05 Februari 2011

Allah Menawarkan Amanat kepada Langit dan Bumi



Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semua enggan memikulnya dan merasa berat daripadanya dan manusia memikulnya. Sesungguhnya adalah dia zalim lagi bodoh.” (QS.33: 72).

Di Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989, 26), memberi arti amanat sebagai pesan, perintah (dari atas). Jadi dalam amanat itu perlu ada yang memberikan pesan (perintah) yang datang dari pemegang otoritas kepada pihak lain sebagai penerima pesan (perintah) tersebut. Contoh: PEMILU 9 April 2009 merupakan ajang pemberian amanat dari setiap rakyat Indonesia kepada salah satu caleg dari partai tertentu. Rakyat sebagai pemberi amanat kepada caleg dan caleg sebagai penerima amanat. Namun fakta politik, caleg yang terpilih masih lebih taat dan tunduk terhadap keinginan partainya ketimbang mendengarkan keinginan sang pemberi amanat.

Menariknya disini, para mufassir berbeda pendapat dalam memberikan makna kata amanat yang terdapat dalam QS.33: 72. Dalam Al-Quran Terjemahan Indonesia yang disusun oleh Tim Disbintalad (2005, 841) memberikan catatan kaki tentang amanah yang dimaksud QS.33: 72 ialah agama Allah.

Namun Muhammad Nasib Ar-Rifa’i dalam ringkasan tafsir Ibnu katsir (2000, 908-909) mengungkap beberapa makna amanat sebagai berikut:
  • Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa “Yang dimaksud amanat ialah ketaatan.”
  • Mujahid, Said bin Jubair, Adh-Dhahak, Hasan Bashri, dan ulama lainnya yang tidak hanya seorang mengatakan bahwa amanat berarti kewajiban-kewajiban.
  • Ulama lain memberi makna amanat sebagai ketaatan.
  • Agama, kewajiban, dan hudud.
  • Mandi janabah.
  • Shalat, shaum, dan mandi janabah.

Al-Quran dan Tafsirnya yang diterbitkan oleh Universitas Islam Indonesia (1991, 50-51), cenderung mengartikan amanat dalam ayat tersebut sebagai tugas-tugas keagamaan.

Allamah Kamal Faqih Imani dalam Tafsir Nurul Quran (2008, 637), memberikan makna amanat sebagai cinta Ilahi (wilayah) dan kesempurnaan sifat ibadah yang bisa dicari dengan cara ilmu dan amal kebajikan. Imani memberikan beberapa pengertian obyektif amanat sebagai berikut:

  • Sifat otoritas dan kehendak bebas yang menyebabkan manusia diistimewakan dari ciptaan lainnya.
  • Kebajikan manusia yang merupakan landasan umum tugas dan kewajiban serta criteria untuk pahala dan azab.
  • Anggota tubuh manusia. Mata adalah amanat Allah yang semestinya tidak digunakan di jalan maksiat. Telinga, tangan dan kaki, juga lidah merupakan amanat-amanat Tuhan lainnya yang wajib dilindungi agar tidak berbuat dosa.
  • Deposit-deposit yang diambil satu sama lain, juga pemenuhan janji.
  • Mengenal Allah (makrifatullah).
  • Kewajiban-kewajiban Ilahi semacam salat, puasa, dan haji.

Demikian pula Imam Ja’far Ash-Shadiq ketika ditanya tentang tafsiran ayat ini, beliau menjawab: “Amanat adalah wilayah, dan manusia (yang telah dicap sebagai zalim dan bodoh) adalah pemilik banyak dosa dan seorang munafik.”

Para mufasir besar Islam telah banyak mendiskusikan ayat ini. Mereka berusaha memperjelas dan menerangkan makna “amanat” ini. Mereka telah menyampaikan berbagai pandangan terbaik atasnya, yang didasarkan pada kandungan ayat. Kendati tafsiran-tafsirannya berbeda ini tidaklah kontradiktif, namun saling melengkapi dan berpangkal kepada pengertian amanat sebagai taklif (beban kewajiban) dan penerimaan perintah serta larangan secara bersyarat. Artinya, jika seseorang melaksanakan maka diganjar, dan jika meninggalkan maka diberi sanksi. Kemudian amanat itu diterima oleh manusia karena kelemahan dan kebodohannya, kecuali orang yang diberi taufik oleh Allah SWT.

Lebih lanjut Imani mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki talenta luar biasa yang dengan itu bisa menjadi ekstensi sempurna dari kekhalifahan Allah. Dengan pencarian ilmu, penyucian jiwa rendah, dan penunaian kewajiban-kewajiban agama, manusia tentu bisa mendapatkan puncak kehormatan dan melampaui para malaikat. Contohnya: Rasulullah SAWW naik ke sidratul montaha tanpa didampingi oleh malaikat Jibril, sebab Jibril sudah tidak mampu naik ke sidratul montaha tsb. Hal ini merupakan bukti bahwa manusia memiliki potensi yang bisa mengalahkan makhluk Allah sekalipun malaikat setingkat Jibril.

Talenta ini disertai dengan kehendak bebas dan otoritas, yakni ia bisa memulai jalan ini dari awal dan membukakannya oleh dirinya sendiri dan dengan otoritasnya menuju keabadian. Langit, bumi, dan gunung-gunung juga memiliki sejenis makrifatullah sehingga mereka sibuk berzikir dan mengagungkan Allah SWT. Mereka tunduk dan bersujud di hadapan keagungan-Nya. Akan tetapi, semua perbuatan ini bersifat bawaan, genetik dan paksaan. Itulah sebabnya tidak ada perkembangan dalam diri mereka.

Satu-satunya makhluk yang naik dan turunnya tidak terbatas, mendaki puncak kesempurnaan, melakukan semua hal dengan kehendak serta otoritasnya hanyalah manusia. Manusia yang tampaknya kecil, jika ia tidak melupakan martabatnya maka akan menjelma sebagai salah satu tanda keajaiban alam makhluk, yang mampu membawa beban amanat yang langit, bumi, dan gunung-gunung tidak mampu memikulnya.

Dengan kata lain, amanat Ilahi merupakan potensialitas dari kesempurnaan tak terbatas yang disertai dengan kehendak bebas dan otoritas sehingga ia dapat mencapai derajat hamba Allah yang sempurna dan ikhlas (insan kamil) dengan sarana penerimaan kecintaan kepada Allah SWT. Inilah amanat Allah yang tidak sanggup dipikul oleh makhluk Allah lainnya.

Dengan demikian, secara lahiriah QS.33 :72 bisa dipahami bahwa Allah SWT telah melimpahkan berbagai keistimewaan dan kekhususan pada diri manusia yang tak satu makhluk pun di langit dan di bumi memilikinya. Keistimewaan-keistimewaan ini merupakan amanat Allah yang memunculkan sejumlah tanggung-jawab bagi manusia. Akan tetapi, banyak manusia yang menyelewengkan amanat ini dan menerapkan di jalan penentangan kepada perintah Allah SWT. Akal dan kehendak manusia yang semestinya digunakan di jalan pengenalan kebenaran dan memilihnya. Sehingga ia bisa menjadi sebab pertumbuhan dan kesempurnaan dirinya. Namun banyak juga yang telah diterapkan dalam sejumlah jalan yang keliru. Hal ini membuahkan perluasan kezaliman dan kebuasan perilaku manusia yang telah dihitung sebagai suatu perbuatan zalim dan bodoh..

Referensi:

  1. Allamah Kamal Faqih Imani. Tafsir Nurul Quran. Jilid 14. Jakarta : Al-Huda, 2008.
  2. Muhammad Nasib Ar-Rifa'i. Kemudahan Dari Allah : Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jilid 3. Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
  3. Prof.H. Bustami A. Gani, dkk. Al-Quran dan Tafsirnya. Jilid 8. Yoyakarta : PT. Dana Bhakti Wakaf, 1991.
  4. Tim Disbintalad. Al-Quran dan Terjemah Indonesia. Jakarta: PT. Sari Agung, 2005.
  5. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1990.      http://rumahsantri.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar