23 Oktober 2009

TENTANG RUH



disampaikan pada acara kajian IKPMA pada hari jum’at 23 Maret 2007 di Sekretariat IKPMA Gamie H10, Nasr City Cairo Egypt.

Prolog
Sesungguhnya pembahasan tentang ruh telah dilakukan oleh hampir kebanyakan filsuf sepanjang sejarah, perdebatan dan diskusi telah banyak mereka lakukan. Berbagai persepektif —baik benar atau salah— telah dihasilkan dari diskusi dan pembahasan tentang ruh.
Kemudian pada masa-masa berikut timbulnya penemuan ilmu-ilmu baru, dan banyaknya penemuan rahasia alam, serta analisa tentang sesuatu dibalik alam tabiat. Namun disamping banyaknya penemuan tersebut, ada beberapa hal yang “tertutup” dari pada pembahasan dan penemuan bahkan ada juga beberapa hal yang tak bisa didapati oleh ilmu manusia dan tidak bisa sampai padanya.
Berangkat dari itu semua, penulis merasa terdorong untuk membahas sesuatu yang —menurut penulis— jarang sekali dibahas yaitu “Ruh”, padahal banyak sekali pertanyaan seputar itu yang harus dijawab. Namun keberanian inipun disertai oleh dalil-dalil yang akurat. Lalu apakah sebenarnya ruh itu? Insya Allah dalam makalah ringkas ini akan dijelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan ruh.
Mengetahui Makna Ruh
Sebelum membahas lebih jauh penulis ingin mengulas sedikit tentang arti ruh itu sendiri, penulis akan datangkan beberapa pendapat tentang ruh dari berbagai sudut pandang, baik menurut bahasa, menurut al-Qur’an, Filsafat dan lain-lain.
1. Bahasa
Dalam al-Qâmûs al-Muhîth dan Mukhtâr al-Shahhâh kata “Rûh” berarti “sesuatu yang dengannya ada kehidupan”. Lalu kata “Rûhânî” berarti “sesuatu yang terdapat didalamnya ruh”.
Dan menurut kamus-kamus bahasa Arab kata “Rûh” sama dengan kata “an-Nafs”.[2]
2. Di dalam al-Qur’an
Menurut DR. Moh. Sayyed Ahmad al-Musayyar, lafadz “Rûh” dalam al-Qur’an terdapat kurang lebih disebutkan sekitar dua puluh satu kali dalam berbagai makna.[3] Seperti:
1. Dalam surah al-Qadr ayat 4, dimaksudkan dengan Rûh yaitu “Malaikat Jibril AS”.
{ تنزل الملا ئكة والروح فيها….}[4]
2. Dalam surah as-Syûrâ terdapat kata Rûh yang bermakna “al-Qur’an”.
{ وكذلك أوحينا اليك روحا من أمرنا… }[5]
3. Dalam surah Ghâfir terdapat kata Rûh yang memiliki makna “al-Wahyu”
{ يلقى الروح من أمره على من يشاء… } [6]
3. Menurut Ahli Kalam[7]
1. Menurut Imam Nawawi tentang makna Ruh: yang lebih pantas adalah ta’rif Imam al-Haramain yaitu “Ruh adalah Jisim yang lembut, jernih, yang mengalir dalam jisim seperti aliran air dalam tumbuh-tumbuhan, maka dari itu ruh mengalir di seluruh badan”.
2. Salah seorang ahli Mazhab Malik menjelaskan tentang ruh dengan makna “adalah Jisim yang memiliki bentuk seperti bentuk jasad pada sakalnya dan gerakannya”.
3. Dinuqil dari ibnu al-Qasim dari abdul ar-Rahim bin Khalid ia berkata: “Ruh itu memiliki jisim, dua tangan, dua kaki, dua mata dan kepala yang mengapung/mengalir dari jasad”.
4. Menurut Filosof
1. Imam Ghazali dalam menjelaskan masalah Ruh adalah bahwa lafaz an-Nafs, ar-Rûh, al-Qalb, al-‘Aql diartikan pada Esensi yang bersandar pada manusia yang dari esensi itu adalah hakikatnya.[8]
2. Ibnu Hazam dalam kitabnya menjelaskan bahwa an-Nafs dan ar-Rûh adalah dua sinonim untuk satu yang dinamai dan makna keduanya adalah satu.[9]
3. Menurut Alkindi bahwa Ruh adalah suatu wujud sederhana dan zatnya terpancar dari Sang Pencipta persis sebagaimana sinar terpancar dari matahari.[10]
Hukum Membahas Ruh
Sebelum lebih jauh membahas, penulis ingin jelaskan bahwa ketika kita ingin berbicara tentang “Hukum Membahas Ruh” maka kita terfokus pada pemahaman firman Allah Swt., dalam surah al-Isra’ ayat 85. Dari sini kita akan menemui berbagai macam pendapat tentang hukum membahas ruh. Yang banyak diketahui oleh mayoritas orang bahwa membahas ruh itu hukumnya haram, statement ini berdasarkan ayat al-Qur’an yang tadi. Namun alangkah baiknya kalau kita ingin tahu lebih dalam lagi tentang hukum membahas ruh, kita harus mengetahui berbagai macam pendapat seputar masalah itu.
Dalam surah al-Isra’ ayat 85 Allah Swt., berfirman:
{ ويسألونك عن الروح قل الروح من أمر ربي وما أوتيتم من العلم الا قليلا }
Artinya : “Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah,Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit”[11]
Pada ayat diatas dijelaskan bahwa bertanya tentang ruh tidak diperbolehkan. Lalu ada pertanyaan yang sangat substansial sekali yaitu apakah yang dimaksud dengan “Ruh” yang ditanya? Dan apa yang dimaksud dengan bahwa “Ruh adalah urusan Tuhan”? Serta apa yang dimaksud dengan “pengetahuan yang sedikit”?. Untuk menjawab semua pertanyaan tersebut penulis membagi jawaban itu dengan beberapa poin :
1. Pendapat Imam Abdul Salam al-Laqâni dan Mayoritas Muhaqqiqin.
Mayoritas Muhaqqiqin tidak terlalu dalam membahas tentang hakikat ruh dengan jenis dan pasal yang berbeda, itu semua disebabkan karna tidak adanya pengetahuan yang mereka dengar tentang ruh dan juga tidak didapati nash Syari’ (Allah) yang menjelaskan hal itu. Maka menerut mereka alangkah lebih baiknya kalau kita tidak terlalu jauh dalam membahas ruh, serta hukumnya makruh.[12]
2. Imam al-Junaidi seorang sufi berpendapat bahwa ruh itu adalah rahasia Allah Swt., dan menurutnya seoarang hamba tidak boleh membahas ruh terlalu jauh. Dan perkataannya menunjukan pengharaman.[13]
3. Menurut Syaikh as-Sahr Wardi bahwa pembahasan tentang ruh sangatlah sulit, kita —manusia— hanya diberi sedikit pengetahuan tentang itu. Maka apakah pantas kita terlalu jauh dalam membahasnya?.[14]
Dari tiga pendapat diatas kita bisa simpulkan bahwa Dari sudut pemikiran Islam menolak tentang pembahasan ruh dengan alasan tidak ada adab kepada as-Syari’. Dan haram hukumnya karna ruh adalah termasuk rahasia dan urusan Tuhan.
Namun ada pendapat lain yang perlu kita perhatikan, selain bahwa para filsuf Islam sudah pasti membolehkan dalam hal membahas ruh, mulai dari Alkindi filosof Arab pertama dalam risalah pendeknya “Tentang Ruh”, Ibnu Sina, Ibnu Tufail, Miskawaih, Ibnu Rusd dan lain-lain dari ulama salaf dan khalaf.
Didalam bukunya, DR. Mohammad Sayed Ahmad al-Musayyar berpendapat —bersama mayoritas ulama— bahwa didalam firman-Nya surah al-Isra’ ayat 85 tidak ada indikasi pengharaman tentang membahas ruh ataupun indikasi pemakruhannya. Menurutnya para ulama yang melarang membahas ruh didasari oleh beberapa hal, diantaranya adalah pemahaman tentang makna ruh yang diartikan sebagai “Rahasia Allah”, bahwa ruh termasuk alam mujarrad yang tidak bisa didapati dan adanya hadits yang menerangkan tentang Asbab an-Nuzul ayat tersebut.
*Dalil-dalil Ulama yang membolehkan membahas ruh adalah sebagai berikut:
1. Para ahli tafsir tidak sepakat bahwa ruh yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah arwah bani adam, Imam al-Alusi berpendapat bahwa yang dimaksud adalah hakikat ruh manusia,[15] selain itu juga dalam beberapa riwayat sahih Bukhari dan Muslim adanya pertanyaan tentang ruh, salah satunya adalah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas bahwa ruh yang dimaksud adalah Jibril AS. Serta riwayat dari Ali Bin Abi Thalib bahwa yang dimaksud ruh adalah malaikat yang meiliki 70 ribu wajah. . ..[16]
2. Ibnu Qayyim berkata dalam salah satu kitabnya: bahwa mayoritas ulama salaf bahkan semuanya berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan ruh dalam ayat tersebut adalah bukan arwah Bani Adam, melainkan ruh yang Allah beritakan pada kitabnya “bahwasanya ia akan ada bersama para malaikat di hari kiamat, ruh itu adalah malaikat yang mulya”.[17]
3. Imam Ibnu Hajar berkata bahwa “pendapat Imam Junaidi dan para pengikutnya telah menyalahi pendapat mayoritas Sufi Muta’akhir karna mereka banyak membahas tentang ruh, bahkan sebagian dari para sufi menjelaskan hakikat ruh serta menklaim aib bagi orang yang melarang membahas ruh.[18]
4. Para Nabi dan Ulama banyak berbicara tentang Allah Swt, mulai dari sifat-sifat-Nya, Asma al-Husna-Nya, lalu membahas tentang wujud, wahdaniat, kalam al-Ilahi dan sebagainya, dan kita tidak mendengar seorang pun yang mengharamkan untuk membahasnya ataupun memakruhkannya, padahal sudah jelas bahwa al-Qur’an menjelaskan bahwa Allah itu Esa, Yang Satu. Lalu apakah ruh derajatnya lebih tinggi dari pada semua hal yang berhubungan dengan-Nya???[19] Na’udzu billah.
Itulah beberapa pendapat yang bisa penulis sajikan, dari mulai yang mengharamkan sampai pendapat yang membolehkan. Lalu yang manakah yang bisa kita ambil? Dari pemaparan diatas penulis condong kepada pendapat beberapa ulama yang notabene nya adalah Abna al-Azhar —terlepas dari bahwa penulis adalah mahasiswa al-Azhar—, selain itu pula dalil-dalil yang dipaparkan oleh ulama yang membolehkan membahas ruh yaitu lebih kuat dan logis —menurut penulis—, namun inipun tidak bisa kita bakukan bahwa itu semua adalah benar hanya saja kita meyakini bahwa pendapat inilah yang lebih kuat. Wallahu A’lam.
Ruh dan Badan
Setelah membahas tentang hukum membahas ruh, penulis rasa ada baiknya jika kita membahas “kaitan Ruh dengan Badan”. Kita pun telah mengetahui apa itu ruh dari paparan diatas. Bisa dikonklusikan bahwa ruh berkaitan sekali dengan jasad karna adanya kehidupan karna adanya ruh.
Ibnu Qayyim dalam salah satu kitabnya menyebutkan lima kaitan/fase ruh dengan badan diantaranya adalah: Pertama; kaitan ruh dengan badan pada perut ibu yaitu janin, kedua; kaitanya dengan badan setelah keluar/ada di bumi, ketiga; kaitan ruh dengannya ketika tidur, adakalanya bersatu adakalanya juga keduanya berpisah, keempat; kaitan keduanya di alam Barjakh, terakhir; kaitannya pada hari pembangkitan jasad.[20]
Pada fase pertama kaitan ruh dan badan didalam rahim ibu hampir mayoritas orang telah mengetahuinya, jadi —hemat penulis— tidak perlu dijelaskan lebih jauh, akan tetapi penulis akan sedikit berbicara tentang ruh sebelum itu/penciptaan ruh. Beberapa nash al-Qur’an yang menjelaskan tentang penciptaan ruh diantaranya:
{ الله خالق كل شيئ } [21]
قوله تعالى لزكريا{ وقد خلقتك من قبل ولم تك شيئا} [22]
Pada dua ayat diatas kita bisa simpulkan bahwa Allah telah menciptakan ruh. Dan dari berbagai pembahasan tentang penciptaan ruh kita dapati bahwa ada beberapa perbedaan pendapat tentang apakah ruh Qadimah atau Makhluqah Muhdatsah?. Para rasul sepakat bahwa ruh itu Makhluqah Muhdatsah bahkan dibuat serta diatur oleh-Nya.
Ruh Setelah Mati
Ketika kita membahas ruh setelah mati maka kita terpaku pada satu alam setelah alam hidup yaitu alam Barjakh sebagai tempat pertama pembalasan. Ada banyak hal yang akan kita temui seputar alam Barjakh, mulai dari apa itu alam Barjakh, bagaimana keadaan ruh di alam Barjakh, dimana ruh antara sesudah mati dan sebelum hari kiamat.
Ibnu Qayyim dalam bukunya dan beberapa ulama lain menjawab semua pertanyaan-pertanyaan itu.
Pertama; tentang alam Barjakh. Didalam buku Ar-Rûh fî Dirâsât al-Mutakallimîn wa al-Falâsifah dijelaskan bahwa al-Barjakh adalah fase alam setelah kehidupan ini, dan ia yang memisahkan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Dan disinilah ruh akan diminta pertanggung jawabannya.[23]
Kedua; tentang ruh dialam Barjakh. Ibnu Hazam berpendapat bahwa ruh akan menerima azab qubur dan masalah-masalahnya di alam Barzakh.[24] Senada dengan Ibnu Hazam, DR. Mohammad Sayed Ahmad al-Musayyar yang sepakat dengan pendapat Ibnu Hazam berpendapat bahwa alam Barjakh adalah tempat ditanyanya ruh dan tempat balasan dan itu hanya ruh saja.[25]
Ketiga; dimana ruh setelah mati dan sebelum hari kiamat?. Didalam kitab ar-Ruh dijelaskan bahwa keadaan ruh atau dimana ruh berada, ada banyak pendapat seputar itu, mulai dari pendapat yang mengatakan bahwa ruh ada di surga dan sebagainya. Penulis akan rincikan beberapa pendapat tersebut sebagai berikut:[26]
1. Pendapat Abu Hurairah dan Abdullah Ibnu Umar; Arwah orang-orang mukmin disisi Allah baik para syuhada atau bukan syuhada.
2. Imam Ahmad pada riwayat anaknya Abdullah; Arwah orang kafir di Neraka, sedangkan orang mukmin di Surga.
3. Diriwayatkan dari sekumpulan sahabat dan tabi’in bahwa arwah orang mukmin berada di telaga/kolam, sedangkan arwah orang kafir di salah satu sumur bernama Barhut yang berada di Hadhro Maut.
4. Pendapat yang lebih rajih —menurut Ibnu Qayyim— adalah: arwah bertempat sesuai derajatnya, adakalnya di alam Barjakh, ada yang di A’la ‘Illiyyin yaitu arwah para nabi, ada yang berada di sekitar surga pergi kemana ia suka yaitu ruh sebagian syuhada, ada arwah yang ditahan di pintu surga, ada arwah yang ditahan di kuburnya, ada juga arwah yang ditahan dibumi dan sebagainya.
Epilog
Ruh adalah bagian dari hal ghaib, dan bisa dikatakan rahasia Allah Swt., serta manusia hanya memiliki sedikit pegetahuan tentang ruh, akan tetapi bukan berarti tidak boleh dalam membahasnya. Dalam membahasnya pun sudah barang tentu didasari oleh rasa ingin tahu, dan didasari oleh pertanyaan-pertanyaan yang muncul.
Kita tidak bisa pungkiri bahwa pengetahuan manusia dalam masalah “di luar alam nyata” (dalam istilah popoulernya Metafisika) terbatas, namun kita bisa mengetahui hal tersebut lewat penjelasan al-Qur’an dan Sunah Nabi kita. Memang ada sebagian —kebanyakan ahli filsafat— yang membahas ruh terlalu jauh, hingga mereka berkeyakinan bahwa ruh itu kekal.
Berangkat dari itu semua, bahwa ruh juga adalah masalah penting yang harus kita ketahui, dan inilah tujuan penulis memberanikan diri untuk membahas tentang ruh, agar mendapatkan pemahaman yang benar tentang ruh.
Inilah beberapa penjelasan seputar ruh, walaupun penulis rasa masih banyak yang belum di bahas dan di dapati, kiranya makalah ringkas cukup mewakili dan menjawab beberapa pertanyaan seputar ruh.
Akhirnya Narju Minhu al-Hidayah wa at-Taufiq Daiman, wa Akhiran Nastaghfirullah al-‘Azhim wa Nathlub al-‘Afwa.
Daftar Pustaka
1. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, PT Syaamil Cipta Media, Bandung, tahun 2004.
2. Imam al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, Dar al-Hadits, Kairo, tahun 2005.
3. Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adziem, Dar al-Hadits, Kairo, tahun 2003.
4. Al-Qamus al-Muhith dan Mukhtar al-Shahhah
5. DR. Moh. Sayyed Ahmad al-Musayyar, ar-Rûh fî Dirâsât al-Mutakallimîn wa al-Falâsifah, Dâr el Ma’ârif, Kairo, tahun 1988.
6. Ibrahim al-Bayjuri, Tuhfah al-Murîd fî Syarh Jauharah at-Tauhîd, Dar al-Kotob al-Ilmiyah, Beirut cet. Ke 2, tahun 2004.
7. Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Dar Sholahuddin, Kairo.
8. Ibn Hazm al-Andalusy, al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Beirut, tahun 2002.
9. Ahmad Fuad El-ehwani, et.al, Hisrory of Muslim Philosopy, diterjemahkan oleh Ahmad Muslim dan Yustiono, Mizan, Bandung, tahun1998.
10. Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, ar-Ruh, Dar al-Hadits, Kairo, tahun 2003.
11. Ibnu Hajar al-Atsqalani, Fath al-Bari’ bi Syarh Shahih al-Bukhari, Dar al-Hadits, Kairo, tahun 2004.
Kampoeng Tujuh, 22 Maret 2007.
[1] Makalah ini disampaikan pada acara kajian IKPMA pada hari jum’at 23 Maret 2007 di Sekretariat IKPMA Gamie H10, Nasr City Cairo Egypt.
[2] Lihat al-Qamus al-Muhith juz 1 dan Mukhtar al-Shahhah.
[3] DR. Moh. Sayyed Ahmad al-Musayyar, ar-Rûh fî Dirâsât al-Mutakallimîn wa al-Falâsifah, Dâr el Ma’ârif, Kairo, tahun 1988, hal. 26-28.
[4] QS. Al-Qadr ayat 4.
[5] QS. as-Syûrâ ayat 52.
[6] QS. Ghâfir ayat 15
[7] Pendapat ini diambil dari kitab Tuhfah al-Murîd fî Syarh Jauharah at-Tauhîd, karangan Ibrahim al-Bayjuri, Dar al-Kotob al-Ilmiyah, Beirut, cet. ke 2, tahun 2004, hal. 181.
Ini semua adalah pendapat para ahli kalam yang telah jauh sekali membahas tentang ruh, namun menurut Imam Nawawi pendapat yang Rajih adalah pendapat Imam al-Haramain. Wallahu a’lam.
[8] Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Dar Sholahuddin, Kairo, tanpa tahun, juz 2, hal. 531.
[9] Ibn Hazm al-Andalusy, al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa an-Nihal, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Beirut, tahun 2002, Juz 1 hal 214.
[10] Pendapat Alkindi dikutip dari tulisan Ahmad Fuad El-ehwani, et.al, Hisrory of Muslim Philosopy, diterjemahkan oleh Ahmad Muslim dan Yustiono, Mizan, Bandung, tahun 1998. hal 25-26.
[11] QS. al-Isra’ ayat 85 terjemahan Departemen Agama RI, Bandung: PT Syaamil Cipta Media, tahun 2004.
[12] Ibrahim al-Bayjuri op. cit., hal. 180.
[13] DR. Moh. Sayyed Ahmad al-Musayyar, op. cit., hal. 15.
[14] As-Sahr Wardi, ‘Awarif al-Ma’arif, Dar Ihya el-Kotob el-Arabiyah, Beirut, Juz 4, hal. 199.
[15] Imam al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, Dar al-Hadits, Kairo, tahun 2005, juz 15, hal. 207.
[16] Lebih jelas lihat Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adziem, Kairo: Dar al-Hadits, Tahun 2003, juz 3, hal. 77.
[17] Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, ar-Ruh, Dar al-Hadits, Kairo:, tahun 2003, hal. 195.
[18] Ibnu Hajar al-Atsqalani, Fath al-Bari’ bi Syarh Shahih al-Bukhari, Dar al-Hadits, Kairo, tahun 2004, Juz 8, hal 470.
[19] DR. Moh. Sayyed Ahmad al-Musayyar, op. cit., hal 19-20.
[20] Ibnu al-Qayyim, op. cit., hal. 61.
[21] QS. al-Zumar ayat 62.
[22] QS. Maryam ayat 9.
[23] Lihat DR. Moh. Sayyed Ahmad al-Musayyar, op. cit., hal 126.
[24] Ibnu Hazam, op. cit., Juz 2 hal 317.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar