09 Juni 2010

AHLUL-BAYT MEMENUHI BELAHAN BUMI



 
Dicuplik dari buku karya KH. Ali Badri Azmatkhan (Sekjen IKAZHI)
yang berjudul “DARI KANJENG NABI SAMPAI KANJENG SUNAN”




Ketika Al-Qasim, putra Rasulullah, wafat dalam usia masih kecil, terdengarlah berita duka itu oleh beberapa tokoh musyrikin, diantara mereka adalah Abu Lahab dan ‘Ash bin Wa’il. Mereka kegirangan dengan berita itu, mereka mengejek Rasulullah dengan mengatakan bahwa beliau tidak lagi memiliki anak laki-laki yang dapat melanjutkan generasi keluarga beliu, sementara orang Arab pada masa itu merasa bangga bila memiliki anak laki-laki untuk melanjutkan garis keturunan mereka. Menjawab ejekan Abu Lahab dan ‘Ash bin Wa’il itu Allah menurunkan surat Al-Kautsar yang ayat pertamanya berbunyi:

إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ

Sesungguhnya Kami memberimu karunia yang agung.
Al-Kautsar artinya karunia yang agung, dan karunia yang dimaksud dalam ayat itu adalah bahwa Allah memberi banyak keturunan pada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam melalui putri beliau, Fatimah Az-Zahra’.
Sedangkan Abu lahab dan ‘Ash bin Wa’il dinyatakan oleh ayat terakhir surat Al-Kautsar bahwa justru merekalah yang tidak akan memiliki keturunan, yaitu ayat..
إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الأَبْتَرُ
“Sesungguhnya orang yang membencimu itulah yang tidak sempurna (putus keturunan).”
Benarlah apa yang difirmankan oleh Allah, sampai kini keturunan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, melalui Al-Hasan dan Al-Husain putra Fatimah Az-Zahra’, benar-benar memenuhi belahan bumi, baik mereka yang dikenal sebagai cucu Rasulullah oleh masyarakat, maupun yang tidak.
Sekedar gambaran, penulis memiliki banyak data tentang silsilah Ulama-ulama Pesantren yang dikenal sebagai “Kiai” Indonesia, khususnya Jawa (termasuk Madura), Hampir seratus persen dari mereka memiliki garis nasab pada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, seperti Kiai-kiai keturunan keluarga Azmatkhan, Basyaiban dan sebagainya. Kemudian, di berbagai daerah, kaum santri sangat didominan oleh keluarga-keluarga yang bernasab sama dengan Kiai-kiai itu, bedanya hanya karena beberapa generasi sebelum mereka tidak berprestasi seperti leluhur “keluarga Kiai”, sehingga setelah selisih beberapa generasi, merekapun tidak dikenal sebagai “keluarga Kiai”, tapi hanya sebagai “keluarga santri”.
Di Madura ada semacam “pepatah” yang mengatakan bahwa kalau ada santri yang sampai bisa membaca “kitab kuning” maka pasti dia punya nasab pada “Bhujuk”. Bhujuk adalah julukan buat Ulama-ulama zaman dulu yang membabat alas dan berda’wah di Madura. Dan semua Bhujuk Madura memiliki nasab pada Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, kebanyakan mereka keturunan Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati dan Sunan Kudus. “Pepatah” itu memang hanya dibicarakan di kalangan “orang awam”, namun kenyataan memang sangat mendukung, hampir semua masyarakat pesantren di Madura adalah keturunan “Bhujuk”, sehingga tidak aneh bila dikatakan bahwa dari penduduk pulau Madura, orang yang bernasab pada Rasulullah lebih banyak daripada yang tidak.
Mungkin hal itu akan menimbulkan pertanyaan “mengapa bisa demikian?”, maka jawabannya adalah bahwa keluarga Bhujuk dan Kiai Madura dari zaman dulu memiliki anak lebih banyak daripada orang biasa, apalagi hampir semua mereka dari zaman dulu –bahkan banyak juga yang sampai sekarang- memiliki istri lebih dari satu, merekapun tidak terlalu pilih-pilih nasab ketika menikahkan anak mereka, mereka cukup menerima ke-shaleh-an sebagai syarat utama menerima menantu, baik laki-laki maupun perempuan, maka tentu saja setelah puluhan generasi maka keturunan Bhujuk-bhujuk itu mendominan pulau Madura.
Kalau ada yang berkata bahwa tidak semua Kiai keturunan “Sunan” itu bergaris laki-laki, bahkan kebanyakan mereka (?) adalah keturunan “Sunan” dari perempuan, maka pertanyaan itu justru dijawab dengan pertanyaan “kenapa kalau bergaris perempuan?”. Islam dan “budaya berpendidikan” telah sepakat untuk membenarkan “status keturunan” dari garis perempuan. Maka bila ada orang yang membeda-bedakan geris laki-laki dan perempuan maka berarti orang itu bukan penganut paham Islam dan bukan pula penganut “budaya berpendidikan.” Dan lebih “tidak berpendidikan” lagi orang yang mengatakan bahwa hubungan nasab keturunan anak perempuan terputus dari ayah si perempuan.
Seperti di Madura, begitu pula yang terjadi di berbagai wilayah masyarakat Pesantren lainnya di Jawa. Maka bayangkan saja, betapa keturunan Rasulullah telah memenuhi pulau Jawa, belum lagi di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan lain-lain, ditambah dengan “jamaah habaib” yang memang sudah dikenal dengan status menonjol sebagai keturunan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam. Sebagai sesama keturunan Rasulullah, para Kiai dan para Habib itu tidaklah beda, perbedaan hanya terjadi dalam hal budaya yang berpengaruh pada status sosial. Ini yang terjadi di Indonesia, dan demikian pula di negeri-negeri non Arab yang lain, seperti Malaysia, Brunai, Singapura, Tailand, Filipina, India, Pakistan, Afrika dan sebaginya. Adapun di Arab sendiri maka sudah pasti perkembangan “keturunan” mereka lebih banyak lagi.
Maka kenyataan ini membenarkan apa yang dinyatakan oleh Allah dalam surat Al-Kautsar, bahwa Raslulullah akan diberi karunia agung dengan memiliki keturunan yang banyak, sehingga kalau saja beliau masih hidup saat ini maka beliau akan memiliki keluarga besar yang tak tertandingi oleh orang lain semasa beliau. Bisa jadi, bila kita mengumpulkan semua keturunan Rasulullah sejak zaman beliau hingga kini, kemudian kita mengumpulkan seratus orang dari sahabat-sahabat beliau beserta keturunan mereka hingga kini, maka jumlah keturunan beliau akan mengalahkan keturunan seratus orang sahabat beliau.
Seperti yang penulis katakan, garis keluarga Rasulullah dilanjutkan oleh Al-Hasan dan Al-Husain putra Fathimah Azzahra, karena putri-putri dan cucu-cucu Rasulullah yang lain wafat sebelum punya anak. Maka berikut ini penulis kemukakan maklumat tentang beberapa keluarga-keluarga besar yang merupakan keturunan Al-Hasan dan Al-Husain:

Diantara marga-marga  keturunan Al-Hasan
Syambar (Syanabirah) : Keturunan Sayyid Syambar bin Hasan bin Abu Numai Ats-Tsani. Bersambung pada Sayyid Qatadah bin Idris bin Mutha’in. Bersambung pada Sayyid Musa Al-Jun bin Abdullah Al-Kamil bin Hasan Al-Mutsanna bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Tersebar di sekitar Makkah dan Tha’if.
Barakat : Keturunan Barakat bin Abu Numai Ats-Tsani. Tersebar di sekitar Makkah dan Tha’if. merekapun banyak yang dikenal dengan marga baru, seperti Al-Ghaits, Nasir, Aal-Muflih dll.
Al-Jazan : Keturunan Sayyid Jazan bin Qaytabay bin Hasan bin Abu Numai Ats-Tsani. Tersebar di Tha’if dan sekitarnya.
Al-Harits : Keturunan Sayyid Muhammad Al-Harits bin Hasan bin Abu Numai Ats-Tsani. Tersebar di Mekkah, Tha’if dan sekitarnya.
Hamud : Bersambung pada Hasan Abu Numai Ats-Tsani. Tersebar di Makkah dan sekitarnya.
Al-Hazim : Keturunan Sayyid Hasan bin Abu Numai Ats-Tsani. Tersebar di Makkah, Jeddah dll. Sebagian mereka dikenal dengan julukan Barakat.
Zaid : Keturunan Sayyid Zaid bin Muhsin bin Husain bin Hasan bin Abu Numai Ats-Tsani. Kekuasaan kota Makkah ada pada keluarga mereka selama lebih dari dua abad sebelum keluarga ‘Aun. Dari mereka banyak yang dikenal dengan julukan lain, seperti marga Yahya, Abdullah, Ghalib, Musa’id dll.
Al-Amir : Keturunan Al-Amir Khalid Quthbuddin bin Muhammad bin Hasyim bin Wahhas bin Muhammad bin Hasyim bin Ghanim. Bersambung pada Sayyid Sulaiman bin Abdullah Ar-Ridha bin Musa Al-Jun.
Ats-Tsa’labi (Tsa’alibi) : Keturunan Tsa’lab bin Mutha’in. Bersambung pada Sayyid Musa Al-Jun. Kebanyakan mereka tinggal di pesisir pantai Laut Merah di Jeddah.
Al-Ja’fari : Keturunan Sayyid Ja’far bin Ni’matullah Al-Akbar bin Ali bin Dawud bin Sulaiman bin Abdullah Ar-Ridha bin Musa Al-Jun. Tersebar di Yaman dll.
Al-Jailani : Keturunan Sayyid Asy-Syehk Abdulqadir Al-Jailani. Bersambung pada Sayyid Musa Al-Jun. Tersebar di Iraq, Siria, Maroko dll. Di Maroko mereka lebih dikenal dengan julukan Al-Kailani dan Al-Qadiri.
Az-Za’bi : Keturunan Sayyid Abdul Aziz Az-Za’bi bin Abudulqadir Al-Jailani. Tersebar di Palestina, Jordan, Siria, Beirut dll
Al-Khawaji : Keturunan Sayyid Ali Al-Khawaji bin Sulaiman bin Ghanim. Bersambung pada Sayyid Sulaiman bin Abdullah Ar-Ridha bin Musa Al-Jun.
Asy-Syammakhi : Keturunan Sayyid Syammakh bin Yahya bin Dawud bin Abi Ath-Thayyib. Bersambung pada Sayyid Sulaiman bin Abdullah Ar-Ridha bin Musa Al-Jun bin Abdullah Al-Kamil bin Hasan Al-Mutsanna bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib.
Adz-Dzarwi : Keturunan Sayyid Dzarwah bin Hasan bin Yahya bin Dawud Abu Ath-Thayyib.
Al-Anbari : Bersambung pada Adz-Dzarwi.
Thayyib : Bersambung pada Adz-Dzarwi.
Al-Musaawi : Bersambung pada Adz-Dzarwi.
Al-Jauhari (Jawahirah) : Keturunan Asy-Syarif Syaiban bin Yahya bin Dawud Abu Ath-Thayyib.
Al-Idrisi Al-Maghribi : Keturunan Sayyid Idris bin yang bersambung padan Sayyidina Muhammad bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Leluhur mereka adalah pendiri Kerajaan Maroko, kerajaan ini berjaya sampai kini dan secara turun temurun dikuasai oleh keluarga Al-Idrisi atau Adarisah.
Al-Idrisi Al-Ifriqi : Keturunan Sayyid Idris bin Abdullah bin Hasan Al-Mutsanna bin Hasan bin Abi Thalib. Tersebar di Afrika Utara.
Al-Maliki Al-Hasani : Bersambung pada Al-Idrisi.
Al-Masyhur Al-Hasani : Marga ini sebenarnya adalah “Bin Masyhur”, namun, pada masa kolonial Belanda, orang-orang Belanda menyebut “Al-Masyhur” untuk memukul rata marga-marga Arab dengan awalan “al”

Diantara marga-marga keturunan Al-Husain
Ar-Rifa’i : Keturunan Sayyid Hasan Rifa’ah bin Ali Al-Mahdi bin Al-Qasim bin Husain bin Ahmad bin Musa bin Abi Sabhah bin Ibrahim Al-Murtadha Al-Ashghar bin Musa Al-Kazhim bin Ja’far Ash-Shadiq. Mereka tersebar di Bashrah, Kuwait, Palestina, Jordan dan lain-lain.
Al-Kayali : Bersambung pada Ar-Rifa’i.
Ash-Shayyadi : Bersambung pada Ar-Rifa’i.
An-Naqib :  Bersambung pada Ar-Rifa’i.
Ar-Rawi : Keturunan Sayyid Yahya bin Hasun bersambung pada Ar-Rifa’i. Julukan Ar-Rawi berasal dari kota Rawah yang terletak di wilayah Anbar, Iraq. Tersebar di berbagai tempat di Iraq dan Siria, merekapun banyak yang dikenal dengan marga baru, seperti Al-Ubaid, Sawahik dll.
An-Na’im : Bersambung pada Ar-Rifa’i.
Ar-Rajih : Keturunan Sayyid Rajih bin Abi Numai Al-Awwal. Bersambung Al-Imam Musa Al-Kazhim. Tersebar di Hijaz, termasuk Tha’if dan sebagainya.
Al-Alawi (Ba’alawi) : Keturunan Sayyid Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Ash-Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Abi Thalib. Tersesebar di hampir seluruh negeri Islam, termasuk Indonesia berpusat di Hadhramaut-Yaman. Lebih dari tiga ratus marga bersambung pada Sayyid Alawi ini, dan masing-masing bersambung melalui Assayyia Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qisam bin Alawi bin Muhammad bin Alawi. Sayyid Muhammad Shahib Mirbath memiliki dua putra, Sayyid Ali dan Sayyid Alawi. Sayyid Ali mempunyai satu putra yaitu Muhammad Al-Faqih, dan beliau banyak memiliki keturunan. Sedangkan Sayyid Alawi dikenal dengan sebutan Ammil-faqih dan beliau juga memiliki banyak keturunan.

Keluarga-keluarga keturunan Ammil-faqih

Diantara mereka adalah keluarga Azmatkhan, Al-Haddad, Bin Semith, Ba’abud Maghfun, Bahasan Thawil, Babathinah, Bin Thahir, Bin Hasyim, Bashurrah, Ali Lala, ‘Aidid, Bafagih, Basakutah, Bafaraj, ‘Auhaj, An-Nadhir dan Qullatain.
Keturunan Ammil-faqih tidak begitu banyak memiliki pecahan marga sebagaimana keturunan Al-faqih, namun bukan berarti keturunan Ammil-faqih lebih sedikit dari keturunan Al-Faqih, karena banyak dari keturunan Ammil-faqih yang tidak terdaftar, yaitu keturunan Abdullah bin Ammil-faqih yang dulu hijrah ke Filipina dan berbaur dengan pribumi untuk berda’wah, juga keluarga Azmatkhan yang tersebar di India, Indonesia dan sebagainya. Di Indonesia, keluarga dan keturunan Azmatkhan lebih banyak dari Ba’alawi yang lain, hanya saja mereka sudah njawani, mereka sudah seperti orang Jawa biasa.
Pada saat Sayyid Husain Jamaluddin (kakek kebanyakan keluarga Azmatkhan Indonesia) meninggalkan India, beliau pergi bersama tiga orang saudara beliau, yaitu Sayyyid Qamaruddin, Sayyid Majiduddin dan Sayyid Tsana’uddin, mereka memasuki daratan Cina dan negeri-negeri lain di Asia. Nah, bisa jadi mereka juga memeliki banyak keturunan di Cina dan lainnya, sebagaimana Sayyid Husain Jamaluddin di Indonesia. Kemudian ditemukan pula saudara Sayyid Husain Jamaluddin yang berna Sayyid Sulaiman Al-Baghdadi, beliau menjadi Sultan di Tailand dan sebagian keturunan beliau hijrah ke Indonesia.

Keluarga-keluarga keturunan Al-Faqih
Diantara mereka adalah keluarga Mauladawilah, As-Saqqaf atau Assegaf, Al-Idrus atau Alaydrus, Bin Syehk Abibakar (biasa disingkat BSA), Al-Atthas atau Alatas, Bin-syihab atau Shahab, Al-Habsyi, Asy-Syathiri, Maulakhelah, Baharun, Bafagih, Bilfagih, Ba’agil, Bin’agil, Al-Jufri, Al-Bahar, Bin Jindan, Al-Munawwar, Al-Hamid, Hamid, Al-Bar atau Albar, Al-Kaf, Al-Muhdhar, Al-Musawa, Al-Masyhur, Al-Muqaibil, Bin Hadun, Al-Haddar, Al-Hinduan, Bin Yahya, Mudhar, Al-Baiti, Al-Qadri, Basyaiban, Basyumailah, Bin Syaikhan, Ash-Shafi, Ba’umar, Al-Ghamri, Bafaraj, Baraqba, Al-Musawa, Fad’aq,  Barum, Bajahdab, Jamalullail, Assirri, Bin Sahl, Hamdun, Kharid atau Khirid, Khunaiman, Khamur dan masih banyak lagi yang lainnya.
Keluarga Al-Alawi atau Ba’alawi berpusat di Hadhramaut, Yaman, kemudian berpencar ke penjuru dunia, termasuk Indonesia. Di Indonesia, mereka dikenal dengan sebutan “Habib”, kecuali keluarga “Azmatkhan” dan “Basyaiban” yang telah lama berbaur dengan masyarakat Jawa, maka merekapun -yang menjadi tokoh agama- lebih dikenal dengan julukan semisal Kiai


http://azmatkhanalhusaini.com/index.php?option=com_content&task=view&id=38&Itemid=80

Tidak ada komentar:

Posting Komentar