Imam Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Nasai dari Zaid bin Arqom menyaksikan
bersama Rasulullah saw bersatunya dua hari raya. Maka beliau saw melaksanakan
shalat id diawal siang kemudian memberikan rukhshah (keringanan) terhadap
shalat jum’at dan bersabda,”Barangsiapa yang ingin menggabungkan maka
gabungkanlah.” Didalam sanadnya ada yang tidak dikenal maka hadits ini lemah.
Abu Daud dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu Hurairoh bahwa Nabi saw
bersabda,”Sungguh telah bersatu dua hari raya pada hari kalian. Maka
barangsiapa yang ingin menjadikannya pengganti (shalat) jum’at. Sesungguhnya
kami menggabungkannya.” Terdapat catatan didalam sanadnya. Sementara Ahmad bin
Hambal membenarkan bahwa hadits ini mursal, yaitu tidak terdapat sahabat
didalamnya.
Nasai dan Abu Daud meriwayatkan bahwa pernah terjadi dua hari raya bersatu
pada masa Ibnu az Zubeir lalu dia mengakhirkan keluar (untuk shalat, pen)
hingga terik meninggi lalu dia keluar dan berkhutbah kemudian melaknakan
shalat. Dia dan orang-orang tidak melaksanakan shalat (id) pada hari jum’at..
Catatan bahwa shalat yang dilakukan itu adalah shalat jum’at, hal itu
ditunjukkan dengan mengedepankan khutbah sebelum shalat.
Didalam riwayat Abu Daud bahwa pada masa Ibnu az Zubeir telah terjadi hari
raya bertepatan dengan hari jum’at lalu dia menggabungkan keduanya dan
melaksanakan shalat keduanya dengan dua rakaat lebih awal dan tidak tidak
melebihkan dari keduanya hingga dia melaksanakan shalat ashar..
Terhadap berbagai nash tertentu tentang bertepatannya hari jum’at dengan
hari raya maka para ulama Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa suatu shalat
tidaklah bisa menggantikan shalat yang lainnya dan sesungguhnya setiap dari
shalat itu tetap dituntut untuk dilakukan. Suatu shalat tidaklah bisa
menggantikan suatu shalat lainnya bahkan tidak diperbolehkan menggabungkan
(jama’) diantara keduanya. Sesungguhnya jama’ adalah keringanan khusus terhadap
shalat zhuhur dan ashar atau maghrib dan isya.
Sedangkan para ulama Hambali mengatakan bahwa barangsiapa yang melaksanakan
shalat id maka tidak lagi ada kewajiban atasnya shalat jum’at kecuali terhadap
seorang imam maka kewajiban itu tetap ada padanya jika terdapat jumlah orang
yang cukup untuk sahnya suatu shalat jum’at. Adapun jika tidak terdapat jumlah
yang memadai maka tidak diwajibkan untuk shalat jum’at…
Para ulama Syafi’i mengatakan bahwa sesungguhnya shalat id sudah
mencukupinya dari shalat jum’at bagi penduduk suatu kampung yang tidak
mendapatkan jumlah orang yang memadai untuk sahnya suatu shalat jum’at dan
mereka yang mendengar suara adzan dari negeri lain yang disana dilaksanakan
shalat jum’at maka hendaklah berangkat untuk shalat jum’at. Dalil mereka adalah
perkataan Utsman didalam khutbahnya,”Wahai manusia sesungguhnya hari kalian ini
telah bersatu dua hari raya (jum’at dan id, pen). Maka barangsiapa dari
penduduk al ‘Aliyah—Nawawi mengatakan : ia adalah daerah dekat Madinah dari
sebelah timur—yang ingin shalat jum’at bersama kami maka shalatlah dan
barangsiapa yang ingin beranjak (tidak shalat jum’at) maka lakukanlah.
Didalam Fatawa Ibnu Taimiyah disebutkan bahwa terdapat tiga pendapat para
fuqaha tentang bertepatannya hari jum’at dengan hari raya ini :
1. Bahwa shalat jum’at diwajibkan bagi orang yang telah melaksanakan shalat
id maupun yang tidak melaksanakan shalat id, sebagaimana pendapat Malik dan
yang lainnya.
2. Bahwa shalat jum’at tidak diwajibkan bagi orang-orang di luat kota,
sebagaimana hal itu diriwayatkan dari Utsman bin ‘Affan dan pendapat ini
diikuti oleh Syafi’i,
3. Bahwa siapa yang telah melaksanakan shalat id maka tidak ada kewajiban
atasnya shalat jum’at akan tetapi bagi seorang imam hendaklah melaksanakan
shalat jum’at bersama orang-orang yang menginginkannya, sebagaimana terdapat
didalam kitab-kitab sunnah dari Nabi saw, ini adalah pendapat Ahmad.
Kemudian dia (Ibnu Taimiyah) mengatakan : pendapat ini dinukil dari Nabi
saw, para khalifah dan sahabatnya. Ini juga perkataan para imam seperti Ahmad
dan lainnya yang telah sampai sunnah-sunnah dan atsar kepada mereka sedangkan
para ulama yang yang memiliki pendapat berbeda adalah mereka yang tidak sampai
sunnah-sunnah dan atsar itu kepada mereka.
Jadi permasalahan ini adalah permasalahan yang didalamnya terdapat perbedaan
pendapat para ulama akan tetapi pendapat yang menyatakan cukup dengan shalat id
saja atas shalat jum’at adalah lebih kuat tanpa membedakan penduduk di kampung
atau di kota, seorang imam atau bukan imam karena tujuan dari kedua shalat itu
telah tercapai… Berkumpulnya orang-orang untuk melaksanakan shalat berjamaah
serta mendengarkan ceramah jadi shalat apa pun dari kedua shalat itu yang
dilakukannya maka itu sudah cukup. “Lihat : Nailul Author, asy Syaukani juz III
hal 299, al Fatawa al Islamiyah jilid I hal 71, Fatawa Ibnu Taimiyah jilid XXIV
hal 212” (Fatawa al Azhar juz VIII hal 479)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar