Dalam Labuhan Lembutnya Kasihmu
Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein
Penulis : Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein
Suami adalah nahkoda dalam bahtera rumah tangga, demikian syariat
telah menetapkan. Dengan kesempurnaan hikmah-Nya, Allah ta`ala telah
mengangkat suami sebagai qawwam (pemimpin).
الرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلىَ النِّسَاءِ
”Kaum pria adalah qawwam bagi kaum wanita….” (An-Nisa: 34)
Suamilah yang kelak akan ditanya dan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah ta`ala tentang keluarganya, sebagaimana diberitakan oleh Rasul yang mulia shallallahu alaihi wasallam:
Suamilah yang kelak akan ditanya dan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah ta`ala tentang keluarganya, sebagaimana diberitakan oleh Rasul yang mulia shallallahu alaihi wasallam:
اَلرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْهُمْ
“Laki-laki (suami) adalah pemimpin bagi keluarganya dan kelak ia
akan ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang mereka.” (Shahih,
HR. Al-Bukhari no. 2554 dan Muslim no. 1829)
Dalam menjalankan fungsinya ini, seorang suami tidak boleh bersikap
masa bodoh, keras, kaku dan kasar terhadap keluarganya. Bahkan
sebaliknya, ia harus mengenakan perhiasan akhlak yang mulia, penuh
kelembutan, dan kasih sayang. Meski pada dasarnya ia adalah seorang
yang berwatak keras dan kaku, namun ketika berinteraksi dengan orang
lain, terlebih lagi dengan istri dan anak-anaknya, ia harus bisa
bersikap lunak agar mereka tidak menjauh dan berpaling. Dan sikap lemah
lembut ini merupakan rahmat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana
kalam-Nya ketika memuji Rasul-Nya yang mulia:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظاًّ غَلِيْظَ الْقَلْبِ لاَنْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ
“Karena disebabkan rahmat Allah lah engkau dapat bersikap lemah
lembut dan lunak kepada mereka. Sekiranya engkau itu adalah seorang
yang kaku, keras lagi berhati kasar, tentu mereka akan menjauhkan diri
dari sekelilingmu.” (Ali ‘Imran: 159)
Dalam tanzil-Nya, Allah Subhanahu wa Ta`ala juga memerintahkan
seorang suami untuk bergaul dengan istrinya dengan cara yang baik.
وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang baik.” (An-Nisa: 19)
Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan ayat di atas,
menyatakan: “Yakni perindah ucapan kalian terhadap mereka (para istri)
dan perbagus perbuatan dan penampilan kalian sesuai kadar kemampuan.
Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka
engkau (semestinya) juga berbuat hal yang sama. Allah Ta`ala berfirman
dalam hal ini:
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf.” (Al-Baqarah: 228)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah bersabda:
خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ, وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِيْ
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya
(istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian
terhadap keluargaku (istriku).”
Termasuk akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau sangat
baik hubungannya dengan para istrinya. Wajahnya senantiasa
berseri-seri, suka bersenda gurau dan bercumbu rayu dengan istri,
bersikap lembut terhadap mereka dan melapangkan mereka dalam hal nafkah
serta tertawa bersama istri-istrinya. Sampai-sampai, beliau pernah
mengajak ‘Aisyah Ummul Mukminin berlomba, untuk menunjukkan cinta dan
kasih sayang beliau terhadapnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/477)
Masih menurut Al-Hafidz Ibnu Katsir: “(Termasuk cara Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam dalam memperlakukan para istrinya secara
baik) setiap malam beliau biasa mengumpulkan para istrinya di rumah
istri yang mendapat giliran malam itu. Hingga terkadang pada sebagian
waktu, beliau dapat makan malam bersama mereka. Setelah itu,
masing-masing istrinya pun kembali ke rumah. Beliau pernah tidur
bersama salah seorang istrinya dalam satu pakaian. Beliau meletakkan
rida (semacam pakaian ihram bagian atas)-nya dari kedua pundaknya, dan
tidur dengan kain/ sarung. Dan biasanya setelah shalat ‘Isya, beliau
shallallahu ‘alaihi wasallam masuk rumah dan berbincang-bincang sejenak
dengan istrinya sebelum tidur guna menyenangkan mereka. (Tafsir Ibnu
Katsir, 1/477)
Demikian yang diperbuat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, seorang
Rasul pilihan, pemimpin umat, sekaligus seorang suami dan pemimpin
dalam rumah tangganya. Kita dapati petikan kisah beliau dengan
keluarganya, sarat dengan kelembutan dan kemuliaan akhlak. Sementara
kita diperintah untuk menjadikan beliau sebagai contoh teladan.
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ
كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْراً
“Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah contoh yang baik
bagi orang yang mengharapkan perjumpaan dengan Allah dan hari akhir.
Dan dia banyak mengingat Allah.” (Al-Ahzab: 21)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa`di rahimahullah berkata: “Ayat Allah Ta`ala:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ
(Dan bergaullah dengan mereka (para istri) dengan cara yang ma`ruf)
meliputi pergaulan dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Karena itu,
sepantasnya bagi suami untuk mempergauli istrinya dengan cara yang
ma`ruf, menemani dan menyertai (hari-hari bersamanya) dengan baik,
menahan gangguan terhadapnya (tidak menyakitinya), mencurahkan kebaikan
dan memperbagus hubungan dengannya, termasuk dalam hal ini pemberian
nafkah, pakaian dan semisalnya. Dan hal ini berbeda-beda sesuai dengan
perbedaan keadaan.” (Taisir Al-Karimirir Rahman, hal. 172)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sendiri menjadikan ukuran
kebaikan seseorang bila ia dapat bersikap baik terhadap istrinya.
Beliau pernah bersabda:
أَكْمَلُ المُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنَسَائِهِمْ
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik
akhlaknya di antara mereka. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling
baik terhadap istri-istrinya.” (HR. Ahmad 2/527, At-Tirmidzi no. 1172.
Dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Ash-Shahihul
Musnad, 2/336-337)
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyatakan:
خِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنَسَائِهِمْ
karena para istri adalah makhluk Allah yang lemah sehingga
sepantasnya menjadi tempat curahan kasih sayang. (Tuhfatul Ahwadzi,
4/273)
Di sisi lain, beliau shallallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk
berhias dengan kelembutan, sebagaimana tuntunan beliau kepada istrinya
Aisyah:
عَلَيْكِ بِالرِّفْقِ
“Hendaklah engkau bersikap lembut .” (Shahih, HR. Muslim no. 2594)
Dan beliau shallallahu alaihi wasallam menyatakan:
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنَ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ وَلاَ يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
“Sesungguhnya kelembutan itu tidaklah ada pada sesuatu melainkan ia
akan menghiasinya (menjadikan sesuatu itu indah). Dan tidaklah
dihilangkan kelembutan itu dari sesuatu melainkan akan memperjeleknya.”
(Shahih, HR. Muslim no. 2594)
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي اْلأَمْرِ كُلِّهِ
“Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan dalam segala hal.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 6024)
وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لاَ يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ وَمَا لاَ يُعْطِي عَلَى سِوَاهُ
“Dan Allah memberikan kepada sikap lembut itu dengan apa yang tidak
Dia berikan kepada sikap kaku/ kasar dan dengan apa yang tidak Dia
berikan kepada selainnya.” (Shahih, HR. Muslim no. 2593)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Dalam hadits-hadits ini
menunjukkan keutamaan sikap lemah lembut (ar-rifq dengan makna yang
telah disebutkan, red) dan penekanan untuk berakhlak dengannya. Serta
celaan terhadap sikap keras, kaku, dan bengis. Kelembutan merupakan
sebab setiap kebaikan. Yang dimaksud dengan Allah memberikan kepada
sikap lembut ini adalah Allah memberikan pahala atasnya dengan pahala
yang tidak diberikan kepada selainnya.
Al-Qadhi berkata: “Maknanya dengan kebaikan tersebut akan dimudahkan
tercapainya tujuan-tujuan yang diinginkan dan akan dimudahkan segala
tuntutan, maksud dan tujuan yang ada. Di mana hal ini tidak dimudahkan
dan tidak disediakan untuk yang selainnya.” (Syarah Shahih Muslim,
16/145)
Dalam hubungan dengan istri dan keluarga, seorang suami harus
membiasakan diri dengan sifat rifq ini. Termasuk kelembutan seorang
suami ialah bila ia menyempatkan untuk bercanda dan bersenda gurau
dengan istrinya. Hal ini dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam dengan istrinya sebagaimana dinukilkan di atas. ‘Aisyah
radhiallahu anha menceritakan apa yang ia alami dengan suami dan
kekasihnya yang mulia. Dalam sebuah safar (perjalanan), Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada para shahabatnya:
“Majulah kalian (jalan duluan)”. Maka mereka pun berjalan mendahului
beliau. Lalu beliau berkata kepada ‘Aisyah (yang ketika itu masih belia
dan langsing):
“Ayo, kita berlomba lari”. Kata Aisyah: “Akupun berlomba bersama
beliau dan akhirnya dapat mendahului beliau”. Waktupun berlalu. Ketika
Aisyah telah gemuk, Rasulullah kembali mengajaknya berlomba dalam satu
safar yang beliau lakukan bersama ‘Aisyah. Beliau bersabda kepada para
shahabatnya: “Majulah kalian”. Maka mereka pun mendahului beliau. Lalu
beliau berkata kepadaku: “Ayo, kita berlomba lari”. Kata ‘Aisyah: “Aku
berusaha mendahului beliau namun beliau dapat mengalahkanku”.
Mendapatkan hal itu, beliau pun tertawa seraya berkata: “Ini sebagai
balasan lomba yang lalu (kedudukannya seri, red).” (HR. Abu Dawud no.
2214. Asy-Syaikh Muqbil menshahihkan sanad hadits ini dalam takhrij
beliau terhadap Tafsir Ibnu Katsir, 2/286).
Allah Ta`ala Yang Maha Adil menciptakan wanita dengan segala
kekurangan dan kelemahannya. Ia butuh dibimbing dan diluruskan karena
ia merupakan makhluk yang diciptakan dari tulang yang bengkok. Namun
meluruskannya butuh kelembutan dan kesabaran agar ia tidak patah.
المرْأَةُ كَالضِّلَعِ إِنْ أَقَمْتَهَا كَسَرْتَهَا, وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا اِسْتَمْتَعْتَ بِهَا وَفِيْهَا عِوَجٌ
“Wanita itu seperti tulang rusuk, bila engkau meluruskannya engkau
akan mematahkannya. Dan bila engkau ingin bersenang-senang dengannya,
engkau dapat bersenang-senang dengannya namun pada dirinya ada
kebengkokan.”
Demikian disabdakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam
hadits yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya (no. 5184)
dan Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya (no. 1468). Dan hadits ini diberi
judul bab oleh Al-Imam Al-Bukhari dengan bab Al-Mudarah ma`an Nisa
(Bersikap baik, ramah dan lemah lembut terhadap para istri).
Rasul yang mulia, shallallahu ‘alaihi wasallam, juga bersabda:
وَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ مِنْ
ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاهُ, فَإِنْ ذَهَبْتَ
تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ, وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ
فَاسْتَوْصُوْا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
“Berwasiatlah kalian kepada para wanita (istri) karena mereka itu
diciptakan dari tulang rusuk. Dan bagian yang paling bengkok dari
tulang rusuk adalah bagian yang paling atas. Bila engkau paksakan untuk
meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya. Namun bila engkau
biarkan begitu saja (tidak engkau luruskan) maka dia akan terus menerus
bengkok. Karena itu berwasiatlah kalian kepada para wanita (istri).”
(Shahih, HR. Al-Bukhari no. 5186 dan Muslim no. 1468)
Dalam riwayat Muslim disebutkan:
وَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيْمُهُ كَسَرْتَهُ وَكَسْرُهَا طَلاقُهَا
“Dan bila engkau paksakan untuk meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya. Dan patahnya adalah dengan menceraikannya.”
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullah berkata: “Sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam (فَاسْتَوْصُوْا) maksudnya adalah aku
wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik dengan para wanita (istri).
Maka terimalah wasiatku ini berkenaan dengan diri mereka, dan
amalkanlah.”
Beliau melanjutkan: “Dan dalam sabda Nabi (بِالنِّسَاءِ خَيْرًا )
seakan-akan ada isyarat agar suami meluruskan istrinya dengan lembut,
tidak berlebih-lebihan hingga mematahkannya. Dan tidak pula
membiarkannya hingga ia terus menerus di atas kebengkokannya.” (Fathul
Bari, 9/306)
Dalam hadits ini juga ada beberapa faidah, di antaranya disukai
untuk bersikap baik dan lemah lembut terhadap istri untuk menyenangkan
hatinya. Di dalam hadits ini juga menunjukkan bagaimana mendidik wanita
dengan memaafkan dan bersabar atas kebengkokan mereka. Siapa yang tidak
berupaya meluruskan mereka (dengan cara yang halus), dia tidak akan
dapat mengambil manfaat darinya. Padahal, tidak ada seorang pun yang
tidak butuh dengan wanita untuk mendapatkan ketenangan bersamanya dan
membantu dalam kehidupannya. Hingga seakan-akan Nabi mengatakan:
“Merasakan kenikmatan dengan istri tidak akan sempurna kecuali dengan
bersabar terhadapnya”. Dan satu faidah lagi yang tidak boleh diabaikan
adalah tidak disenangi bagi seorang suami untuk menceraikan istrinya
tanpa sebab yang jelas. (Lihat Fathul Bari, 9/306, Syarah Shahih
Muslim, 10/57)
Dengan adanya tuntunan beliau di atas, seyogyanya seorang suami
menjalankan tugasnya sebagai pemimpin dengan penuh kelembutan dan kasih
sayang kepada istri dan keluarganya yang lain. Sebagaimana istrinya pun
diperintah untuk taat kepadanya dalam perkara yang baik, sehingga akan
terwujud ketenangan di antara keduanya dan abadilah ikatan cinta dan
kasih sayang.
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجاً لِتَسْكُنُوْا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
“Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian
istri-istri (pasangan hidup) dari jenis kalian agar kalian merasakan
ketenangan bersamanya dan Dia menjadikan cinta dan kasih sayang di
antara kalian.” (Ar-Rum: 21)
هُوَ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَجَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا
“Dialah yang menciptakan kalian dari jiwa yang satu dan Dia
menjadikan pasangan dari jiwa yang satu itu, agar jiwa tersebut merasa
tenang bersamanya.” (Al-A`raf: 189)
Demikian kemuliaan dan kelembutan Islam yang menuntut pengamalan
dari kita sebagai insan yang mengaku tunduk kepada aturan Ilahi.
Wallahu ta`ala a`lam bish-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar