauh lebih berat daripada amal baikku..!

Tapi ternyata, perhitungan belum selesai. Mereka mulai menaruh satu persatu berbagai jenis amal baik yang pernah kulakukan.

Namun alangkah ruginya aku. Ternyata dibalik semua amal itu terdapat NAFSU TERSEMBUNYI. Nafsu tersembunyi itu adalah riya, ingin dipuji, merasa bangga dengan amal shalih. Semua itu membuat amalku tak berharga. Lebih buruk lagi, ternyata tidak ada satupun amalku yang lepas dari nafsu-nafsu itu.

Aku putus asa.

Aku yakin aku akan binasa. 
Aku tidak punya alasan lagi untuk selamat dari siksa neraka.

Tiba-tiba, aku mendengar suara, “Masihkah orang ini punya amal baik?”

“Masih...”, jawab suara lain. “Masih tersisa ini.”

Aku pun penasaran, amal baik apa gerangan yang masih tersisa? Aku berusaha melihatnya.

Ternyata, itu HANYALAH dua lembar roti isi manisan yang pernah kusedekahkan kepada wanita fakir dan anaknya.

Habis sudah harapanku... 
Sekarang aku benar benar yakin akan binasa sejadi-jadinya.

Bagaimana mungkin dua lembar roti ini menyelamatkanku, sedangkan dulu aku pernah bersedekah 100 dinar sekali sedekah (100 dinar = +/- 425 gram emas = Rp 250 juta), dan itu tidak berguna sedikit pun. Aku merasa benar-benar tertipu habis-habisan.

Segera 2 lembar roti itu ditaruh di timbanganku. Tak kusangka, ternyata timbangan kebaikanku bergerak turun sedikit demi sedikit, dan terus bergerak turun sampai-sampai lebih berat sedikit dibandingkan timbangan kejelekanku.

Tak sampai disitu, tenyata masih ada lagi amal baikku. Yaitu berupa air mata wanita faqir itu yang mengalir saat aku berikan sedekah. Air mata tak terbendung yang mengalir kala terenyuh akan kebaikanku. Aku, yang kala itu lebih mementingkan dia dan anaknya dibanding keluargaku.

Sungguh tak terbayang, saat air mata itu ditaruh, ternyata timbangan baikku semakin turun dan terus memberat. Hingga akhirnya aku mendengar suatu suara berkata, “Orang ini selamat dari siksa neraka..!”

Saudara-saudariku tercinta... 
Masih adakah terselip dalam hati kita nafsu ingin dilihat hebat di mata orang lain pada ibadah dan amal-amal kita..

صلوا على النبي صلى اللّٰه  عليه وسلم*

Doa diantara dua Sujud

••◈🌹﷽ 🌹◈••

▪ *ROBIGHFIRLII* _(Ampunilah DosaKu)_
▪ *WARHAMNII* _(Kasihanlah Aku)_
▪ *WAJBURNII* _(Cukupkan KekurangKu)_
▪ *WARFA'NII* _(Angkatlah DerajatKu)_
▪ *WARZUQNII* _(Berilah Rezeki)_
▪ *WAHDINII* _(Berilah Petunjuk)_
▪ *WA'AAFINII* _(Berilah Kesehatan)_
▪ *WA'FUANNII* _(Berilah Ampunan)_

Ketika  orang ditanya :
 *DO'A* apakah yang  paling  kerap  di Baca oleh *Orang Islam* ?” Banyak  yang  menjawabnya dengan Salah. Begitu kerap *DO'A* itu dibaca,  hingga ketika sedang Membaca *DO'A* tersebut, banyak diantara kita yang tak Merasa  Sedang *BERDO'A* ( *Memohon/ Meminta*) sehingga *Duduk diantara Dua SUJUD* dilakukan dengan *Cepat cepat (Tanpa Tumakninah)* dan terkesan *Tidak Sopan terhadap Alloh*, tidak punya *Etika dalam Memohon/ Meminta*. 

Padahal  *DO'A itu Sangatlah Hebat*, merangkum seluruh Keperluan kita di *Dunia dan Akhirat*. Dan di *Baca minimum 17 kali Setiap Hari*.

*DO'A* itu, ialah *DO'A* diantara dua *SUJUD*, marilah kita *Hayati* dan *Fahami* Maknanya :
🤲🤲🤲 *ROBBIGHFIRLII*:
Wahai Tuhan *Ampunilah Dosaku*, *(Dosa disengaja, Dosa tidak disengaja, Dosa kecil, Dosa besar, Dosa lahir Dosa batin, Dosa menganiaya diri sendiri*, 
Dosa adalah beban, yang menyebabkan kita berat *melangkah menuju ke Ridhaan اللّهُ*. Dosa  adalah  *Kotoran Hati* yang membuat  *Hati  Gelap*,  sehingga  *Hati* kita merasa  berat sekali untuk *Melakukan Kebaikan*.

▪ *WARRHAMNII*:
*Sayangilah Aku, sayangilah diriKu*, kalau diri kita *disayang ALLAH*  Hidup akan terasa *Tenang*, karena dengan Kasih Sayang-Nya akan dapat dicapai semua cita-cita. *Dengan Kasih Sayang اللّه* Nafsu kita akan *Terbimbing dan  Terdidik* ke arah yang *Lebih Baik*. 

▪ *WAJBURNII*:
*Tutup lah  segala  Kekuranganku*, banyak sekali Kekurangan kita, *kurang Syukur*,  *Kurang  Sabar,  Kurang  Menerima Kenyataan*, Mudah Marah, Pendendam  dan  lainnya. Kalau *Kekurangan kita Ditutup/Diperbaiki oleh اللّهُ*, maka  kita  akan  menjadi  Manusia sebenarnya, yaitu menjadi *Manusia yang Sehat, Sejahtera dan Bahagia*.

▪ *WARFA'NII*:
*Tinggikanlah Darjatku*, *kalau اللّه sudah  Meninggikan Darjat* kita, maka pasti tidak ada  Manusia atau Makhluk yang boleh *Menghinakan* (mengenyek) kita.

▪ *WARZUQNII*:
*Berikanlah  aku  Rezki*, sebagai hamba *اللّه*ُ kita  memerlukan Rezki, *اللّه mampu Mendatangkan Rezki* dari jalan yang *Tak Disangka* dan tidak *Ternilai Banyaknya*.

▪ *WAHDINII*:
Berikanlah  Aku *Petunjuk/Bimbinglah* aku  ke jalan yang benar yang dapat menyelamatkan hidup di *Dunia dan di Akhirat*, Kita bukan hanya  minta *Petunjuk/Hidayah* yang berkaitan dengan *Agama*. Tetapi kita juga  minta  petunjuk  agar terhindar dari  mengambil  Keputusan  yang di anggap salah.

▪ *WA'AAFINII*:
Berikan lah  Aku  *Kesehatan, (Sehat Rohani dan Jasmani)*,  apabila kita *Sehat*, kita dapat menambah *Kebaikan  dan  Manfaat* serta kita tidak menjadi beban bagi orang lain.

▪ *WA'FUANNII*:
Aku Mohon agar *Kesalahanku di Ampuni*, di *Hapus dari Catatan Dosa*.

Dari *DO'A* tersebut *Dimulakan* dan *Diakhiri* dengan *Memohon Pengampunan dari الله* sehingga kita benar2 bersih dari *Dosa*.

*Allah SWT* Memerintahkan kita untuk ber *DO'A* (Meminta/ Memohon)  *Rasulullah  SAW*  mencontohkan  kepada kita, menurut logikanya  *DO'A* tersebut pasti *Terkabul* dan *Diterima oleh Allah SWT*.
         ".... Amin ....."

Terkadang  yang menjadi Persoalan, dimana  *Hati dan Fikiran* kita, ketika kita  ber *DO’A* itu dan kita tidak *Hafal Arti serta Maknanya*.
Mari kita Merenungi untuk Berusaha *Mengerti dan Memahami (Tafakur)* *Menghayati dan Menjiwai (Tadabbur)* makna-makna *Bacaan Sholat*. 

Padahal  *DO'A* tersebut sangat *Hebat*, dan masih banyak orang sering *Tergesa-gesa*,  yang mana sepatutnya perlu *Tuma'ninah (tenang)* dengan  Menghayatinya betul-betul dan *Meminta Kepada Allah Subhanahu Wata'ala*.

Shollu'ala Nabi
Shollu 'ala Muhammad
Shollu 'ala Rosulillah 
Sholallahu'alaihi wasallam

Kemuliaan Guru

EMPAT KEMULIAAN MURABBI/GURU RUUHI WAL JASAD 

Syekh An-Nawawi Al-Bantani dalam kitab Tanqihul Qaul Syarah Lubab Al-Hadits menyebutkan beberapa riwayat dari Ibnu Mas’ud tentang kemuliaan Guru.

1. Melihat wajah orang alim (guru) itu lebih baik dari pada bersedekah 1000 kuda.

ﻭَﻧَﻈْﺮُﻙ ﺇِﻟَﻰ ﻭَﺟْﻪِ ﺍﻟْﻌَﺎﻟِﻢِ ﺧَﻴْﺮٌ ﻟَﻚَ ﻣِﻦْ ﺃَﻟْﻒِ ﻓَﺮْﺱٍ ﺗَﺼَﺪﱠﻗْﺖَ ﺑِﻬَﺎ ﻓﻰِ ﺳَﺒِﻴْﻞِ ﺍﻟﻠﻪِ

“Melihatnya kamu kepada wajah orang alim lebih baik dibanding bersedekah di jalan Allah sebanyak seribu ekor kuda”

2. Mengucapkan salam kepada orang alim (guru) itu lebih baik dari pada beribadah sunnah 1000 tahun.

ﻭَﺳَﻠَﺎﻣُﻚَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻌَﺎﻟِﻢِ ﺧَﻴْﺮٌ ﻟَﻚَ ﻣِﻦْ ﻋِﺒَﺎﺩَﺓِ ﺍَﻟْﻒِ ﺳَﻨَﺔٍ

“Mengucapkan salam kepada orang alim lebih baik dibanding ibadah sunnah seribu tahun”

3. Siapa saja yang berjalan menuju orang alim (guru) untuk menuntut ilmu, maka setiap satu langkah mendapatkan pahala 100 kebaikan.

ﻣَﻦْ ﻣَﺸَﻰ ﺇِﻟَﻰ ﺣَﻠَﻘَﺔِ ﻋَﺎﻟِﻢٍ ﻛَﺎﻥَ ﻟَﻪُ ﺑِﻜُﻞﱢ ﺧَﻄْﻮَﺓٍ ﻣِﺎﺋَﺔُ ﺣَﺴَﻨَﺔٍ

“Orang yang berjalan menuju majelis orang alim, setiap langkahnya dibalas seratus kebaikan”

4. Barangsiapa duduk bersandingan dengan orang alim (guru), kemudian orang alim (guru) itu berkata, maka setiap kalimat bagi yang mendengarkan mendapatkan 1 kebaikan.

ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺟَﻠَﺲَ ﻋِﻨْﺪَﻩُ ﻭَﺍﺳْﺘَﻤَﻊَ ﻣَﺎﻳَﻘُﻮْﻝُ ﻛَﺎﻥَ ﻟَﻪُ ﺑِﻜُﻞﱢ ﻛَﻠِﻤَﺔٍ ﺣَﺴَﻨَﺔٌ

“Ketika seseorang duduk di samping orang alim dan mendengarkan perkataannya, setiap kalimatnya akan dibalas satu kebaikan.”

Wallahu A'lam Bishawab

Mbah Hasyim

Karomah Mbah Hasyim Ngaji 120 Tahun
40 tahun dengan Imam Syafi'i
40 tahun dengan Imam Bukhari
40 tahun dengan Imam Junaid & Imam Ghazali

Ketika Mbah Hasyim nyantri di Bangkalan beliau diberi tugas mengurusi kuda milik Mbah Kholil hingga kesempatan untuk ngajipun tidak banyak. Suatu hari Mbah Kholil kedatangan tamu dari Jawa dan kebetulan dia seorang Kyai namun santrinya tak sampai ratusan hanya puluhan saja. Setelah tamu ditanya keperluannya apa, lalu tamu tersebut mengutarakan keperluannya kepada Mbah Kholil.

Tamu: “Mbah Kholil, saya datang kesini kyai pertama niat silaturahmi dan yang kedua saya hendak menikahkan putri saya berhubung dia sudah dewasa kiranya patut saya carikan jodoh apalagi usia saya juga sudah ada di ambang pintu ajal yang tak lama lagi Allah pasti memanggil ruh saya Kyai. Jika ada Kyai, saya mohon petunjuk dan izin Kyai untk mencarikannya”.

Tanpa berfikir panjang Mbah Kholil langsung memanggil Mbah Hasyim yang ada di belakang rumah beliau yang sedang ngurusi kuda. Spontan Mbah Hasyim yang mendengar suara gurunya memanggil langsung lari tunggang langgang menghadap sang guru.
Mbah Hasyim: “Iya Kyai Njenengan manggil saya?”
Mbah Kholil: “Iya”.
Tanpa banyak tanya lagi Mbah Hasyim langsung diam merunduk, lalu Mbah Kholil berkata kepada tamu beliau. Ini dia calon menantumu yang akan meneruskan perjuanganmu. Tamu pun terkejut tegang dan tak habis fikir sambil bergumam dalam hatinya, masa iya sih santri mblasaken seperti ini akan mengurus pesantrenku? Saya tidak yakin bila anak ini banyak ilmunya.
Disisi lain Mbah Hasyim pun terkejut pula sambil begumam dalam hatinya, masa iya ya Mbah Kholil tega akan menjodohkan saya dengan putrinya ulama’ yang begitu mulya dan santrinya banyak nan berwibawa serta alim?
Mbah Kholil lalu menyambung dawuhnya apa yang keduanya pikirkan.

Mbah Kholil: “Sudahlah kamu (tamu) pulang saja dan siapkan selamatannya di rumahmu. Tiga hari lagi aqad nikah dilaksanakan. Dan kamu Hasyim kembali ke belakang!”
Mbah Hasyim pun kembali ke tempat tugasnya dengan hati yang risau, pikiran kacau balau dan perasaan galau, sembari bertanya-tanya dalam hati kecilnya: “Bagaimana saya bisa menjalani ini semua, kenapa guru tidak memberi tau saya sebelumnya atau paling tidak menawarkannya?”
Gundah gulana bimbang ragu dan bingung terus berkecamuk dalam fikiran Mbah Hasyim. Di saat-saat seperti itulah Hidayah Allah ditampakkan. Mbah Hasyim teringat dimana suatu hari saat Mbah Kholil molang kitab beliau Dawuh sederhana saja : “Barang siapa di antara kalian yang ingin tercapai hajatnya maka bacalah sholawat nariyah sebanyak-banyaknya dan pada waktu ijabah sangat dianjurkan yaitu setelah separuh malam hingga menjelang subuh”.
Saat malam kira-kira jam 12 malam, Mbah Hasyim melaksanakan apa yang pernah diucapkan gurunya itu yaitu membaca Shalawat Nariyah sebanyak-banyaknya, dan menjelang Subuh beliau ketiduran dan hal ajaib dimana dalam mimpi tidur sekejapnya beliau bermimpi bertemu Imam al-Bukhari dan mengajarkan kepada beliau hadits shahih selama 40 tahun lamanya, lalu beliau terbangun serta terkejut tidak percaya atas mimpinya itu.

Di malam yang kedua terjadi lagi, dalam mimpinya beliau bertemu Imam as-Syafi’i dan mengajarkan kepada beliau kitab-kitab Fiqih dari bebagai Madzhab yaitu Imam as-Syafi’i sendiri Hanafi Maliki dan Hanbali selama 40 Tahun lamanya.

Dimalam ke tiga beliau bermimpi bertemu dgn Imam al-Ghazali dan Junayd al-Baghdady yang mengajarkan beliau kitab-kitab tasawwuf selama 40 tahun. Setelah beliau bangun, beliau terkejut dan bertanya dalam pikirannya apa makna dari semua mimpi ini.
Kesokan harinya beliau hendak bertanya kepada gurunya namun tidak ada kesempatan karena beliau justru disuruh siap-siap berangkat ke rumah calon mertua untuk melangsungkan aqad nikah.

Lalu keduanya pun berangkat hingga ditempat tujuan langsung dilakukan Aqad Nikah selesai itu Mbah Kholil akan pulang ke Bangkalan. Sepatah katapun tak ada yang keluar terucap dari Mbah Kholil mulai dari Bangkalan hingga sampai di tempat akad pernikahan. Baru Mbah Kholil hendak pulang beliau dawuh kepada Mbah Hasyim lalu kepada mertuanya dan disaksikan banyak santri dan tamu undangan.
Kepada Mbah Kholil: “Hasyim Jangan Nyelewang-Nyeleweng ya! Ibadah ikut yang dicontohkan Nabi melalui ulama’nya dan ikutilah ulama’nya Allah agar selamat, Allah pasti bersamamu.”
Kepada mertua Mbah Hasyim: “Jangan ragu dengan Hasyim dia sudah ngaji 120 tahun lamanya.”

Baik Mbah Hasyim, mertua dan para tamu tidak begitu paham serta kebingungan menafsiri dawuh Mbah Kholil karena mereka pikir ini gak masuk akal kapan ngajinya sampai 120 tahun sementara usia beliau belum sampai 50 tahun. Lalu Mbah Kholilpun balik ke Bangkalan.

Esoknya Mbah Hasyim diuji mertuanya sembari ingin membuktikan se alim apakah menantunya yang dijagokan gurunya itu. Dan beliaupun dengan agak gugup berada di masjid sementara di tempat yang biasa mertuanya duduk sudah disediakan 2 kitab tafsir dan hadits, tanpa ditanya si santripun dan Ustadz memberitahukan batas yang harus diajarkan dan dibaca, nah keajaiban pun dimulai tanpa harus menengok apalagi memegang kitabnya Mbah Hasyim langsung membaca dengan fasih dan hafal diluar kepala serta membahasnya laiknya Masyayikh yang sudah kenyang dengan segudang ilmu, tak satupun ada yang salah.

Ustadz dan santri senior yang tidak yakin dengan kemampuan beliaupun pun menjadi takjub begitupula mertuanya yang mengintip dari celah jendela rumahnya pun ikut takjub.

Dari hari itu hingga seterusnya Mbah Hasyimlah yang molang semua kitab-kitab klasik yang tebal dari berbagai cabang ilmu agama Islam. Itulah beberapa karomah Mbah Kholil kepada Mbah Hasyim dan masih banyak lagi karomah-karomah beliau kepada santri-santri beliau yang lain.

Semoga Alloh Senantiasa Mengalirkan Tetesan-Tetesan Barokah dan Manfaat dari beliau-beliau ini kepada kita dan anak cucu kita sehingga kita tetap berada di jalur ASWAJA.