Dari Jabir ra berkata, bahwa Rasulullah
SAW melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberikannya, penulisnya dan
dua saksinya, dan beliau berkata, mereka semua adalah sama.
Dari Jabir ra berkata, bahwa Rasulullah SAW melaknat orang yang memakan
riba, orang yang memberikannya, penulisnya dan dua saksinya, dan beliau
berkata, mereka semua adalah sama. (HR. Muslim)
Sekilas Tentang Hadits
Hadits ini merupakan hadits yang disepakati kesahihannya oleh para ulama
hadits. Diriwayatkan oleh banyak Imam hadits, diantaranya :
- Imam Muslim dalam Shahihnya,
Kitab Al-Musaqat, Bab La’ni Aakilir Riba Wa Mu’kilihi, hadits no 2995.
- Imam Ahmad bin Hambal ra,
dalam Musnadnya, dalam Baqi Musnad Al-Muktsirin, hadits no 13744.
Selain itu, hadits ini juga memiliki syahid (hadits yang sama yang
diriwayatkan melalui jalur sahabat yang berbeda), diantaranya dari jalur
sahabat Abdullah bin Mas’ud dan juga dari Ali bin Abi Thalib, yang diriwayatkan
oleh :
- Imam Turmudzi dalam Jami’nya,
Kitab Buyu’ An Rasulillah, Bab Ma Ja’a Fi Aklir Riba, hadits no 1127.
- Imam Nasa’I dalam Sunannya,
Kitab At-Thalaq, Bab Ihlal Al-Muthallaqah Tsalasan Wan Nikahilladzi
Yuhilluha Bihi, Hadits no. 3363.
- Imam Abu Daud dalam Sunannya,
Kitab Al-Buyu’, Bab Fi Aklir Riba Wa Mu’kilihi, hadits no. 2895.
- Imam Ahmad bin Hambal dalam
Musnadnya di banyak tempat, diantaranya pada hadits-hadits no 3539, 3550,
3618, 4058, 4059, 4099, 4171 dsb.
- mam Ad-Darimi dalam
Sunannya, Kitab Al-Buyu’, Bab Fi Aklir Riba Wa Mu’kilihi, hadits no 2423.
- Makna Hadits Secara
Umum
Hadits yang sangat singkat di atas, menggambarkan mengenai bahaya dan
buruknya riba bagi kehidupan kaum muslimin. Begitu buruk dan bahayanya riba,
sehingga digambarkan bahwa Rasululla SAW melaknat seluruh pelaku riba.
Pemakannya, pemberinya, pencatatnya maupun saksi-saksinya. Dan keesemua
golongan yang terkait dengan riba tersebut dikatakan oleh Rasulullah SAW;
“Mereka semua adalah sama.”
Pelaknatan Rasulullah SAW terhadap para pelaku riba menggabarkan betapa
munkarnya amaliyah ribawiyah, mengingat Rasulullah SAW tidak pernah melaknat
suatu keburukan, melainkan keburukan tersebut membawa kemadharatan yang luar
biasa, baik dalam skala indiividu bagi para pelakunya, maupun dalam skala
mujtama’ (baca ; maysarakat) secara luas.
Oleh karenanya, setiap muslim wajib menghindarkan dirinya dari praktek riba
dalam segenap aspek kehidupannya. Dan bukankah salah satu sifat (baca ;
muwashofat) yang harus dimiliki oleh setiap aktivis da’wah adalah “memerangi
riba”? Namun realitasnya, justru tidak sedikit yang justru menyandarkan
kasabnya dari amaliyah ribawiyah ini.
Makna Riba
Dari segi bahasa, riba berarti tambahan atau kelebihan. Sedangkan dari segi
istilah para ulama beragam dalam mendefinisikan riba.
- efinsi yang sederhana dari
riba adalah ; pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal, secara
bathil. (baca ; bertentangan dengan nilai-nilai syariah).
- Definisi lainnya dari riba
adalah ; segala tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa
adanya padanan yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.
Intinya adalah, bahwa riba merupakan segala bentuk tambahan atau kelebihan
yang diperoleh atau didapatkan melalui transaksi yang tidak dibenarkan secara
syariah. Bisa melalui “bunga” dalam hutang piutang, tukar menukar barang
sejenis dengan kuantitas yang tidak sama, dan sebagainya. Dan riba dapat tejadi
dalam semua jenis transaksi maliyah.
Pada masa jahiliyah, riba terjadi dalam pinjam meminjam uang. Karena
masyarakat Mekah merupakan masyarakat pedangang, yang dalam musim-musim
tertentu mereka memerlukan modal untuk dagangan mereka. Para
ulama mengatakan, bahwa jarang sekali terjadi pinjam meminjam uang pada masa
tersebut yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif.
Pinjam meminjam uang terjadi untuk produktifitas perdatangan mereka. Namun
uniknya, transaksi pinjam meminjam tersebut baru dikenakan bunga, bila
seseorang tidak bisa melunasi hutangnya pada waktu yang telah ditentukan. Sedangkan
bila ia dapat melunasinya pada waktu yang telah ditentukan, maka ia sama sekali
tidak dikenakan bunga. Dan terhadap transaksi yang seperti ini, Rasulullah SAW
menyebutnya dengan riba jahiliyah.
Riba Merupakan Dosa Besar
Semua ulama sepakat, bahwa riba merupakan dosa besar yang wajib dihindari
dari muamalah setiap muslim. Bahkan Sheikh Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya
Bunga Bank Haram mengatakan, bahwa tidak pernah Allah SWT mengharamkan sesuatu
sedahsyat Allah SWT mengharamkan riba. Seorang muslim yang hanif akan merasakan
jantungnya seolah akan copot manakala membaca taujih rabbani mengenai
pengharaman riba (dalam QS. 2 : 275 – 281). Hal ini karena begitu buruknya
amaliyah riba dan dampaknya bagi kehidupan masyarakat.
Dan cukuplah menggambarkan bahaya dan buruknya riba, firman Allah SWT dalam
QS. Al-Baqarah 275 :
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا
يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ
قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا
سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ
هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Orang-orang yang memakan (mengambil) riba, tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran tekanan penyakit gila.
Hal itu karena mereka mengatakan, bahwasanya jual beli itu adalah seperti riba.
Dan Allah menghalalkan jual beli serta mengharamkan riba. Maka barangsiapa yang
telah datang padanya peringatan dari Allah SWT kemudian ia berhenti dari
memakan riba, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu dan urusannya
terserah keapda Allah. Namun barang siapa yang kembali memakan riba, maka bagi
mereka adalah azab neraka dan mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.
Dalam hadits, Rasulullah SAW juga mengemukakan :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ
قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ
وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا
وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ
الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ (متفق عليه)
Dari Abu Hurairah ra, dari Rasulullah SAW berkata, ‘Jauhilah tujuh perkara
yang membinasakan !’ Para sahabat bertanya,
‘Apa saja tujuh perkara tersebut wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab,
‘Menyekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah SWT kecuali
dengan jalan yang benar, memakan riba, mamakan harta anak yatim, lari dari
medan peperangan dan menuduh berzina pada wanita-wanita mu’min yang sopan yang
lalai dari perbuatan jahat. (Muttafaqun Alaih).
Periodisasi Pengharaman Riba
Sebagaimana khamar, riba tidak Allah haramkan sekaligus, melainkan melalui
tahapisasi yang hampir sama dengan tahapisasi pengharaman khamar:
1. Tahap pertama dengan mematahkan paradigma manusia bahwa riba akan
melipatgandakan harta.
Pada tahap pertama ini, Allah SWT hanya memberitahukan pada mereka, bahwa cara yang mereka gunakan untuk mengembangkan uang melalui riba sesungguhnya sama sekali tidak akan berlipat di mata Allah SWT. Bahkan dengan cara seperti itu, secara makro berakibat pada tidak tawazunnya sistem perekonomian yang berakibat pada penurunan nilai mata uang melalui inflasi. Dan hal ini justru akan merugikan mereka sendiri.
Pada tahap pertama ini, Allah SWT hanya memberitahukan pada mereka, bahwa cara yang mereka gunakan untuk mengembangkan uang melalui riba sesungguhnya sama sekali tidak akan berlipat di mata Allah SWT. Bahkan dengan cara seperti itu, secara makro berakibat pada tidak tawazunnya sistem perekonomian yang berakibat pada penurunan nilai mata uang melalui inflasi. Dan hal ini justru akan merugikan mereka sendiri.
Pematahan paradigma mereka ini Allah gambarkan dalam QS. 30 : 39 ; “Dan
sesuatu tambahan (riba) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta
manusia, mak riba itu tidak menambah pada sii Allah. Dan apa yang kamu berikan
berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang
berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”.
2. Tapap kedua : Memberitahukan bahwa riba diharamkan bagi umat
terdahulu.
Setelah mematahkan paradigma tentang melipat gandakan uang sebagaimana di atas, Allah SWT lalu menginformasikan bahwa karena buruknya sistem ribawi ini, maka umat-umat terdahulu juga telah dilarang bagi mereka. Bahkan karena mereka tetap bersikeras memakan riba, maka Allah kategorikan mereka sebagai orang-orang kafir dan Allah janjikan kepada mereka azab yang pedih.
Setelah mematahkan paradigma tentang melipat gandakan uang sebagaimana di atas, Allah SWT lalu menginformasikan bahwa karena buruknya sistem ribawi ini, maka umat-umat terdahulu juga telah dilarang bagi mereka. Bahkan karena mereka tetap bersikeras memakan riba, maka Allah kategorikan mereka sebagai orang-orang kafir dan Allah janjikan kepada mereka azab yang pedih.
Hal ini sebagaimana yang Allah SWT firmankan dalam QS 4 : 160 – 161 : “Maka
disebabkan kezaliman orang-orang yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan
makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena
mereka banyak menghalangi manusia dari jalan Allah. Dan disebabkan mereka
memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dialarang dari padanya, dan
karena mereka harta dengan cara yang bathil. Kami telah menyediaka nuntuk
orang-orang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih”.
3. Tahap ketiga : Gambaran bahwa riba secara sifatnya akan menjadi
berlipat ganda.
Lalu pada tahapan yang ketiga, Allah SWT menerangkan bahwa riba secara sifat dan karakernya akan menjadi berlipat dan akan semakin besar, yang tentunya akan menyusahkan orang yang terlibat di dalamnya. Namun yang perlu digarisbawahi bahwa ayat ini sama sekali tidak menggambarkan bahwa riba yang dilarang adalah yang berlipat ganda, sedangkan yang tidak berlipat ganda tidak dilarang.
Lalu pada tahapan yang ketiga, Allah SWT menerangkan bahwa riba secara sifat dan karakernya akan menjadi berlipat dan akan semakin besar, yang tentunya akan menyusahkan orang yang terlibat di dalamnya. Namun yang perlu digarisbawahi bahwa ayat ini sama sekali tidak menggambarkan bahwa riba yang dilarang adalah yang berlipat ganda, sedangkan yang tidak berlipat ganda tidak dilarang.
Pemahaman seperti ini adalah pemahaman yang keliru dan sama sekali tidak
dimaksudkan dalam ayat ini. Allah SWT berifirman (QS. 3:130), “Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah
kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
4. Tahap keempat : Pengharaman segala macam dan bentuk riba.
Ini merupakan tahapan terakhir dari seluruh rangkaian periodisasi pengharaman riba. Dalam tahap ini, seluruh rangkaian aktivitas dan muamalah yang berkaitan dengan riba, baik langsung maupun tidak langsung, berlipat ganda maupun tidak berlipat ganda, besar maupun kecil, semuanya adalah terlarang dan termasuk dosa besar.
Ini merupakan tahapan terakhir dari seluruh rangkaian periodisasi pengharaman riba. Dalam tahap ini, seluruh rangkaian aktivitas dan muamalah yang berkaitan dengan riba, baik langsung maupun tidak langsung, berlipat ganda maupun tidak berlipat ganda, besar maupun kecil, semuanya adalah terlarang dan termasuk dosa besar.
Allah SWT berfirman dalam QS. 2 : 278 – 279 ; “Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan seluruh sisa dari riba (yang belum
dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Alla hdan Rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.”
Buruknya Muamalah Ribawiyah
Terlalu banyak sesungguhnya dalil baik dari Al-Qur’an maupun sunnah, yang
menggambarkan tentang buruknya riba, berikut adalah ringkasan dari beberapa
dalil mengenai riba :
- Orang yang memakan riba,
diibaratkan seperti orang yang tidak bisa berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan, lantaran (penyakit gila). (QS. 2
: 275).
- Pemakan riba, akan kekal
berada di dalam neraka. (QS. 2 : 275).
- Orang yang “kekeh” dalam
bermuamalah dengan riba, akan diperangi oleh Allah dan rasul-Nya. (QS. 2 :
278 – 279).
- Seluruh pemain riba;
kreditur, debitur, pencatat, saksi, notaris dan semua yang terlibat, akan
mendapatkan laknat dari Allah dan rasul-Nya. Dalam sebuah hadits
diriwayatkan : “Dari Jabir ra bahwa Rasulullah SAW melaknat pemakan riba,
yang memberikannya, pencatatnya dan saksi-saksinya.” Kemudian beliau
berkata, “ Mereka semua sama!”. (HR. Muslim)
- Suatu kaum yang dengan jelas
“menampakkan” (baca ; menggunakan) sistem ribawi, akan mendapatkan azab
dari Allah SWT. Dalam sebuah hadtis diriwayatkan : “Dari Abdullah bin
Mas’ud ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah suatu kaum menampakkan
(melakukan dan menggunakan dengan terang-terangan) riba dan zina,
melainkan mereka menghalalkan bagi diri mereka sendiri azab dari Allah.”
(HR. Ibnu Majah)
- Dosa memakan riba (dan ia
tahu bahwa riba itu dosa) adalah lebih berat daripada tiga puluh enam kali
perzinaan. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Abdullah bin Handzalah
ra berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Satu dirham riba yang dimakan
oleh seseorang dan ia mengetahuinya, maka hal itu lebih berat dari pada
tiga puluh enam kali perzinaan.” (HR. Ahmad, Daruqutni dan Thabrani).
- Bahwa tingkatan riba yang
paling kecil adalah seperti seoarng lelaki yang berzina dengan ibu
kandungnya sendiri. Dalam sebuah hadits diriwayatkan : “Dari Abdullah bin
Mas’ud ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Riba itu tujuh puluh tiga
pintu, dan pintu yang paling ringan dari riba adalah seperti seorang
lelaki yang berzina dengan ibu kandungnya sendiri.” (HR. Hakim, Ibnu Majah
dan Baihaqi).
Dengan dalil-dalil sebagaimana di atas, masihkah ada seorang muslim yang
“kekeh” bermuamalah ribawiyah dalam kehidupannya?
Praktik Riba Dalam Kehidupan
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa riba adalah segala tambahan yang
disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan yang dibenarkan
syariah. Praktek seperti ini dapat terjadi dihampir seluruh muamalah maliyah
kontemporer, diantaranya adalah pada :
1. Transaksi Perbankan.
Sebagaimana diketahui bersama, bahwa basis yang digunakan dalam praktek
perbankan (konvensional) adalah menggunakan basis bunga (interest based).
Dimana salah satu pihak (nasabah), bertindak sebagai peminjam dan pihak yang
lainnya (bank) bertindak sebagai pemberi pinjaman. Atas dasar pinjaman
tersebut, nasabah dikenakan bunga sebagai kompensasi dari pertangguhan waktu
pembayaran hutang tersebut, dengan tidak memperdulikan, apakah usaha nasabah
mengalami keuntungan ataupun tidak.
Praktek seperti ini sebenarnya sangat mirip dengan praktek riba jahiliyah
pada masa jahiliyah. Hanya bedanya, pada riba jahiliyah bunga baru akan
dikenakan ketika si peminjam tidak bisa melunasi hutang pada waktu yang telah
ditentukan, sebagai kompensasi penambahan waktu pembayaran. Sedangkan pada
praktek perbankan, bunga telah ditetapkan sejak pertama kali kesepakatan
dibuat, atau sejak si peminjam menerima dana yang dipinjamnya. Oleh karena
itulah tidak heran, jika banyak ulama yang mengatakan bahwa praktek riba yang
terjadi pada sektor perbankan saat ini, lebih jahiliyah dibandingkan dengan
riba jahiliyah.
Selain terjadi pada aspek pembiyaan sebagaimana di atas, riba juga terjadi
pada aspek tabungan. Dimana nasabah mendapatkan bunga yang pasti dari bank,
sebagai kompensasi uang yang disimpannya dalam bank, baik bank mengalami
keuntungan maupun kerugian. Berbeda dengan sistem syariah, di mana bank syariah
tidak menjanjikan return tetap, melainkan hanya nisbah (yaitu prosentasi yang
akan dibagikan dari keuntungan yang didapatkan oleh bank). Sehingga return yang
didapatkan nasabah bisa naik turun, sesuai dengan naik turunnya keutungan bank.
Istilah seperti inilah yang kemudian berkembang namanya menjadi sistem bagi
hasil.
2. Transaksi Asuransi.
Dalam sektor asuransi pun juga tidak luput dari bahaya riba. Karena dalam
asuransi (konvensional) terjadi tukar menukar uang dengan jumlah yang tidak
sama dan dalam waktu yang juga tidak sama. Sebagai contoh, seseorang yang
mengasuransikan kendaraannya dengan premi satu juta rupiah pertahun. Pada tahun
ketiga, ia kehilangan mobilnya seharga 100 juta rupiah. Dan oleh karenanya pihak
asuransi memberikan ganti rugi sebesar harga mobilnya yang telah hilang, yaitu
100 juta rupiah. Padahal jika diakumulasikan, ia baru membayar premi sebesar 3
juta rupiah. Jadi dari mana 97 juta rupiah yang telah diterimanya? Jumlah 97
juta rupiah yang ia terima masuk dalam kategori riba fadhl (yaitu tukar menukar
barang sejenis dengan kuantitas yang tidak sama).
Pada saat bersamaan, praktek asuransi juga masuk pada kategori riba nasi’ah
(kelebihan yang dikenakan atas pertangguhan waktu), karena uang klaim yang
didapatkan tidak yadan biyadin dengan premi yang dibayarkan. Antara keduanya
ada tenggang waktu, dan oleh karenanya terjadilah riba nasi’ah. Hampir semua
ulama sepekat, mengenai haramnya asuransi (konvensional) ini. Diantara yang
mengaramkannya adalah Sayid Sabiq dan juga Sheikh Yusuf Al-Qardhawi. Oleh
karenanya, dibuatlah solusi berasuransi yang selaras dengan syariah Islam.
Karena sistem asuransi merupakan dharurah ijtima’iyah (kebutuhan sosial), yang
sangat urgen.
3. Transaksi Jual Beli Secara Kredit.
Jual beli kredit yang tidak diperbolehkan adalah yang mengacu pada “bunga”
yang disertakan dalam jual beli tersebut. Apalagi jika bunga tersebut
berfruktuatif, naik dan turun sesuai dengan kondisi ekonomi dan kebijakan
pemerintah. Sehingga harga jual dan harga belinya menjadi tidak jelas (gharar
fitsaman). Sementara sebenarnya dalam syariah Islam, dalam jual beli harus ada
“kepastian” harga, antara penjual dan pembeli, serta tidak boleh adanya
perubahan yang tidak pasti, baik pada harga maupun pada barang yang diperjual
belikan. Selain itu, jika terjadi “kemacetan” pembayaran di tengah jalan,
barang tersebut akan diambil kembali oleh penjual atau oleh daeler dalam jual
beli kendaraan. Pembayaran yang telah dilakukan dianggap sebagai “sewa”
terhadap barang tersebut.
Belum lagi komposisi pembayaran cicilah yang dibayarkan, sering kali di sana tidak jelas, berapa
harga pokoknya dan berapa juga bunganya. Seringkali pembayaran cicilan pada
tahun-tahun awal, bunga lebih besar dibandingkan dengan pokok hutang yang harus
dibayarkan. Akhirnya pembeli kerap merasa dirugikan di tengah jalan. Hal ini
tentunya berbeda dengan sistem jual beli kredit secara syariah. Dimana
komposisi cicilan adalah flat antara pokok dan marginnya, harga tidak mengalami
perubahan sebagaimana perubahan bunga, dan kepemilikan barang yang jelas, jika
terjadi kemacetan. Dan sistem seperti ini, akan menguntungkan baik untuk
penjual maupun pembeli.
Masih banyak sesungguhnya transaksi-transaksi yang mengandung unsur ribawi
di tengah-tengah kehidupan kita. Intinya adalah kita harus waspada dan
menghindarkan diri sejauh-jauhnya dari muamalah seperti ini. Cukuplah nasehat
rabbani dari Allah SWT kepada kita “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.” (QS. Annisa’ : 29)
Wallahu A’lam Bis Shawab.
By. Rikza Maulan, Lc., M.Ag.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar