01 April 2013

Cinta Ahlul Bait, Apa Untungnya Sih ?



Cinta Ahlul Bait, Apa Untungnya ?
masa Setiap menyinggung pembicaraan "ahlul bait" , eh lantas di tuding : O..kamu Syi'ah ya ?..bla ..bla...bla... banyak lagi tudingan yang dilancarkan , tanpa melihat dahulu siapa dan siapanya...

>>> hmmm , kamu jangan picik dong !! <<<

Setiap dari kita, pasti lebih mencintai dirinya sendiri melebihi apapun dan siapapun juga. Ini di karenakan fitrah yang telah di tentukan kepada setiap makhluk.

Kita semua ingin di puji, ingin di perhatikan, ingin mendapatkan keuntungan yang banyak.
 Dan melebihi semua itu, kita semua ingin selamat dan terhindar dari bahaya, yang setiap saat bisa menimpa diri kita.

Seorang Qays, yang di ceritakan sangat mencintai Layla, yang rela megorbankan apapun, bahkan nyawanya, masih tetap mencintai dirinya sendiri. Dia berusaha sekuat tenaga, dengan bermacam cara, agar Layla bisa bahagia. Karena dengan berbahagianya Layla, Qays menjadi bahagia. Dia juga berjuang mati–matian, untuk menjaga Layla, agar terhindar dari marabahaya, yang dapat menyakiti hati dan tubuh Layla. Karena Qays tidak ingin melihat Layla merasakan sakit. Dengan mengetahui sakit yang di alami Layla, akan menyebabkan sakit pula di dalam hati Qays. Jadi, bahagia Layla, merupakan kebahagiaan untuk Qays. Dan sedihnya Layla, merupakan kesedihan untuk Qays. Untuk membuat hatinya selalu bahagia, Qays sekuat tenaga berusaha, agar Layla bisa berbahagia dan terhindar dari bahaya.

Kita semua melakukan bermacam cara, untuk membuat diri kita bahagia, dan menjaganya dari bahaya. Dengan membeli perabot, mainan, makanan, obat–obatan, berlibur, mendatangi Dokter atau Dukun, atau yang lainnya. Yang semua itu, kita sangka akan membut kita bahagia dan terhindar dari bahaya. Padahal jauh di dalam lubuk hati kita, kita semua mengetahui, bahwa di balik semua materi itu, ada zat yang maha mampu, untuk membuat kita bahagia dan terhindar dari bahaya. Hanya ALLAH yang dapat membuat kita bahagia, dan hanya DIA lah yang dapat menghilangkan bencana. Karena DIA lah sang pencipta, dan hanya DIA lah yang dapat mengatur ciptaanNYA.
Di dalam Al Qur`an, surah Aali `Imron, ayat 31, ALLAH S.W.T, berfirman;

قُلۡ إِن كُنتُمۡ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحۡبِبۡكُمُ ٱللَّهُ وَيَغۡفِرۡ لَكُمۡ ذُنُوبَكُمۡۗ

Artinya; Katakan! (Hai Muhammad). Jika kalian mencintai ALLAH, maka ikuti Aku, niscaya ALLAH mencintai kalian dan mengampuni dosa–dosa yang kalian lakukan.
Dalam ayat ini di jelaskan, untuk mendapatkan cinta ALLAH, yang mana hal tersebut adalah sumber segala kebahagiaan, dan pengampunan dosa, yang dosa tersebut adalah sumber segala bencana, itu semua hanya bisa di dapat dengan cara mengikuti Nabi Muhammad S.A.W. hamba pilihanNYA, Sang Penyampai Risalah Ilahi.

Di dalam Sunan At Tirmidzy, Rasul S.A.W bersabda, yang artinya:
“Cintai lah ALLAH, karena Dia telah memberikan berbagai macam nikmat kepada kalian. Dan cintailah Aku, karena perintahNYA dan atau untuk mendapatkan cintaNYA. Dan cintailah keluargaku, karena Aku.
Dalam mengikuti ajaran Nabi S.A.W, dan meniru tingkah laku Beliau, tidak akan sempurna, apabila tidak ada di dalam hati kita, perasaan cinta kepada Beliau. Dan Beliau pula menjelaskan, bahwa cinta kepada Beliau, tidak akan sempurna, tanpa ada di dalam hati, rasa cinta kepada keluarga Beliau, yaitu Ahlul Bait. Hal ini dapat di fahami melalui Hadits di atas.
Dalam ayat lain, ALLAH S.W.T berfirman kepada RasulNYA:


قُل لَّآ أَسۡـَٔلُكُمۡ عَلَيۡهِ أَجۡرًا إِلَّا ٱلۡمَوَدَّةَ فِى ٱلۡقُرۡبَىٰۗ

Artinya: katakan! (Hai Muhammad) Aku tidak meminta imbalan apapun, dari kalian, atas da`wah yang Aku sampaikan, kecuali agar kalian mencintai keluargaku (al
Qurbaa) As Syuuraa 23.


Sebagaimana penafsiran Sahabat, yang mendapat gelar “Hibrul Ummah”, yaitu `Abdullah bin `Abbas, yang dikutip oleh Syekh Yusup bin Isma`il An Nabhany, di dalam bukunya “Syaroful Muabbad Li Aali Muhammad”.
Di dalam melakukan amal ibadah, tidaklah pantas seorang hamba meminta imbalannya kepada selain ALLAH S.W.T. Terlebih lagi, amal tersebut adalah Da`wah untuk mengajak Manusia menuju Ridho ALLAH. Apabila mengharap imbalan kepada selain ALLAH, tidak pantas di lakukan oleh seorang Manusia biasa, bagaimana dengan sepaling mulia makhluk ciptaanNYA?
Di dalam surah As Syu`ara, ayat 109,127,145,164 dan 180, ketika ALLAH S.W.T menceritakan tentang perjuangan da`wah Nabi Nuh, Hud, Sholeh, Luth dan Syu`aib, “`Alayhimussalaam”, Mereka semua menyatakan;

وَمَآ أَسۡـَٔلُكُمۡ عَلَيۡهِ مِنۡ أَجۡرٍۖ إِنۡ أَجۡرِىَ إِلَّا عَلَىٰ رَبِّ ٱلۡعَـٰلَمِينَ


Artinya: Dan Aku tidak akan meminta upah, sedikit pun juga, kepada kalian, atas da`wah yang Aku sampaikan. Ganjaran yang Aku harapkan, tiada lain hanya kepada Tuhan, penguasa seluruh alam.
Apabila pernyataan seperti ini di ucapkan oleh para Nabi AS, tentunya Muhammad S.A.W menyatakan hal serupa, bahkan lebih. Karena Beliau adalah “Sayyidul Anbiyaa wal Mursaliin”. Dan karena ALLAH S.W.T mengetahui, kekasihNYA ini tidak akan meminta upah, dari da`wah yang telah di sampaikannya, maka DIA perintahkan kekasihnya ini, untuk menyampaikan ayat 23 dari surah
As Syuuraa. Hal ini merupakan kemuliaan yang di berikan khusus kepada Muhammad S.A.W, dan karena adanya manfaat untuk Ummat Beliau.

Di dalam “Syaroful Muabbad li Aali Muhammad” susunan Syaikh Yusuf bin Isma`il An Nabhani, di sebutkan; “Apabila berbuat baik, mencintai, dan menghormati, wajib di lakukan kepada setiap Muslim, maka kepada keluarga Rasul S.A.W, hal–hal tersebut lebih wajib dan “afdhol” untuk di lakukan.
Lalu, keuntungan apa yang di dapat dengan melakukan permintaan Rasul S.A.W, yaitu mencintai keluarga Beliau?
Di dalam ayat 46 dari surah Saba`, ALLAH S.W.T berfirman;

قُلۡ مَا سَأَلۡتُكُم مِّنۡ أَجۡرٍ۬ فَهُوَ لَكُمۡۖ إِنۡ أَجۡرِىَ إِلَّا عَلَى ٱللَّهِۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَىۡءٍ۬ شَہِيدٌ۬

Artinya: Katakan! (Hai Muhammad) Apapun yang Aku pinta kepada kalian, berupa upah, maka manfaatnya untuk kalian. Ganjaran sebenarnya yang Aku harapkan hanya kepada ALLAH. Dan Dia memperhatikan segalanya.

Dan pada ayat 57 dari surah Al Furqaan;


قُلۡ مَآ أَسۡـَٔلُڪُمۡ عَلَيۡهِ مِنۡ أَجۡرٍ إِلَّا مَن شَآءَ أَن يَتَّخِذَ إِلَىٰ رَبِّهِۦ سَبِيلاً۬

Artinya: Katakan! (Hai Muhammad) Aku tidak meminta upah kepada kalian, untuk da`wah yang Aku sampaikan, kecuali kepada orang–orang yang ingin mengambil jalan, untuk menuju Tuhannya.
Dengan kedua ayat di atas, Rasul S.A.W di perintahkan untuk menyampaikan, bahwa upah yang beliau harapkan kepada setiap Ummatnya, yaitu cinta kepada keluarga beliau (Al Qurbaa), tiada lain manfaatnya untuk kebaikan diri mereka sendiri (ayat pertama). Dan manfaat tersebut adalah tujuan utama setiap hamba, yaitu sampainya mereka dalam meraih Ridho ALLAH S.W.T (ayat kedua). Sebagai mana pendapat sementara “Mufassiriin”, dalam tafsir Al Baydhowy.

Dengan sebuah Hadits, yang telah di nukil oleh Prof.Dr. Sayyid Muhammad Al Maliki, di dalam bukunya, “Syarii`atullah Al Khalidah, Rasul S.A.W, bersabda, yang artinya:
“Aku titipkan kepada kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh kepada keduanya, yaitu “Kitaabullah” dan “Sunnah” NabiNYA”.
(Al Imam Malik fil Muwatho).

Dan di dalam riwayat Al Imam Ahmad, seperti yang tercantum dalam kitab “Syaroful Muabbad li Aali Muhammad”, yang artinya;

“Sesungguhnya telah dekat panggilan itu(kematian), dan Aku akan memperkenankannya. Dan sesungguhnya, Aku menitipkan kepada kalian dua perkara yang sangat besar. Yang pertama “Kitaabullah”, Ia adalah tali yang terulur dari langit ke bumi. Dan yang kedua adalah “Itrotiy”, yaitu “Ahlul Bait”ku. Dan sesungguhnya Tuhan yang Maha mengetahui hal yang paling halus, telah mengabarkan kepadaku, bahwa keduanya tidak akan berpisah, sampai Aku menemui keduanya di dekat “telaga”, pada hari kiamat. Maka perhatikanlah keduanya, setelah Aku pergi nanti!

Hadits pertama menjelaskan, bahwa Rasul S.A.W, meninggalkan dua perkara yang sangat berharga, yaitu “Kitaabullaah” dan “Sunnah”, tata cara beribadah kepada ALLAH S.W.T dan bergaul terhadap sesama makhluk, yang telah di contohkan oleh Baginda Nabi S.A.W. dan ia merupakan penjelasan terhadap “Kitaabullaah” pada ayat-ayat yang memberikan penjelasan secara tidak terperinci.
Sedangkan dalam hadits kedua, Rasul S.A.W. berwasiat, agar ummatnya berpegang teguh kepada Kitaabullaah dan anak cucu Beliau. Karena keduanya tidak akan berpisah selamanya, dalam memberikan petunjuk kepada manusia, sampai tibanya hari kiamat, dan keduanya menjumpai Nabi S.A.W, di telaga yang telah Beliau janjikan.

Dengan melihat hadist di atas, menjadi jelaslah bahwa penafsiran Kitabullah dan sunnah Rasul SAW, sekaligus cara mengamalkan kedua warisan tersebut, dapat dilakukan dengan sempurna apabila kita mencintai dan mengikuti cara yang dilakukan Ahlulbait, yang disebutkan oleh hadist diatas dengan ‘Itrah. Karena mereka, Ahlulbait, dalam melakukan perintah Allah dan Rasulnya, tidak hanya mengambilnya melalui kitab-kitab hadits atau tafsir. Akan tetapi mereka melihat langsung cara pengamalannya melalui orang tua dan kakek mereka. Sedangkan kakek mereka tadi langsung melihat dari ayahnya. Dan terus seperti itu, sampai kepada datuk mereka yaitu Rasulullah SAW. Dengan cara ini keamanan dalam memaham ayat-ayat Allah, dan sabda Nabi, lebih terjaga.

Hal ini sesuai dengan pernyataan yang telah disampaikan oleh Alhabib Umar Bin Muhammad Bin Hafizh, pendiri Darul Mushtafa, Tarim, Hadramaut, dalam menggabungkan dua ma’na hadits tersebut.

Dengan Hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad tadi, menjadi jelaslah sebab diperintahkannya Nabi SAW untuk menyampaikan kepada ummatnya, agar mereka mencintai Ahlulbait, Anak cucu keturunan Nabi SAW, dan mengikuti jejak langkah mereka. Wallahu a'lam...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar