22 Januari 2010

TIDAK SAH CERAI DALAM KEADAAN MARAH

Bercerai (talak) adalah perbuatan halal tetapi Allah ‘Azza wa Jalla membencinya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Perkara halal yang paling Allah benci adalah talak (cerai).” (HR. Sunan Abu Daud, Bab Fii karahiyati at Thalaq, Juz. 6, hal. 90. no. 1862, 1863. Sunan Ibnu Majah, Juz. 6, Hal. 175. no. 2008 Sunan al Kubra Imam al Baihaqi, Juz. 7, hal. 322. Al Hakim, Al Mustadrak ‘Alas Shahihain, Juz.6, Hal. 414, no.2745, Dia meshahihkan hadits ini. Sunan Ad Daruquthni, Juz. 9, Hal. 65, No. 4032. Al Maktabah Asy Syamilah)
Hendaknya suami tidak bermain-main dengan lidahnya untuk mudah mengeluarkan kata-kata ‘kamu saya cerai,’ ‘kita berpisah,’ ‘kamu bukan apa-apa lagi bagi saya, ‘ dan kata-kata lain yang mengisyaratkan cerai atau talak. Isteri juga demikian, tidak gampang meminta cerai hanya karena masalah yang masih bisa didiskusikan dengan baik.
Para ulama, mayoritas mengatakan bahwa cerai atau talak hanya jatuh jika dilakukan dengan sadar, tidak mabuk, tidak terpaksa atau dipaksa, tidak sedang dikuasai marah, walau pun tidak ada saksi. Sedangkan mencerai isteri sedang haid adalah talak bid’ah dan haram, walau pun sebagian ulama ada yang mengatakan sah. (namun menurut mereka tetap terlarang). Sebab secara psikologis (kejiwaan), sangat menyiksa bagi wanita.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Maka hendaklah ia menceraikannya dalam keadaan suci atau ketika hamil.” (HR. Ahmad, dari Ibnu Umar)
Adapun orang yang tidak sadar, mungkin krena mabuk, tidak sah talaknya sebagaimana yang dikatakan Utsman bin Affan, Ibnu Abbas, Ahmad, Bukhari, Abusy Sya’ Sya’, Atha’, Thawus, Ikrimah, Al Qasim bin Muhammad, Umar bin Abdul Aziz, Rabi’ah, Laits bin Sa’ad, Al Muzani, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan lain-lain. Inilah pendapat yang kuat, bahwa cerai baru jatuh ketika sadar dan akal normal.
Ada juga ulama yang berkata, talak orang mabuk adalah sah seperti Said bin al Musayyib, Hasan al Bashri, Az Zuhri, Asy Sya’bi, Sufyan Ats Tsauri, Malik, Abu hanifah, dan Asy Syafi’i.
Nah, jadi walau tidak ada saksi talak tetap sah menurut agama, sehingga mereka tidak boleh tinggal serumah apalagi bersetubuh. Adapun pengadilan, sebenarnya selama seorang suami sudah menyatakan talak secara sadar, tidak terpaksa atau dipaksa, tidak sedang marah, maka itu sudah sah walau pengadilan belum mengeluarkan keputusan.Pengadilan hanyalah memperkuat statusnya dengan surat yang dikeluarkannya. Karena keputusan ditangan syariat, dan pengadilan harus mengikuti syariat, bukan syariat yang harus mengikuti dan menunggu pengadilan. Sayangnya, banyak pengadilan yang tidak diisi oleh orang yang faham fiqih masalah ini, mereka hanyalah sarjana hukum di Perguruan Tinggi umum. Kita berbaik sangka, bisa jadi lamanya keputusan, merupakan siasat pengadilan agar mereka berdua mengurungkan niatnya untuk bercerai.
Dalam hal rujuk, tidak ada kalimat tertentu (khusus) dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang cara pengucapannya. Terpenting adalah sudah ada niat baik untuk rujuk secara jelas dari kedua belah pihak, dengan ucapan yang apa pun yang bermakna rujuk. Tanpa usah akad nikah yang baru. Rujuk boleh dilakukan jika suami-isteri tersebut baru talak raj’i (talak 1 dan 2), SELAMA MASIH  DALAM MASA  IDAH....(3X SUCI)
adapun talak ba’in (talak 3) sudah tidak boleh rujuk lagi, kecuali si wanita sudah menikah dengan orang lain terlebih dahulu, lalu cerai lagi. Nah, barulah mereka berdua boleh menikah dengan akad nikah yang baru.
Perkara ini banyak ditemui di kitab-kitab fiqih seperti Fiqhus Sunnah, Tamamul Minnah, Fatawa Mu’ashirah, dan lainnya. Wallahu A’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar