21 November 2009

HUKUM JUAL BELI DENGAN UANG MUKA (1)

Ustadz Kholid Syamhudi

PENGERTIAN UANG MUKA
Panjar (Down of Payment) dalam bahasa Arab adalah 'urbuun . Kata ini memiliki padanan kata (sinonim) dalam bahasa Arabnya yaitu, al-urbaan , 'al-urbaan  dan al-urbuun 1]. Secara bahasa artinya, y kata jadi transaksi dalam jual beli [2].Gambaran bentuk jual beli ini yaitu, sejumlah uang yang dibayarkan di muka oleh seorang pembeli barang kepada si penjual. Bila transaksi itu mereka lanjutkan, maka uang muka itu dimasukkan ke dalam harga pembayaran. Kalau tidak jadi, maka uang yang dibayarkan di muka menjadi milik si penjual.
Atau seorang pembeli menyerahkan sejumlah uang dan mengatakan : “ Apabila saya ambil barang tersebut, maka (uang muka/ down payment) ini sebagai bagian dari nilai harga. Dan bila saya membatalkannya (tidak jadi membelinya) maka uang ini menjadi milik anda (penjual)” [3]

Atau seorang pembeli menyerahkan sejumlah uang dan menyatakan: Apabila saya ambil barang tersebut maka ini adalah bagian dari nilai harga dan bila tidak jadi saya ambil maka uang (DP) tersebut untukmu. Atau seorang membeli barang dan menyerahkan kepada penjualnya satu dirham atau lebih dengan ketentuan apabila sipembeli mengambil barang tersebut, maka uang panjar tersebut dihitung pembayaran dan bila gagal maka itu milik penjual.
Jelas disini system jual beli ini dikenal dalam masyarakat kita dengan pembayaran DP atau uang jadi. Wallahu A'lam.

Hukum Jual Beli Dengan Uang Muka
Dalam permasalahan ini para ulama berbeda pendapat menjadi dua pendapat:

[1]. Yang berpendapat jual-beli dengan uang muka (panjar) ini tidak sah. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama di kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah dan Syafi'iyyah.

Al Khathabi mengatakan : Para ulama berselisih pendapat tentang bolehnya jual beli ini, Malik, Syafi'I menyatakan ketidaksahannya, karena adanya hadits[5] dan karena terdapat syarat fasad (rusak) dan Al-gharar (spekulasi)[6], Juga, jual-beli seperti ini termasuk dalam kategori memakan harta orang lain dengan cara bathil. Demikian juga Ash-habul Ra'yu (madzhab Abu Hanifah, -pen) menilainya tidak sah” [7]

Ibnu Qudamah mengatakan, demikianlah pendapat Imam Maalik, As-Syafi'i dan Ash-hab Ra'yu dan juga diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Al Hasan Al Bashri [8]

Yang menjadi argumentasi pendapat ini, di antaranya sebagaimana berikut ini.

[a]. Hadits Amru bin Syuaib, dari ayahnya, dari kakeknya bahwa ia berkata:

“Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli dengan sistem uang muka. Imam Maalik berkata : “Dan inilah adalah yang kita lihat –wallahu A'lam- seorang membeli budak atau menyewa hewan kendaraan kemudian berkata, ‘Saya berikan kepadamu satu dinar dengan ketentuan apabila saya membatalkan (tidak jadi) membeli atau tidak jadi menyewanya, maka uang yang telah saya berikan itu menjadi milikmu” [9]

[b]. Jenis jual beli dengan uang muka, termasuk dalam kategori memakan harta orang lain dengan cara batil, karena disyaratkan oleh si penjual tanpa ada kompensasinya [10]. Adapun memakan harta orang lain, hukumnya haram sebagaimana firman Allah:

“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu’ [An Nisaa' : 29]

[c]. Dalam jual beli dengan sistem uang muka tersebut, terdapat dua syarat batil: syarat yang menunjukkan kebatilannya. Pertama, syarat memberikan uang panjar. Kedua, syarat mengembalikan barang transaksi dengan perkiraan salah satu pihak tidak ridha. [11]

Hukumnya sama dengan hak pilih terhadap hal yang tidak diketahui (khiyaar al-majhul). Kalau disyaratkan harus ada pengembalian barang tanpa disebutkan waktunya, jelas tidak sah. Demikian juga apabila dikatakan: Saya mempunyai hak memilih. (Terserah) kapan saya ingin mengembalikan dengan tanpa dikembalikan uang pembayarannya” [12]. Menurut Ibnu Qudamah, demikian ini menunjukkan Qiyas (analogi) [13].
Pendapat ini dirajihkan As-Syaukani sebagaimana pernyataan beliau : “Yang rajih adalah pendapat mayoritas ulama, karena dalam hadits 'Amru bin Syu'aib terdapat beberapa jalan periwayatan yang saling menguatkan. Juga karena dalam jual-beli seperti ini terdapat larangan, dan hadits yang mengandung larangan lebih rajih dari yang menunjukkan bolehnya, sebagaimana telah jelas dalam ushul Fiqh. Yang menjadi illat (sebab hukum) larangan ini ialah, jual-beli seperti ini mengandung dua syarat yang fasid. Pertama, syarat menyerahkan kepada penjual harta (uang muka) secara gratis apabila pembeli batal membelinya. Kedua, syarat mengembalikan barang kepada penjual apabila si pembeli tidak ada keinginan untuk membelinya.[14]

[2]. Pendapat Yang Menyatakan Jual Beli Dengan Uang Muka Diperbolehkan. Inilah pendapat madzhab Hambaliyyah. Dan diriwayatkan bolehnya jual beli ini dari Umar, Ibnu Umar, Sa'id bin Al Musayyib dan Muhammad bin Sirin.[15]

Al Khathabi mengatakan: Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau memperbolehkan jual beli ini dan juga diriwayatkan dari Umar.

Imam Ahmad cenderung mengambil pendapat yang membolehkannya dan menyatakan. Aku tidak akan mampu menyatakan sesuatu sedangkan ini pendapat Umar Radhiyallahu ‘anhu yaitu bolehanya jual-beli dengan uang muka. Ahmad juga melemahkan (mendhoifkan) hadits larangan jual-beli yang seperti ini, disebabkan terputus. [16]

Argumentasi pendapat yang membolehkan ini, yaitu sebagaimana berikut ini.

[a]. Atsar yang berbunyi:

Dari Nafi bin Al-Harits, sesungguhnya ia pernah membelikan sebuah bangunan penjara untuk Umar dari Shafwan bin Umayyah, (dengan ketentuan) Apabila Umar suka. Bila tidak, maka Shafwan berhak mendapatkan uang sekian dan sekian.

Al-Atsram berkata: “Saya bertanya kepada Ahmad: "Apakah Anda berpendapat demikian?" Beliau menjawab: "Apa yang harus kukatakan? Ini Umar Radhiyallahu ‘anhu (telah berpendapat demikian)” [17]

[b]. Hadits Amru bin Syuaib adalah lemah, sehingga tidak dapat dijadikan sandaran dalam melarang jual beli dengan sistem uang muak ini.

[c]. Uang muka adalah kompensasi yang diberikan kepada penjual yang menunggu dan menyimpan barang transaksi selama beberapa waktu. Dia tentu saja akan kehilangan sebagian kesempatan berjualan. Dengan demikian, maka tidaklah benar pandangan yang mengatakan, bahwa uang muka telah dijadikan syarat oleh penjual tanpa ada imbalannya.

[d]. Tidak sahnya qiyas (analogi) jual beli ini dengan al-khiyar al majhul (hak pilih terhadap barang yang tidak diketahui), karena syarat dibolehkannya uang muka ini adalah dibatasinya waktu menunggu. Dengan dibatasinya waktu pembayaran, batal analogi tersebut, dan hilangnya sisi yang dilarang dari jual beli tersebut.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun X/1428H/2007. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
__________
Foote Note
[1]. Diambil dari catatan penulis dari penjelasan Syaikh DR. Abdulqayum As-Sahibaani dalam pelajaran kitab Nailul Authar di Universitas Islam Madinah, pada tanggal 11-6- 1418 H dan ada juga dalam Al Mughni Ibnu Qudamah (6/331).
[2]. Lihat Al Qaamus Al-Muhith Karya Al_Fairuz Abadi, cetakan kelima tahun 1416 H, Muassasah Al Risalah hal 1568
[3]. Catatan penulis dari keterangan Syeikh Abdulqayyum. As-Sahibaani
[4]. Al Mughni 6/ 331
[5]. Yaitu hadits Amru bin Syu'aib berikutnya (penulis)
[6]. Tentang al-gharar, lihat penjelasannya pada rubrik Fiqih dalam majalah As Sunnah Edisi:04/X/1427H/2006M
[7]. Ma'alim Sunan Syarah Sunan Abu Daud pada footnote sunan Abu Daud 3/768.
[8]. Al Mughni 6/331.
[9]. HR imam Maalik dalam Al-Muwattha 2/609, Ahmad dalam Musnadnya (no.6436) 2/183, Abu Dawud no. 3502 (3/768) dan Ibnu Majah 3192. lafadznya lafadz Abu Daud. Namun sanadnya lemah. Hadits ini dinilai dhoif (lemah) oleh Syeikh Al Albani dalam kitab Dhaif Sunan Abu Daud no. 3502 dan Dhaif Sunan Ibnu Majah 487/3192, Al Misykah 2864 dan Dhoif Al Jami' Al Shoghir 6060
[10]. Lihat Al Mughni 6/331
[11]. Lihat Shahih Fiqhus Sunnah 4/411
[12]. IIid
[13]. Ibid
[14]. Nailul Authar 6/289.
[15]. Lihat Al Mughni 6/331
[16]. Ma'alim Sunan Syarah Sunan Abu Daud pada footnote sunan Abu Daud (3/768)
[17]. Diriwayatkan oleh Al-Atsram dengan sanadnya. Lihat Al-Mughni (6/331)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar