20 Maret 2010

ADL (ADIL, KEADILAN)


Kata ‘adl adalah bentuk masdar dari kata kerja ‘adala – ya‘dilu – ‘adlan – wa ‘udulan – wa ‘adalatan (عَدَلَ – يَعْدِلُ – عَدْلاً – وَعُدُوْلاً - وَعَداَلَةً) . Kata kerja ini berakar dengan huruf-huruf ‘ain (عَيْن), dal (دَال) dan lam (لاَم), yang makna pokoknya adalah ‘al-istiwa’’ (اَلْاِسْتِوَاء = keadaan lurus) dan ‘al-i‘wijaj’ (اَلْاِعْوِجَاج = keadaan menyimpang). 

Jadi rangkaian huruf-huruf tersebut mengandung makna yang bertolak belakang, yakni lurus atau sama dan bengkok atau berbeda. Dari makna pertama, kata ‘adl berarti “menetapkan hukum dengan benar”. Jadi, seorang yang ‘adil adalah berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. Persamaan itulah yang merupakan makna asal kata ‘adl, yang menjadikan pelakunya “tidak berpihak” kepada salah seorang yang berselisih, dan pada dasarnya pula seorang yang ‘adil berpihak kepada yang benar, karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus memperoleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu yang patut dan tidak sewenang-wenang.
Al-Asfahani menyatakan bahwa kata ‘adl berarti memberi pembagian yang sama. Sementara itu, pakar lain mendefinisikannya dengan penempatan sesuatu pada tempat yang semestinya. Ada juga yang menyatakan bahwa ‘adl adalah memberikan hak kepada pemiliknya melalui jalan yang terdekat. Hal ini sejalan dengan pendapat al-Maraghi yang memberikan makna kata ‘adl dengan menyampaikan hak kepada pemiliknya secara efektif. 

Kata ‘adl (عَدْل) dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 28 kali di dalam al-Quran. Kata ‘adl sendiri disebutkan 13 kali, yakni pada S. al-Baqarah (2): 48, 123, dan 282 (dua kali), S. An-Nisa’ (4): 58, S. Al-Ma’idah (5): 95 (dua kali) dan 106, S. Al-An‘am (6): 70, S. An-Nahl (16): 76 dan 90, S. Al-Hujurat (49): 9, serta S. ath-Thalaq (65): 2. 

Kata ‘adl di dalam al-Quran memiliki aspek dan objek yang beragam, begitu pula pelakunya. Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna ‘adl (keadilan). Menurut penelitian M. Quraish Shihab, paling tidak ada empat makna keadilan. Pertama, ‘adl dalam arti “sama”. Pengertian ini yang paling banyak terdapat di dalam al-Quran, antara lain pada S. an-Nisa’ (4): 3, 58 dan 129, S. asy-Syura (42): 15, S. Al-Ma’idah (5): 8, S. An-Nahl (16): 76, 90, dan S. Al-Hujurat (49): 9. Kata ‘adl dengan arti sama (persamaan) pada ayat-ayat tersebut yang dimaksud adalah persamaan dalam hak.

Di dalam S. An-Nisa’ (4): 58, misalnya ditegaskan, Wa idza hakamtum bainannasi an tahkumu bil-‘adl (وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ = Apabila [kamu] menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kamu menetapkan dengan adil). Kata ‘adl di dalam ayat ini diartikan “sama”, yang mencakup sikap dan perlakuan hakim pada saat proses pengambilan keputusan. Yakni, menuntun hakim untuk menetapkan pihak-pihak yang bersengketa di dalam posisi yang sama, misalnya tempat duduk, penyebutan nama (dengan atau tanpa embel-embel penghormatan), keceriahan wajah, kesungguhan mendengarkan, memikirkan ucapan mereka, dan sebagainya, termasuk di dalamnya proses pengambilan keputusan. 

Menurut al-Baidhawi, kata ‘adl bermakna “berada di pertengahan dan mempersamakan”. Pendapat seperti ini dikemukakan pula oleh Rasyid Ridha bahwa keadilan yang diperintahkan di sini dikenal oleh pakar bahasa Arab dan bukan berarti menetapkan hukum (memutuskan perkara) berdasarkan apa yang telah pasti di dalam agama. Sejalan dengan pendapat ini, Sayyid Quthub menyatakan bahwa dasar persamaan itu adalah sifat kemanusiaan yang dimiliki setiap manusia. Ini berimplikasi pada persamaan hak karena mereka sama-sama manusia. Dengan begitu, keadilan adalah hak setiap manusia dan dengan sebab sifatnya sebagai manusia menjadi dasar keadilan dalam ajaran-ajaran ketuhanan.

Kedua, ‘adl dalam arti “seimbang”. Pengertian ini ditemukan di dalam S. al-Ma’idah (5): 95 dan S. al-Infithar (82): 7. Pada ayat yang disebutkan terakhir, misalnya dinyatakan, Alladzi khalaqaka fa-sawwaka fa-‘adalaka (اَلَّذِىْ خَلَقَكَ فَسَوَّاكَ فَعَدَلَكَ = [Allah] Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan [susunan tubuh]-mu seimbang).

M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang di dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian. Dengan terhimpunnya syarat yang ditetapkan, kelompok itu dapat bertahan dan berjalan memenuhi tujuan kehadirannya. Jadi, seandainya ada salah satu anggota tubuh manusia berlebih atau berkurang dari kadar atau syarat yang seharusnya, maka pasti tidak akan terjadi keseimbangan (keadilan). Keadilan di dalam pengertian ‘keseimbangan’ ini menimbulkan keyakinan bahwa Allahlah Yang Mahabijaksana dan Maha Mengetahui menciptakan serta mengelola segala sesuatu dengan ukuran, kadar, dan waktu tertentu guna mencapai tujuan. Keyakinan ini nantinya mengantarkan kepada pengertian ‘Keadilan Ilahi’. 

Ketiga, ‘adl dalam arti “perhatian terhadap hak individu dan memberikan hak itu kepada setiap pemiliknya”. Pengertian inilah yang didefinisikan dengan “menempatkan sesuatu pada tempatnya” atau “memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat”. Lawannya adalah kezaliman, yakni pelanggaran terhadap hak pihak lain. Pengertian ini disebutkan di dalam S. al-An‘am (6): 152, Wa Idza qultum fa‘dilu walau kana dza qurba (وَاِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوْا وَلَوْكَانَ ذَاقُرْبَى = Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat[mu]). Pengertian ‘adl seperti ini melahirkan keadilan sosial. 

Keempat, ‘adl dalam arti yang dinisbahkan kepada Allah. ‘Adl di sini berarti memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat saat terdapat banyak kemungkinan untuk itu. Jadi, keadilan Allah pada dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. Keadilan Allah mengandung konsekuensi bahwa rahmat Allah swt. tidak tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya. Allah memiliki hak atas semua yang ada, sedangkan semua yang ada tidak memiliki sesuatu di sisi-Nya. Di dalam pengertian inilah harus dipahami kandungan S. Ali ‘Imran (3): 18, yang menunjukkan Allah swt. sebagai Qaiman bil-qisthi (قَائِمًا بِالْقِسْط =Yang menegakkan keadilan).

Di samping itu, kata ‘adl digunakan juga dalam berbagai arti, yakni (1) kebenaran, seperti di dalam S. Al-Baqarah (2): 282; (2) menyandarkan perbuatan kepada selain Allah dan atau menyimpang dari kebenaran, seperti di dalam S. An-Nisa’ (4): 135; (3) membuat sekutu bagi Allah atau mempersekutukan-Nya (musyrik), seperti di dalam S. al-An‘am (6): 1 dan 150; (4) menebus, seperti di dalam S. al-Baqarah (2): 48, 123 dan S. al-An‘am (6): 70.
‘Adl/al-‘Adl (عَدْل\اَلْعَدْل) juga merupakan salah satu al-asma’ul husna, yang menunjuk kepada Allah sebagai pelaku. Dalam kaidah bahasa Arab, apabila kata jadian (mashdar) digunakan untuk menunjuk kepada pelaku, maka hal tersebut mengandung arti “kesempurnaan”. Demikian halnya jika dinyatakan Allah adalah Al-‘Adl (اَلْعَدْل = keadilan), maka ini berarti bahwa Dia adalah pelaku keadilan yang sempurna.
Dalam hal ini, M. Quraish Shihab menegaskan bahwa manusia yang bermaksud meneladani sifat Allah yang ‘adl (عَدْل) ini -- setelah meyakini keadilan Allah -- dituntut untuk menegakkan keadilan walau terhadap keluarga, ibu, bapak, dan dirinya, bahkan terhadap musuhnya sekalipun. Keadilan pertama yang dituntut adalah dari dirinya dan terhadap dirinya sendiri, yakni dengan jalan meletakkan syahwat dan amarahnya sebagai tawanan yang harus mengikuti perintah akal dan agama; bukan menjadikannya tuan yang mengarahkan akal dan tuntunan agama. Karena jika demikian, ia justru tidak berlaku ‘adl, yakni menempatkan sesuatu pada tempatnya yang wajar. (Muhammadiyah Amin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar