15 Januari 2012


Ya Allah, di hati ini  hanya ada satu cinta,
kalau aku tidak mengisinya dengan cinta kepada-Mu
maka  kemanakah wajah ini hendak kusembunyikan.


Cinta itu abstrak, demikian sebagian orang berteori. Ia abstrak karena memang sulit, kalau tidak bisa dikatakan tidak mungkin, diungkapkan dengan bahasa kata. Ia ada hanya dalam rasa, yang kemudian menyemburat dalam sejuta realita. Manisnya senyuman, mesranya pandangan, lembutnya sapaan, utuhnya perhatian dan tulusnya pengorbanan,  itulah bahasa cinta.

Oleh karena itu cinta tidak hanya membutuhkan pengakuan; “saya mecintaimu” semisal, namun ia lebih menuntut bukti dan kenyataan, yang terekspresi dalam totalnya perhatian dan pengorbanan  demi sosok yang dicintainya.

Cinta dan pengorbanan bak dua sisi mata uang yang tidak akan bisa dipisahkan. Keduanya akan selalu hadir pada tempat dan waktu secara bersamaan. Cinta tanpa pengorbanan adalah dusta, pengorbanan tanpa cinta adalah sia-sia.


Demikianlah abstraksi cinta. Ia akan terus  membianglala  memenuhi jagat rasa manusia, tanpa ia mampu menolaknya. Sebagaimana ia pun tidak akan mampu menghadirkan rasa cinta kepada seseorang atau sesuatu, manakala bianglala cinta belum menyelimuti cakrawala rasa.

Ada dan tiadanya cinta akan sangat bergantung pada cuaca rasa  yag menggelayut di langit hati seorang manusia. Kekentalannya pun amat sangat bergantung pada pekatnya mendung rasa yang mengkristal menyelimuti langit hatinya, untuk kemudian merubah diri menjadi titik-titik embun perhatian dan pengorbanan yang menetes-basahi kerontang persada alam kemanusiaan dirinya dan  selainnya.
Kalau memang demikian kenyataannya, lantas bagaimana keniscayaan cinta harus membianglala dalam hati seorang muslim ?




Islam Memandang Cinta.

Ibnu al Qayyim al Jauziyah pernah berkata : “Ketika seseorang jatuh cinta  kepada sesuatu atau kepada sesamanya karena didorong oleh faktor-faktor fisik lahiriyah (kecantikan, kegagahan, kekayaan, keindahan, kemewahan dan lain sebagainya), maka sebenarnya dia tidak sedang jatuh cinta kepada yang dia cintai. Dia sebenarnya sedang jatuh cinta kepada dirinya sendiri, atau lebih tepatnya kepada hawa nafsunya. Orang seperti kita ini, kata beliau, adalah orang yang  tengah mencari keuntungan pribadi atas dalih cinta.

Cinta seperti ini adalah cinta yang nisbi, bahkan palsu. Cinta yang tidak akan mungkin langgeng dalam keabadian. Indahnya taburan bunga-bunga cinta yang semerbak mewangi, dalam sekejap, bisa saja sirna, dan tercampak  ke dalam sampah kehidupan, seiring dengan sirnanya faktor-faktor lahiriyah pendukung cinta itu sendiri. Bahkan tak jarang cinta seperti ini berpotensi untuk mendatangkan konflik, kebencian bahkan permusuhan.

Allah Ta’ala berfirman :
“Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (az Zukhruf : 67)


Kenapa cinta seperti ini berpotensi melahirkan konflik dan permusuhan ? Karena ia tidak memancar dari sumbernya yang hakiki. Ibarat orang yang mereguk air sungai di bagian hilir yang sudah terkontaminasi oleh limbah kehidupan, maka bukan kesejukan dan kesegaran yang ia dapatkan, melainkan dahaga bahkan racun yang mematikan......................

Namun ketika air yang diminum adalah air di bagian hulu, atau bahkan langsung dari mata airnya, maka ia bukan hanya menyejukkan dan menyegarkan, namun juga  menyehatkan dan menghidupkan.
Lantas di manakah mata air cinta (hakiki) itu memancar ?


Islam memandang mata air cinta hakiki itu adalah iman yang bersemayam di lubuk hati hamba yang bertaqwa. Darinya cinta akan mengalir suci lagi bening, gemriciknya akan menyenandungkan irama syahdu lagi hening, dan kesejukannya ‘kan membasahi seluruh persada hati yang kering. Bahkan bukan itu saja, keindahan kelak keloknya yang bak untaian manik-manik mutiara putih akan nampak semakin indah saat kebeningan aliran cinta itu bertemu dan menyatu dengan kebeningan aliran cinta dari sumber yang lain. Itulah pertemuan cinta dua hamba yang sama-sama beriman.
Tiada pertemuan yang lebih indah melebihi indahnya pertemuan di antara dua hamba yang sama-sama beriman, karena pertemuan di antara keduanya adalah pertemuan yang  didasarkan pada rasa cinta yang sama, yakni cinta kepada Allah (mahabbatullah), cinta keduanya adalah cinta yang mengalir dari hati yang  bersih.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar