26 Oktober 2009

MARAH - MARAH - MARAH

Marah merupakan suatu keadaan psikologis yang menyimpang dari watak seseorang dari jalan yang alami. Kata marah atau kemarahan berasal dari kata: غضب- يغضب gadaba – yagdubu                      (, artinya marah; الغضْب ) al-gadbu( dalam bentuk isim berarti lembu, singa; الغضْب ) al-gadbu( artinya kemarahan; (الغضوب ) al-ghada»b artinya ular yang jahat. Marah (al-gadab) secara bahasa mempunyai beberapa makna, di antaranya: as-suhtu (kemarahan) atau ‘adamu al-radda bi syaiÂ’in (tidak meridai sesuatu), al'addu a'l à saiÂ’in (menggigit sesuatu), a'l-‘abûsu (kemuraman),                           wa rama mà hawla syaiÂ’in (membengkak disekitar sesuatu), al-kidru fi al-mu'asirah wa al-khulq (buruk dalam bergaul dan berakhlak), perisai dari kulit unta yang dipakai dalam peperangan (al-gudbah) yaitu kulit yang keras dari kambing ketika disamak. Al-gadab         ( الغضبْ)ialah perubahan yang terjadi ketika mendidihnya darah di dalam hati untuk memperoleh/meraih kepuasan apa yang terdapat di dalam dada. 

Sesungguhnya marah adalah gejolak emosi yang dirasakan setiap manusia, tak seorang pun yang lepas dari sifat ini. Ketika marah itu sesuai dengan ketentuan syari’at, dan sesuai tuntutan akal, maka marah bisa membantu seseorang untuk menghadapi kesulitan dan mengatasi rintangan yang menghadang jalannya. Akan tetapi jika marah itu tidak sesuai dengan ketentuan syari’at dan akal, maka akan membuahkan perilaku kejam, zhalim dan melampaui batas dalam memperlakukan orang lain Marah yang melampaui batas adalah marah yang dihiasi oleh Setan karena hati mengandung kebencian yang amat sangat serta dendam yang membara. Seorang yang Imannya dijaga Allah swt, ia akan mampu mengendalikan amarahnya. Orang yang beriman yang tidak dapat menahan amarah, ini sudah masuk ke area orang orang yang munafik. Kemarahan yang sangat dari orang-orang munafik, disertai dendam yang membara namun tidak berani terang-terangan ,ini dicela dalam Agama. 

Marah yang berlebihan disebut ifrath, dan tidak bisa marah dinamakan tafrith/kekurangan. Sedangkan menempatan marah pada waktu yang tepat disebut iÂ’tidal/seimbang. Dalam al-Qur'an, kata marah di antaranya disebut dengan al-gadab (اَلْغَضَبُ) (QS.7: 71,  150, 154), al-gaiz )       ( اَلْغَيْظُ) QS.3:119, 134), al-sukhtu (اَلْسُّخْطُ) QS.9: 58). 

Dalam al-hadis ditegaskan bahwa Rasulullah tidak pernah marah karena dirinya, kecuali jika yang diharamkan Allah dilanggar, maka dia marah karena Allah (Muttafaq alaih). Rasulullah tidak pernah marah walau disakiti. Disaat beliau marah, bibirnya malah terkatup rapat bukan mengeluarkan kata-kata yang meledak-ledak. Namun wajah beliau akan berubah menjadi merah padam bila melihat kemungkaran dan hak-hak Allah diinjak-injak dan dihina. Ali bin Abi Thalib RA berkata: “ Rasulullah tidak pernah marah untuk hal duniawi. Beliau marah karena kebenaran. Tidak seorangpun yang mengetahui kemarahannya. Kemarahannya terhadap sesuatu pasti mendatangkan kemenangan baginya.” 

Alkisah dalam sebuah peperangan, Ali bin Abi Thalib RA hampir memenggal leher lawannya. Tiba-tiba lawannya itu meludahi mukanya. Ali sangat marah. Pada saat itu, ia justru memacu kudanya pergi menjauh dan menyarungkan pedangnya. Ia tidak ingin membunuh lawan karena nafsu amarah. Karena membunuh dalam peperangan adalah dalam rangka menjalankan perintah Allah untuk menegakkan keadilan bukan melampiaskan rasa amarah. Sedangkan kemarahan yang tidak beralasan, yaitu kemarahan yang tidak disebabkan oleh adanya hambatan yang mengancam terpenuhinya kebutuhan yang mendasar adalah kemarahan yang tercela. 

Dalam Islam, marah terbagi dua, pertama, marah yang terpuji, yaitu bila dilakukan dalam rangka membela diri, kehormatan, agama, hak-hak umum atau menolong orang yang dizalimi. Kedua, marah yang tercela, yaitu marah sebagai tindakan balas dendam demi dirinya sendiri.

Apakah Allah bisa Marah ? Ya, Allah swt pernah menunjukkan kemarahannya kepada kaum Aad berupa angin putting beliung yang sangat dahsyat menyapu bersih kaum Aad, sehingga seluruh bangunan rumah luluh lantak, dan orang-orang yang tengah berdiri diterbangkan angin bagaikan pohon kurma yang tumbang diterjang angin. Di al Qur’an, Allah menggunakan kata al gadab untuk menunjukan bahwa yang menjadi subjek kemarahan adalah Allah swt dan objeknya adalah kaum Aad. 

Bagaimana cara meredakan Amarah ? Al-Quran memerintahkan kita untuk menguasai segala macam bentuk emosi termasuk emosi marah. Emosi yang berlebihan akan mempercepat detak jantung seseorang. Hal ini disebabkan terjadinya kontraksi tekanan darah dalam organ tubuh sehingga menyebabkan darah mengalir dengan lebih deras. Keadaan seperti ini bila dibiarkan terus-menerus, lama-kelamaan akan membahayakan jantung. Marah yang berlebihan juga dapat meningkatkan produksi hormon adrenalin yang dapat menyebabkan timbulnya kekuatan yang besar. Kekuatan inilah yang dikhawatirkan dapat menyebabkan seseorang melakukan penyerangan fisik dan membahayakan orang yang membangkitkan amarahnya. Disamping itu seseorang pada saat mengalami emosi, produksi getah beningnya akan berkurang drastis. Kondisi ini dapat mengakibatkan terganggunya proses pencernaan sehingga menyebabkan timbulnya berbagai penyakit lambung . “……dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”.(QS.Ali-Imraan(3):134).

Rasulullah menganjurkan kepada para sahabat untuk menahan marah dan saling memaafkan. Seseorang yang dapat menguasai rasa marah akan menemukan nilai kehidupan tertinggi. Nilai kehidupan ini sepadan dengan “ jihad spiritual ”. Maka siapapun yang berhasil dalam jihad ini maka ia akan mampu menguasai diri dari nafsu syahwat dan segala godaan dunia yang mengepungnya. 

Diriwayatkan dari Abu Ayyub, bahwa Rasulullah pernah bersabda : “Tidak diperbolehkan bagi kaum Muslim mendiamkan ( saling cemberut ) saudaranya lebih dari tiga hari. Jika mereka bertemu, mereka saling berpaling. Padahal sebaik-baik dari mereka ialah yang memulai perdamaian dengan mengucap salam”.                       ( HR. Bukhari & Muslim) Abu Dzaarr RA meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bersabda :” Jika salah seorang diantara kalian marah dan ia dalam posisi berdiri, maka hendaknya ia segera duduk, maka kemarahannya akan hilang. Namun jika kemarahan itu tidak reda, maka hendaknya ia berbaring”. 

Rasulullah juga menganjurkan para sahabat agar berwudhu’ untuk mengendalikan emosi kemarahan. Diriwayatkan dari Urwah bin Muhammad as-Sa’di RA, Rasulullah bersabda : “ Marah itu berasal dari setan, setan itu diciptakan dari api. Adapun api dapat dipadamkan dengan air, maka jika seseorang diantara kalian marah, hendaknya segera berwudhu’.” Hadis ini menguatkan kebenaran ilmu kedokteran yang menyatakan bahwa air dingin dapat meredakan tekanan darah karena emosi, sebagaimana air dapat meredakan ketegangan otot dan syaraf. Oleh karena itu, mandi dapat dijadikan penawar untuk mengobati penyakit kejiwaan. Disamping itu, Rasulullah juga terbiasa menganjurkan para sahabat yang sedang dikuasai rasa amarah untuk mengalihkan perhatian pada aktifitas lain yang memungkinkan seseorang lupa akan rasa amarahnya ataupun merasa lelah sehingga ia tidak lagi memiliki tenaga untuk melampiaskan kemarahannya.

Seseorang yang dalam kondisi marah ( dan semua emosi yang menekan ) akan mengakibatkan daya pikir menjadi melemah. Oleh karena itulah Rasulullah melarang orang dalam kondisi seperti itu untuk memutuskan suatu perkara ( hukum ). Dari Abu Bakar RA, ia mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah bersabda : “Janganlah seseorang diantara kalian menentukan suatu hukum pada kedua pihak yang sedang berselisih dalam keadaan marah”. 

Begitu pula emosi cinta, ia dapat menyebabkan lemahnya daya pikir seseorang. Dari Abu Darda RA : “Kecintaanmu terhadap sesuatu dapat menyebabkan kamu buta dan tuli”. 

Mencintai karena Allah SWT maksudnya adalah mencintai makhluk yang diridhoi oleh Allah SWT dengan cara yang diridhoi-Nya pula.
Makhluk yang diridhoi oleh Allah SWT untuk dicintai itu misalnya Rasulullah SAW , para sahabat, ulama, orang tua, istri yang syah, anak-anak, fakir miskin, anak yatim dan saudara seiman. Mereka itu wajib dicintai karena mencintai mereka memang diperintahkan oleh Allah SWT. Inilah yang dimaksud dengan mencintai makhluk yang diridhoi- Nya.
 

Sedangkan mencintai makhluk yang tidak diridhoi-Nya, misalnya mencintai syetan, berhala, tradisi jahiliyah peninggalan nenek moyang. Termasuk juga mencintai istri orang, selingkuhan atau mantan istri. Juga mencintai harta haram hasil korupsi, manipulasi, jabatan dan kedudukan. 

Mencintai makhluk yang tidak diridhoi Allah SWT untuk mencintainya adalah cinta yang diharamkan.
Sedangkan mencintai dengan cara yang tidak diridhoi Allah SWT adalah bila kita mencintai makhluk itu melebihi kecintaan kita kepada Allah SWT.Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa , bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya . (QS. Al-Baqarah : 165)
 

Cinta kita kepada apapun yang halal dan diridhoi Allah SWT, tidak boleh melebihi cinta kita kepada Allah SWT sendiri. Bahkan sekedar sama derajatnya pun tidak dibenarkan. Jadi cinta kepada Allah SWT itu harus lebih tinggi dan lebih kuat dari pada cinta kepada lainnya.

Maka itu hendaklah kita dapat mengukur emosi kita baik itu emosi cinta ataupun emosi amarah..........semua ini hendaklah diarahkan ke jalan Allah swt......bukan di jalan setan. Agar Allah swt selalu mengendalikan emosi kita, ingatlah selalu akan Allah.....

Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”. QS.Ar-Raad(13):28). 

Wallahu’alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar