07 Desember 2009

HAK WANITA DALAM ISLAM

Sesungguh Islam menempatkan wanita pada posisi yg tinggi dan sejajar de-ngan pria. Namun dlm beberapa hal ada yg harus berbeda krn pria dan wanita hakikat adl makhluk yg berbeda. Kesalahan dlm memahami ajaran yg benar inilah yg menjadikan Islam kerap dituding sebagai agama yg menempatkan wanita sebagai “warga kelas dua.” Benarkah? Simak kupasannya!
Suatu hal yg tdk kita sangsikan bahwa Islam demikian memuliakan wanita dari semula makhluk yg tiada berharga di hadapan “peradaban manusia” diinjak-injak kehormatan dan harga diri kemudian diangkat oleh Islam ditempatkan pada tempat yg semesti dijaga dihargai dan dimuliakan. Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yg telah memberikan banyak kebaikan kepada hamba-hamba-Nya.
Keterangan ringkas yg akan dibawakan sedikit akan memberikan gambaran bagaimana Islam menjaga hak-hak kaum wanita sejak mereka dilahirkan ke muka bumi dibesarkan di tengah keluarga sampai dewasa beralih ke perwalian sang suami.


1. Pada Masa Kanak-kanak
Di masa jahiliah tersebar di kalangan bangsa Arab khusus kebiasaan menguburkan anak perempuan hidup-hidup krn keengganan mereka memelihara anak perempuan. Lalu datanglah Islam mengharamkan perbuatan tersebut dan menuntun manusia utk berbuat baik kepada anak perempuan serta menjaga dgn baik. Ganjaran yg besar pun dijanjikan bagi yg mau melaksanakannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan anjuran dlm sabda-Nya:

مَنْ عَالَ جَارِيَتَيْنِ حَتَّى تَبْلُغَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ
“Siapa yg memelihara dua anak perempuan hingga kedua mencapai usia baligh mk orang tersebut akan datang pada hari kiamat dlm keadaan aku dan dia1 seperti dua jari ini.” Beliau menggabungkan jari-jemarinya.
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkisah: “Datang ke rumahku seorang wanita peminta-minta beserta dua putrinya. Namun aku tdk memiliki apa-apa yg dapat kusedekahkan kepada mereka kecuali hanya sebutir kurma. Wanita tersebut menerima kurma pemberianku lalu dibagi utk kedua putri sementara ia sendiri tdk memakannya. Kemudian wanita itu berdiri dan keluar dari rumahku. tdk berapa lama masuklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kuceritakan hal tersebut kepada beliau. Usai mendengar penuturanku beliau bersabda:

مَنِ ابْتُلِيَ مِنْ هَذِهِ الْبَنَاتِ بِشَيْءٍ فَأَحْسَنَ إِلَيْهِنَّ كُنَّ لَهُ سِتْرًا مِنَ النَّارِ
“Siapa yg diuji dgn sesuatu dari anak-anak perempuan lalu ia berbuat baik kepada mereka mk mereka akan menjadi penghalang/penutup bagi dari api neraka.”
Kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu dlm penjelasan atas hadits di atas: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut dgn ujian krn manusia biasa tdk menyukai anak perempuan sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang kebiasaan orang2 jahiliah:

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِاْلأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيْمٌ. يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوْءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُوْنٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلاَ ساَءَ مَا يَحْكُمُوْنَ
“Apabila salah seorang dari mereka diberi kabar gembira dgn kelahiran anak perempuan menjadi merah padamlah wajah dlm keadaan ia menahan amarah. Ia menyembunyikan diri dari orang banyak krn buruk berita yg disampaikan kepadanya. apakah ia akan memelihara dgn menanggung kehinaan ataukah akan menguburkan hidup-hidup di dlm tanah? Ketahuilah alangkah buruk apa yg mereka tetapkan itu.”
Hadits-hadits yg telah disebutkan di atas menunjukkan keutamaan berbuat baik kepada anak perempuan memberikan nafkah kepada mereka dan bersabar memelihara mereka.
Islam mewajibkan kepada seorang ayah utk menjaga anak perempuan memberi nafkah kepada sampai ia menikah dan memberikan kepada bagian dari harta warisan.

2. dlm masalah pernikahan
Wanita diberi hak utk menentukan pendamping hidup dan diperkenankan menolak calon suami yg diajukan orang tua atau kerabat bila tdk menyukainya. Beberapa hadits di bawah ini menjadi bukti:
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لاَ تُنْكَحُ اْلأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلاَ تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ. قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: أَنْ تَسْكُتَ
“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah dan tdk boleh seorang gadis dinikahkan hingga diminta izinnya.” Para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah bagaimanakah izin seorang gadis?” “Izin adl dgn ia diam” jawab Rasulullah.
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنَّ الْبِكْرَ تَسْتَحِي. قاَلَ: رِضَاهَا صَمْتُهَا
“Wahai Rasulullah sesungguh seorang gadis itu malu .” Beliau menjelaskan “Tanda ridhanya gadis itu adl diamnya.”
Khansa` bintu Khidam Al-Anshariyyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan ayah menikahkan dgn seorang lelaki ketika ia menjanda. Namun ia menolak pernikahan tersebut. Ia adukan perkara kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga akhir beliau membatalkan pernikahannya.
Hadits di atas diberi judul oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dlm kitab Shahih-nya: Bab Apabila seseorang menikahkan putri sementara putri tdk suka mk pernikahan itu tertolak.
Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr Ash-Shiddiq menceritakan salah seorang putri Ja’far2 merasa khawatir wali akan menikahkan secara paksa. mk ia mengutus orang utk mengadukan hal tersebut kepada dua syaikh dari kalangan Anshar ‘Abdurrahman dan Majma’ kedua adl putra Yazid bin Jariyah. Kedua berkata “Janganlah kalian khawatir krn ketika Khansa` bintu Khidam dinikahkan ayah dlm keadaan ia tdk suka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak pernikahan tersebut.”
Buraidah ibnul Hushaib radhiyallahu ‘anhu mengabarkan:

جَاءَتْ فَتَاةٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقاَلَتْ: إِنَّ أَبِي زَوَّجَنِي ابْنَ أَخِيْهِ لِيَرْفَعَ بِي خَسِيْسَتَهُ. قَالَ: فَجَعَلَ اْلأَمْرَ إِلَيْهَا، فَقَالَتْ: قَدْ أَجَزْتُ مَا صَنَعَ أَبِي، وَلَكِنْ أَرَدْتُ أَنْ تَعْلَمَ النِّسَاءُ أَنْ لَيْسَ لِلآبَاءِ مِنَ اْلأَمْرِ شَيْءٌ
“Pernah datang seorang wanita muda menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dlm rangka mengadu ‘Ayahku menikahkanku dgn anak saudara utk menghilangkan kehinaan yg ada pada dgn pernikahanku tersebut’ ujarnya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan keputusan pada . Si wanita berkata ‘Aku membolehkan ayah utk melakukannya. Ha saja aku ingin para wanita tahu bahwa ayah mereka tdk memiliki urusan sedikitpun dlm memutuskan perkara seperti ini’.” “Hadits ini shahih menurut syarat Al-Imam Muslim.”}
Islam memberikan hak seperti ini kepada wanita krn Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan wanita sebagai penenang bagi suami dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kehidupan suami istri ditegakkan di atas mawaddah wa rahmah. mk bagaimana akan terwujud makna yg tinggi ini apabila seorang gadis diambil secara paksa sebagai istri sementara ia dlm keadaan tdk suka? Lalu bila demikian keadaan sampai kapan pernikahan itu akan bertahan dgn tenang dan tenteram?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu menyatakan: “Tidak boleh seorang pun menikahkan seorang wanita kecuali terlebih dahulu meminta izin sebagaimana hal ini diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila si wanita tdk suka mk ia tdk boleh dipaksa utk menikah. Dikecualikan dlm hal ini bila si wanita masih kecil krn boleh bagi ayah menikahkan gadis kecil tanpa meminta izinnya. Adapun wanita yg telah berstatus janda dan sudah baligh mk tdk boleh menikahkan tanpa izin sama saja baik yg menikahkan itu ayah atau yg lainnya. Demikian menurut kesepakatan kaum muslimin.”
Ibnu Taimiyyah rahimahullahu melanjutkan: “Ulama berbeda pendapat tentang izin gadis yg akan dinikahkan apakah izin itu wajib hukum atau mustahab . Yang benar dlm hal ini adl izin tersebut wajib. Dan wajib bagi wali si wanita utk bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dlm memilih lelaki yg akan ia nikahkan dgn si wanita dan hendak si wali melihat apakah calon suami si wanita tersebut sekufu atau tidak. Karena pernikahan itu utk kemaslahatan si wanita bukan utk kemaslahatan pribadi si wali.”
Islam menetapkan kepada seorang lelaki yg ingin menikahi seorang wanita agar memberikan mahar pernikahan kepada si wanita. Dan mahar itu nanti adl hak si wanita tdk boleh diambil sedikitpun kecuali dgn keridhaannya.

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْئًا مَرِيْئًا
“Berikanlah mahar kepada para wanita sebagai pemberian dgn penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian dgn senang hati sebagian dari mahar tersebut mk makanlah pemberian itu yg sedap lagi baik akibatnya.”
Al-Imam Al-Qurthubi Subhanahu wa Ta’ala berkata “Ayat ini menunjukkan wajib pemberian mahar kepada wanita yg dinikahi. Ulama menyepakati hal ini tanpa ada perbedaan pendapat kecuali riwayat sebagian ahlul ilmi dari penduduk Irak yg menyatakan bila seorang tuan menikahkan budak laki2 dgn budak wanita mk tdk wajib ada mahar. Namun pendapat ini tdk dianggap.”

3. Sebagai Seorang Ibu
Islam memuliakan wanita semasa kecil ketika remaja dan saat ia menjadi seorang ibu. Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan seorang anak utk berbakti kepada kedua orang tua ayah dan ibu. Allah Subhanahu wa Ta’ala titahkan hal ini dlm Tanzil-Nya setelah mewajibkan ibadah hanya kepada-Nya:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيْمًا. وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيْرًا
“Rabbmu telah menetapkan agar janganlah kalian beribadah kecuali hanya kepada-Nya dan hendaklah kalian berbuat baik terhadap kedua orangtua. Apabila salah seorang dari kedua atau kedua-dua menginjak usia lanjut dlm pemeliharaanmu mk janganlah engkau mengatakan kepada kedua perkataan ‘ah’ dan jangan membentak kedua namun ucapkanlah kepada kedua perkataan yg mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dgn penuh kasih sayang ucapkanlah doa “Wahai Rabbku kasihilah mereka berdua sebagaimana mereka telah memelihara dan mendidikku sewaktu kecil.”
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

وَوَصَّيْنَا اْلإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهًا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًا وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلاَثُوْنَ شَهْرًا
“Dan Kami telah mewasiatkan manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibu telah mengandung dgn susah payah dan melahirkan dgn susah payah pula. Mengandung sampai menyapih adl tigapuluh bulan”
Ketika shahabat yg mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللهِ؟ قَالَ: الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا. قَالَ: ثُمَّ أَيُّ؟ قَالَ: ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ..
“Amal apakah yg paling dicintai oleh Allah?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab “Shalat pada waktunya.” “Kemudian apa setelah itu?” ta ‘Abdullah lagi. Kata beliau “Kemudian birrul walidain .”
Kata Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu -seorang shahabat Rasul yg sangat berbakti kepada ibundanya- “Ada seseorang berta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: أُمُّكَ. قَالَ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ أَبُوْكَ
“Wahai Rasulullah siapakah di antara manusia yg paling berhak utk aku berbuat baik kepadanya?” Rasulullah menjawab “Ibumu.” “Kemudian siapa?” tanya lagi. “Ibumu” jawab beliau. Kembali orang itu berta “Kemudian siapa?” “Ibumu.” “Kemudian siapa?” ta orang itu lagi. “Kemudian ayahmu” jawab Rasulullah.
Hadits di atas menunjukkan pada kita bahwa hak ibu lbh tinggi daripada hak ayah dlm menerima perbuatan baik dari anaknya. Hal itu disebabkan seorang ibulah yg merasakan kepayahan mengandung melahirkan dan menyusui. Ibulah yg bersendiri merasakan dan menanggung ketiga perkara tersebut kemudian nanti dlm hal mendidik baru seorang ayah ikut andil di dalamnya. Demikian dinyatakan Ibnu Baththal rahimahullahu sebagaimana dinukil oleh Al-Hafidz rahimahullahu.
Islam mengharamkan seorang anak berbuat durhaka kepada ibu sebagaimana ditegaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dlm sabda beliau:

إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوْقَ اْلأُمَّهَاتِ..
“Sesungguh Allah mengharamkan kalian berbuat durhaka kepada para ibu”
Al-Hafizh rahimahullahu menerangkan “Dikhususkan penyebutan para ibu dlm hadits ini krn perbuatan durhaka kepada mereka lbh cepat terjadi daripada perbuatan durhaka kepada ayah disebabkan kelemahan mereka sebagai wanita. Dan juga utk memberikan peringatan bahwa berbuat baik kepada seorang ibu dgn memberikan kelembutan kasih sayang dan semisal lbh didahulukan daripada kepada ayah.”
Sampai pun seorang ibu yg masih musyrik ataupun kafir tetap diwajibkan seorang anak berbuat baik kepadanya. Hal ini ditunjukkan dlm hadits Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu ‘anha. Ia berkisah: “Ibuku yg masih musyrik datang mengunjungiku bertepatan saat terjalin perjanjian antara Quraisy dgn Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku pun berta kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ibuku datang berkunjung dan memintaku utk berbuat baik kepadanya. Apakah aku boleh menyambung hubungan dengannya?” Beliau menjawab “Ya sambunglah hubungan dgn ibumu.”

4. Sebagai Istri
Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan seorang suami agar bergaul dgn istri dgn cara yg baik.

وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan bergaullah dgn mereka dgn cara yg baik.”
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullahu berkata “Ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ meliputi pergaulan dlm bentuk ucapan dan perbuatan. Karena itu sepantas seorang suami mempergauli istri dgn cara yg ma’ruf menemani dan menyertai dgn baik menahan gangguan terhadap mencurahkan kebaikan dan memperbagus hubungan dengannya. Termasuk dlm hal ini pemberian nafkah pakaian dan semisalnya. Dan tentu pemenuhan berbeda-beda sesuai dgn perbedaan keadaan.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para suami:

لاَ تَضْرِبُوا إِمَاءَ اللهِ
“Janganlah kalian memukul hamba-hamba perempuan Allah.”
‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu datang mengadu “Wahai Rasulullah para istri berbuat durhaka kepada suami-suami mereka.” Mendengar hal itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan utk memukul istri bila berbuat durhaka. Selang beberapa waktu datanglah para wanita dlm jumlah yg banyak menemui istri-istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam utk mengadukan perbuatan suami mereka. Mendengar pengaduan tersebut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ أُولَئِكَ بِخِيَارِكُمْ
“Mereka itu bukanlah orang yg terbaik di antara kalian.”
Beliau juga pernah bersabda:

أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنَسَائِهِمْ
“Mukmin yg paling sempurna iman adl yg paling baik akhlak di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adl yg paling baik terhadap istri-istrinya.”
Banyak hak yg diberikan Islam kepada istri seperti suami dituntut utk bergaul dgn baik terhadap istri ia berhak memperoleh nafkah pengajaran penjagaan dan perlindungan yg ini semua tdk didapatkan oleh para istri di luar agama Islam.
Bila sudah demikian penjagaan Islam terhadap hak wanita dan pemuliaan Islam terhadap kaum wanita; lalu apa lagi yg ingin diteriakkan oleh kalangan feminis yg kata memperjuangkan hak wanita padahal sebenar ingin mencampakkan wanita kembali ke lembah kehinaan terpuruk dan terinjak-injak?
Wallahul musta’an.

1 Maknanya:
جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَنَا وَهُوَ كَهَاتَيْنِ
2 Kemungkinan terbesar Ja’far yg dimaksud adl Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu kata Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu.
Sumber: www.asysyariah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar