21 November 2012

Jatuh Cinta di Fb




Baru saja bus yang aku tumpangi melewati gerbang selamat datang kota Slawi. Aku telah sampai  di kota tujuanku, namun aku bingung akan turun dimana. Sungguh aku tak tahu apa-apa tentang kota ini. Bahwa ada kota bernama Slawi saja baru kutahu dua hari yang lalu. Akh! mungkin aku sudah gila, pergi ke sebuah tempat asing seorang diri. Kadang cinta membuat seorang berfikir dan berperilaku seperti orang gila.

Cinta? Yah cinta! Itu bukan sekedar kata, namun sebuah rasa yang bersemayam di dalam hatiku selama 4 tahun. Selama itu aku dibuat gila. Mungkin aku memang sudah gila. Mencintai seseorang tanpa pernah sekalipun berjumpa dengannya.


Namanya Hindun. Aku mengenalnya di facebook. Entah bagaimana awalnya aku langsung akrab di hari pertama konfirmasi pertemanan. Hampir seharian aku ngobrol meski hanya candaan biasa. Saat itu juga aku langsung merasa nyaman bersamanya di dunia maya. Profil facebook-nya minim sekali. Dia hanya membagi data nama lengkap, tanggal lahir dan tempat tinggal. Bahkan foto profilnya pun bukan gambar fotonya.

Aku menjadi penasaran,  ingin mengenalnya lebih jauh, namun dia bukan tipe orang yang mudah memberikan identitas pribadinya kepada setiap orang. Bisa dikatakan aku hanya mengenal dia sebatas kata-kata hikmah dan motivasinya. Dan tanpa kusadari aku semakin jauh terbawa dengan status-statusnya.


‘Aku jatuh cinta’

Tiga kata itu kutulis di dinding facebook, saat itu aku merasa tidak kuat lagi menyembunyikan rasa yang membuatku setiap hari galau. Hasilnya status tersebut di ‘like’ 47 teman dan 52 komentar. Kutunggu komentar Hindun, namun hingga beberapa hari dia tidak online. Aku semakin galau.

Kutulis kembali kalimat itu di dinding facebook Hindun seminggu kemudian. Aku langsung berbunga-bunga ketika dia menjawab : ‘sama siapa?’

Aku bimbang. Kalau terus terang, aku tak punya keberanian. Kalau tidak terus terang, aku merasa rugi ada kesempatan tapi tak dipergunakan.

‘Sama seseorang yang selama seminggu ini dia telah mengisi siang dan malamku dengan cahaya kasihnya.’

‘So sweet… Gadis manakah yang beruntung mendapatkancintamu?’

‘Beruntung? Mungkin tidak! Kalau dia tahu, mungkin hanya akan membebani pikirannya.’

‘Kenapa?’

‘Karena aku tidak pantas untuknya… dia terlalu indah untuk ku’

‘Jangan pesimis. Semangat! Cinta itu anugerah. Berbahagialah orang yang memiliki rasa cinta. Pinang saja dia. Buruan jangan sampai kamu menyesal karena terlambat.’

‘Pinang?’

‘Yah, pinang dia, kalau sudah merasa mampu, halalkan dan dia akan jadi milikmu selamanya.’

Jari-jemariku bergerak-gerak di atas keyboard, tak tahu harus mengetik apa. Bimbang antara mengungkapkan atau tidak. Lama aku hanya bengong menatap layar monitor.  Sampai dia offline aku masih tak tahu harus melakukan apa.

Mengingat masa itu membuatku semakin ingin bertemu dengan Hindun. Kini aku telah berada di kota tempat tinggal dia. Hanya berbekal selembar alamat aku beranikan diri menemuinya. Hari ini akan kupinang dia. Ya, HARI INI!

“Terminal Slawi, siap-siap!” Teriak awak bus lantang membuyarkan lamunanku. Kuraih tas ransel di sebelahku. Bis berhenti. Semua penumpang turun. Tinggal aku yang masih tak bergeming ditempat duduk.

Seorang awak bus mendekatiku: “Sudah sampai Slawi, mas!”

Kukenakan ransel dipunggungku. Dengan langkah gontai aku keluar dari bus. Beberapa tukang becak mengerumuniku. Mereka tanya tujuanku. Aku hanya tersenyum  sembari member isyarat bahwa aku akan masuk ke dalam warung makan.

Aku masuk ke dalam warung makan. Setelah meletakkan tas ransel di bangku panjang, aku memesan segelas kopi. Kulirik arloji dipergelangan tanganku. Pukul 01.24! Aku tak perlu sholat isya lagi. Tadi sebelum berangkat aku sudah menjamaknya dengan sholat maghrib.

“Monggo, mas…” Seorang ibu paruh baya menyajikan pesananku.

“Terima kasih, bu!” Ucapku padanya. Kuseruput kopi panas di depanku. Sebenarnya aku bukan penikmat kopi. Tapi dalam kondisi seperti ini aku merasa membutuhkannya. Dan memang aku merasa jadi sedikit rileks. Mungkin pengaruh sugesti.

Kurogoh saku celana, mengambil handphone. Kubuka kembali foto Hindun yang kudapat dari Zainab teman kuliahku dua hari yang lalu. Aku baru tahu ternyata Zaenab kenal dengan Hindun. Andai saja aku tak menghadiri reuni, dan tak bertemu teman sekampusku itu, mungkin aku tak kan berada di Kota Slawi seperti sekarang ini. Zaenab pula yang memberikan denah rumah Hindun. Dia pernah mengantar Hindun ketika gadis pujaanku itu sakit. Meski tidak akrab Zaenab pernah tinggal satu kost dengan Hindun. Sayangnya nomor handphone Hindun sudah lama tidak aktif. Zaenab kehilangan kontak sejak dua tahun lalu. Begitu pula akun facebooknya sudah non aktif.

Terbayang kembali saat-saat aku menemukan keberanian untuk menyatakan cinta kepada Hindun. Waktu itu hari Rabu sore, tanggal 12 Maret 2008, kutuliskan pernyataan cintaku di obrolan facebook, kebetulan saat itu gadis itu sedang online.

 ‘Aku mencintaimu Hindun’

Lebih dari lima menit baru ada jawaban.

 ‘Apakah kamu yakin dengan pernyataanmu itu? Kamu tak mengenalku, kita belum pernah bertemu, kamu bahkan tak tahu seperti apa parasku. Kumohon jangan becanda dengan sesuatu yang menyangkut perasaan cinta’

‘Aku mengenalmu. Aku yakin dari kalimat-kalimatmu bahwa  kamu adalah seorang wanita solehah dan berkepribadian cantik.  Sungguh aku tidak becanda’

‘Pikirkan sekali lagi. Kamu hanya menyukai seseorang dari kata-katanya. Dan kamu tidak bisa hidup dengan seseorang hanya karena kata-katanya. Kamu orang baik, dan kamu berhak mendapatkan wanita terbaik’

‘Tapi kita bisa jalani apa adanya dulu. Aku ingin mengenalmu lebih jauh. Bisakah kita ketemuan?’

‘Kalau kamu ingin mengenalku, ajak saudara perempuanmu datang kerumahku, tapi maaf aku tak mengenal pacaran sebelum nikah. Setelah kamu melihatku nanti  kamu boleh menentukan apakah mau meminangku atau tidak.’

‘Aku masih 21 tahun, aku belum bisa meminang wanita sebelum kuliahku selesai. Tak bisakah kita jalani dulu. Okelah kita tak pacaran, tapi kita bisa saling telfon, sms-an, Chatting sampai waktunya tiba.’

‘Maaf aku tetap tidak bisa menjalani hubungan seperti itu. Bukankah syeitan selalu mencari celah untuk menjerumuskan manusia? Dengan melakukan seperti yang kamu inginkan, itu sama saja memberi celah kepada syeitan. Naudzubillah min dzalik.’

Sejak itu aku tak pernah lagi membuka facebook. Aku sakit hati. Aku ingin lepas dari Hindun! Untuk mengobatinya aku menjadi petualang yang tidak pernah puas. Namun kisah cintaku tak pernah bahagia. Pindah dari satu hati ke hati yang lain. Aku tak pernah menemukan kecocokkan setiap kali pacaran. Mungkin itu karena aku hanya mencari pelampiasan akibat patah hati.

“Dari Jakarta yah, mas?” Tanya ibu pemilik warung, membuyarkan lamunanku

Aku mengangguk. “Iya, bu!”

“Oh…!” Seru ibu itu seolah tidak ingin terlalu banyak basa-basi denganku.

Kembali kupandangi foto Hindun di memory HP-ku. Wajahnya oval terbungkus kerudung hitam, membuat kulit putihnya semakin kelihatan terang. Parasnya lebih cantik dari yang kubayangkan sebelumnya. Sebelum mendapatkan fotonya, aku memang tak peduli seperti apa wajahnya. Rasa cinta telah membutakan aku.

Foto itu kusimpan satu folder dengan enam gadis mantan-mantanku, sekedar pengingat hati agar aku selalu sadar bahwa selama empat tahun terakhir aku telah melakukan kebodahan. Enam kali aku mematahkan hati wanita. Aku memang tak mencintai mantan-mantanku itu. Aku hanya  ingin melampiaskan dendam atas patah hati yang kubuat sendiri.

Aku menyesal! Sungguh aku tak ingin mengulangi lagi kebodohan-kebodohan itu lagi. Aku tak mau pacaran lagi. Aku harus menikah. Dengan Hindun-kah? Meski aku punya semangat yang luar biasa, namun dalam hati kecilku aku telah siap seandainya Hindun tidak mau menikah denganku. Aku sadar, mungkin itu balasan yang harus aku terima.

Kurapatkan jaketku. Udara bertiup cukup kencang. Suasana terminal cukup lengang. Jarang sekali keluar-masuk kendaraan. Terminal baru akan ramai ketika ada bus masuk dan menurunkan penumpang. Beberapa tukang ojek dan tukang becak berebutan penumpang. Setelah itu lengang kembali.

Kuteguk sisa kopi di gelas. Serta merta aku mulai resah. Sekarang belum ada jam dua dini hari. Aku harus menunggu sampai matahari terbit untuk bertamu ke rumah Hindun. Seharusnya aku tadi naik bus jam pemberangkatan terakhir, sehingga tidak terlalu lama menunggu waktu fajar. Harus kemana dulu hingga waktu sholat subuh datang?

Mendadak saja aku punya ide.

“Bu..!” Panggilku kepada pemilik warung. Perempuan bertubuh gemuk itu menoleh ke arahku. “Di sekitar terminal, ada warnet yang buka 24 jam tidak?”

“Ada! Mas keluar terminal, terus ke kiri. Sebelum perempatan, sebelah kiri jalan ada warnet. Biasanya sampai pagi masih buka.” Jawab ibu itu.

Alhamdulillah, ucapku dalam hati. Aku bisa ke warnet dulu. Itu cara paling aman dan nyaman untuk menunggu waktu subuh tiba di daerah yang tak kuketahui seluk beluknya.

“Lha, mas mau kemana sebenarnya?” Ibu pemilik warung itu balik bertanya.

Kurogoh jaketku, lalu menunjukkan selembar kertas berisi alamat kepadanya. Setelah membaca kertas itu, ibu itu berjalan keluar. “No! Marno!” teriaknya, kelihatannya memanggil seseorang.

Tak lama kemudian masuk seorang lelaki berkulit hitam. Sehelai handuk kecil melingkar dilehernya. “Priben yu? 1)”

“Kyeh, mase pan maring alamat kiye! 2)” Ibu itu menunjukkan sehelai kertas punyaku.

Lelaki yang kuperkirakan berumur tiga puluhan itu membaca tulisan alamat itu. “Mas mau kealamat ini? Nanti naik becak saya saja. Saya tahu alamat rumah ini.”

“Iya, saya mau silaturahmi ke alamat itu. Tapi tidak sekarang mas, nanti saja kalau waktunya sudah pantas buat bertamu, sekitar jam enam.” Kataku menjelaskan.

“Nggak papa mas, saya biasanya pulang habis subuh. Mas bisa tunggu dulu disini.” Ujar lelaki itu. “Mau ke rumah Ustadz Sholeh?”

Aku mengernyitkan dahi. Siapa  itu ustadz Sholeh? Kenapa Zenab tidak menceritakan lebih lengkap? Gerutuku dalam hati. “Eh…Kalau Hindun itu apanya ustadz Sholeh?”

Lelaki itu menatapku dengan pandangan yang aneh. “Istrinya, mas!”

Serta-merta tubuhku bergetar. Lidahku terasa kelu, tenggorokanku kering dan aku hanya bisa mematung. Meski sebelumnya aku telah mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan seperti ini, namun aku tetap merasa kecewa.

Bagaimanapun juga aku tetap akan menemui Hindun dengan izin suaminya. Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih dan mengobati rasa penasaranku bertemu wanita itu secara langsung, bukan di dunia maya saja. Tapi apakah mungkin suaminya akan mengizinkan istrinya menemui lelaki yang bukan muhrim? Aku sudah terlanjur sampai sini. Aku harus mencoba. Kalaupun tidak diizinkan, setidaknya aku telah mencoba melakukan sesuatu dengan niat baik.

“Gimana, jadi ke alamat ini nggak mas?” Tanya lelaki itu menyadarkanku. “Kalau jadi, nanti jam enam saya kesini lagi mengantar mas! Sekarang saya mau cari penumpang dulu”

“Eh.. i..ya jadi!” Jawabku terbata dengan nada serak.

“Jam enam mas, ya?” Lelaki itu mencoba memastikan, sebelum akhirnya berjalan keluar.

Tiba-tiba saja aku merasa perlu memanggil lagi lelaki itu. “Mas! Mas…!”

Lelaki itu berhenti lalu menoleh kearahku. Aku mendekatinya.

“Mas, tetangganya Ustadz Sholeh?” Aku merasa perlu mengetahui tentang siapa suami Hindun, sebelum aku bertamu kesana.

Lelaki itu mengangguk.

“Sudah lama Ustadz Soleh menikah dengan Hindun?” Tanyaku hati-hati.

Lelaki itu mengernyitkan dahi. “Setahun lebih, mas. Tapi istrinya ustadz Sholeh meninggal ketika melahirkan anak pertamanya.”

Jleb! Seperti ada yang menusuk jantungku. Pandanganku kabur. Tubuhku terasa limbung. Aku masih merasakan tubuhku ambruk di lantai sebelum semuanya terasa gelap.

# # #
'Some One'
Kendal, 13 Juni 2012

Priben yu? = Bagaimana mbak?

Kyeh, mase pan maring alamat kiye! = Ini, Mas itu mau ke alamat ini

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=295820410535640&set=a.146350555482627.29399.104062419711441&type=1&theater&notif_t=like

Tidak ada komentar:

Posting Komentar