by Sayyid Ibra Assegaf
As Salamu'alaykum warahmatullahi ta'ala wabarakatuhu ...
''Pernahkah Anda melihat orang yang berbuat jahat terhadap orang yang
amat dicintainya?'' seseorang bertanya pada Abu Dzar al-Ghiffari,
sahabat Rasulullah SAW. ''Pernah, bahkan sering,'' jawab Abu Dzar.
''Dirimu sendiri itu adalah orang yang paling kamu cintai. Dan kamu
berbuat jahat terhadap dirimu bila durhaka kepada Allah,'' jelasnya.
Dengan mengacu pada pendapat Abu Dzar tadi, sebenarnya banyak di antara
kita yang tega berbuat jahat terhadap 'orang' yang amat dicintainya.
Tapi anehnya, kita -- yang gemar berbuat dosa -- lupa bahwa apa yang
kita lakukan sesungguhnya merupakan perwujudan kebencian terhadap diri
sendiri. Cinta adalah fitrah yang diberikan Allah untuk semua makhluk
guna mempertahankan eksistensinya. Manusia berkembang biak karena cinta.
Kelestarian lingkungan menjadi kepedulian manusia karena cinta. Dan
yang lebih penting, cinta -- ini yang perlu kita sadari -- merupakan
refleksi keberadaan alam malakuti yang abadi. Itulah sebabnya, bila dua
sejoli sedang dimabuk cinta, maka apa yang terbayangkan dan
diangankannya, cinta mereka akan abadi. Tapi sayang, keabadian cinta
yang diangankannya hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat duniawi,
yang justru menghambat cinta malakuti.
Salah satu unsur penting
yang menghambat perjalanan cinta malakuti adalah cinta dunia (hubb
al-dunya). Cinta dunia, dilukiskan oleh Sayyidina Ali, sebagai biang
dari segala bencana. Bila hati manusia sudah terperosok dalam cinta
dunia, maka logika-logika aneh pun muncul dari pikirannya.
<br><center><a
href="http://www.funscrape.com/Comments/Hearts.html"><img
src="http://img1.funscrape.com/en/hearts/196.gif"
border=0><br><br><b>More Hearts
Comments</b></a></center>
Salah satu logika anehnya, kata Abu Dzar, ia amat berharap rahmat dan
ampunan dari Allah, padahal dalam hidup sehari-harinya, ia amat jauh
denganNya. ''Rahmat dan ampunan Allah,'' tegas Abu Dzar, ''tak
dihambur-hamburkan begitu saja hingga setiap orang akan
mendapatkannya.'' Kata Abu Dzar, setan punya senjata pamungkas, berupa
godaan pada manusia untuk mengharap rahmat Allah, sementara ia terus
berusaha menjauhkannya dari ibadah dan amal saleh. Korban senjata
pamungkas ini paling suka memaafkan dirinya sendiri. ''Rahmat Allah
Mahaluas. Dosaku pasti dimaafkanNya,'' kata korban. Padahal ia tetap
saja tak mau bertobat.
Orang yang berbuat dosa, tulis Imam
Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, bukan hanya mencelakakan dirinya, tapi
juga menghina Allah, karena ia menyelewengkan amanah yang telah
diberikan kepadanya. Lidah dan tangan yang Allah berikan kepada manusia
untuk dipakai berzikir serta beramal saleh, misalnya, ia diselewengkan
untuk mengumpat dan mengambil hak orang lain. Naudzubillah mindzalik!
wallahu a'lam
Kelestarian lingkungan menjadi kepedulian manusia karena cinta. Dan yang lebih penting, cinta -- ini yang perlu kita sadari -- merupakan refleksi keberadaan alam malakuti yang abadi. Itulah sebabnya, bila dua sejoli sedang dimabuk cinta, maka apa yang terbayangkan dan diangankannya, cinta mereka akan abadi. Tapi sayang, keabadian cinta yang diangankannya hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat duniawi, yang justru menghambat cinta malakuti.
Salah satu unsur penting yang menghambat perjalanan cinta malakuti adalah cinta dunia (hubb al-dunya). Cinta dunia, dilukiskan oleh Sayyidina Ali, sebagai biang dari segala bencana. Bila hati manusia sudah terperosok dalam cinta dunia, maka logika-logika aneh pun muncul dari pikirannya.
<br><center><a href="http://www.funscrape.com/Comments/Hearts.html"><img src="http://img1.funscrape.com/en/hearts/196.gif" border=0><br><br><b>More Hearts Comments</b></a></center>
Salah satu logika anehnya, kata Abu Dzar, ia amat berharap rahmat dan ampunan dari Allah, padahal dalam hidup sehari-harinya, ia amat jauh denganNya. ''Rahmat dan ampunan Allah,'' tegas Abu Dzar, ''tak dihambur-hamburkan begitu saja hingga setiap orang akan mendapatkannya.'' Kata Abu Dzar, setan punya senjata pamungkas, berupa godaan pada manusia untuk mengharap rahmat Allah, sementara ia terus berusaha menjauhkannya dari ibadah dan amal saleh. Korban senjata pamungkas ini paling suka memaafkan dirinya sendiri. ''Rahmat Allah Mahaluas. Dosaku pasti dimaafkanNya,'' kata korban. Padahal ia tetap saja tak mau bertobat.
Orang yang berbuat dosa, tulis Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, bukan hanya mencelakakan dirinya, tapi juga menghina Allah, karena ia menyelewengkan amanah yang telah diberikan kepadanya. Lidah dan tangan yang Allah berikan kepada manusia untuk dipakai berzikir serta beramal saleh, misalnya, ia diselewengkan untuk mengumpat dan mengambil hak orang lain. Naudzubillah mindzalik!
wallahu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar