22 September 2016

Bahaya Fitnah

Bismillaahirrohmaanirrohiim

*K E M O C E N G*

_(Bahayanya Fitnah )

“Habib... Maafkanlah saya yang telah memfitnah Habib dan ajarkan saya sesuatu yang bisa menghapuskan kesalahan saya ini.”

Aku berusaha menjaga lisanku, tak ingin sedikitpun menyebarkan kebohongan dan menyinggung perasaan Habib."

Habib Umar terkekeh :
“Apa kau serius?” Katanya.

Aku menganggukkan kepalaku dengan penuh keyakinan :
“Saya serius, Habib, Saya benar-benar ingin menebus kesalahan saya.”

Habib Umar terdiam beberapa saat. Ia tampak berfikir. Aku sudah membayangkan sebuah doa yang akan diajarkan Habib Umar kepadaku, yang jika aku membacanya beberapa kali maka Allah akan mengampuni dosa-dosaku. Aku juga membayangkan sebuah laku, atau tirakat, atau apa saja yg bisa menebus kesalahan dan menghapuskan dosa-dosaku.

Beberapa jenak kemudian, Habib Umar mengucapkan sesuatu yang benar-benar di luar perkiraanku. Di luar perkiraanku—

“Apakah kamu punya sebuah kemoceng di rumahmu?”

Aku benar-benar heran Habib Umar justru menanyakan sesuatu yang tidak relevan untuk permintaanku tadi.

“Maaf, Habib?” Aku berusaha memperjelas maksud Habib Umar.

Habib Umar tertawa, seperti Habib Umar yang biasanya. Diujung tawanya, ia sedikit terbatuk.

Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, ia menghampiriku,

“Ya, temukanlah sebuah kemoceng di rumahmu,” katanya.

Tampaknya Habib Umar benar-benar serius dengan permintaannya.

“Ya, saya punya sebuah kemoceng di rumah, Habib. Apa yang harus saya lakukan dengan kemoceng itu?”

Habib Umar tersenyum.
“Besok pagi, berjalanlah dari rumahmu ke pondokku,” katanya,

“Berjalanlah sambil mencabuti bulu-bulu dari kemoceng itu. Setiap kali kamu mencabut sehelai bulu, ingat-ingat perkataan burukmu tentang aku, lalu jatuhkan di jalanan yang kamu lalui.”

Aku hanya bisa mengangguk. Aku tak akan membantahnya. Barangkali maksud Habib Umar adalah agar aku merenungkan kesalahan-kesalahanku. Dan dengan menjatuhkan bulu-bulunya satu per satu, maka kesalahan-kesalahan itu akan gugur diterbangkan waktu…

“Kau akan belajar sesuatu darinya,” kata Habib Umar Ada senyum yang sedikit terkembang di wajahku.

Keesokan harinya, aku menemui Habib Umar dengan sebuah kemoceng yang sudah tak memiliki sehelai bulupun pada gagangnya. Aku segera menyerahkan gagang kemoceng itu pada beliau.

“Ini, Habib bulu-bulu kemoceng ini sudah saya jatuhkan satu per satu sepanjang perjalanan. Saya berjalan lebih dari 5 km dari rumah saya ke pondok ini. Saya mengingat semua perkataan buruk saya tentang Habib.

Saya menghitung betapa luasnya fitnah-fitnah saya tentang Habib yang sudah saya sebarkan kepada begitu banyak orang. Maafkan saya, Habib. Maafkan saya…”

Habib Umar mengangguk-angguk sambil tersenyum. Ada kehangatan yang aku rasakan dari raut mukanya :
“Seperti aku katakan kemarin, aku sudah memaafkanmu. Barangkali kamu hanya khilaf dan hanya mengetahui sedikit tentangku. Tetapi kau harus belajar seusatu…,” katanya.

Aku hanya terdiam mendengar perkataan Habib Umar yang lembut, menyejukkan hatiku.

“Kini pulanglah…” kata Habib Umar.

Aku baru saja akan segera beranjak untuk pamit dan mencium tangannya, tetapi Habib Umar melanjutkan kalimatnya :
"Pulanglah dengan kembali berjalan kaki dan menempuh jalan yang sama dengan saat kamu menuju pondokku tadi…”

Aku terkejut mendengarkan permintaan Habib Umar kali ini, apalagi mendengarkan “syarat” berikutnya:

“Di sepanjang jalan kepulanganmu, pungutlah kembali bulu-bulu kemoceng yg tadi kau cabuti satu per satu. Esok hari, laporkan kepadaku berapa banyak bulu yang bisa kamu kumpulkan.”

Aku terdiam. Aku tak mungkin menolak permintaan Habib Umar.

“Kamu akan mempelajari sesuatu dari semua ini,” tutup Habib Umar.

Sepanjang perjalanan pulang, aku berusaha menemukan bulu-bulu kemoceng yang tadi kulepaskan di sepanjang jalan. Hari yang terik. Perjalanan yang melelahkan.

Betapa sulit menemukan bulu-bulu itu. Mereka tentu saja telah tertiup angin, atau menempel di sebuah kendaraan yang sedang menuju kota yang jauh, atau tersapu ke mana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar