01 Juli 2010

Pandangan Teologis Sufistik (Syaziliyyah) atas fenomena Ariel-Luna Maya


[Tulisan ini dibuat menggunakan kacamata Sufistik yang menukil pada kitab Al-Hikam karya Ibnu Athaillah as-Sakandary murid Syeikh Abul Hasan Syazilli, Pengasas Thariqah Syaziliyyah (mursyid rantai sanad ke-19 dalam Thariqah Syaziliyyah-walisongo] - Wallahu alam bishowab -

Saat ini, tidak satu pun lembaga, Ormas keagamaan atau pun tokoh yang melihat peristiwa Ariel-Luna, dengan forum kearifan, apalagi dengan “kacamata Tuhan” yang penuh dengan pancaran Kasih Sayang dan Kelembutan.
Semua muncul dengan nada marah, sekaligus pembenaran diri sendiri. Apakah kita harus meminum miras, lalu mabuk lebih dahulu, kemudian sambil mabuk kita mengharamkan miras sembari memecahkan botol-botolnya? Bayangkan jika berjuta-juta pengguna seluler menghujat Ariel-Luna, pada saat yang sama mereka secara sembunyi menikmati video yang ada?
Padahal, menurut dimensi spiritual Islam (Sufisme), tingkat kearifan seseorang harus dikedepankan dalam memandang berbagai peristiwa “gelap”. Dalam tradisi Sufi, ada cara pandang yang lebih berhikmah dalam melihat kasus video porno tersebut.
Seperti dikatakan Ibnu Athaillah as-Sakandary, “Terkadang Allah mentakdirkan hambaNya berbuat dosa, agar si hamba lebih dekat kepadaNya…” Atau dalam hikmah lainnya, “Maksiat yang menimbulkan remuk redam jiwa di depan Allah, lebih baik dibanding ibadah yang melahirkan rasa sombong dan sok mulia…”



Bukankah video tersebut sebagai “sindiran” Allah kepada bangsa ini agar tidak munafik dengan diri sendiri? Bukankah Cahaya Allah, tampak semakin jelas justru dari sisi kegelapan, dan sebaliknya betapa banyak kegelapan yang subur dari ritual ibadah atas nama Tuhan, atas nama Nabi, atas nama Islam? Sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an, “Allah memasukkan malam dalam siang, dan memasukkan siang dalam malam.” Yang ditafsirkan oleh para sufi, “Allah memasukkan maksiat dalam ibadah, dan memasukkan ibadah dalam maksiat”?
Nabi Adam as, dan Hawa, ditakdirkan bersalah di syurga, karena memang Nabi, Rasul, Khalifah, serta Bapak Manusia itu harus diangkat ketika ada di muka bumi. Derajat Risalah dan Nubuwwah justru muncul paska dosa di syurga. Sebuah “rahasia Ilahi” yang sangat dramatis dan kelak menjadi pelajaran bagi anak cucu Adam itu sendiri. Bahwa, sebesar apa pun dosa seseorang, tidak boleh menghalangi prasangka baiknya (husnudzon) kepada Allah swt.

Rasanya sudah terlalu jenuh kita dicekoki oleh informasi yang paradoks dalam keseharian batin kita, tapi juga respon publik yang sangat konyol dan sombong. Kelak jika kondisi ini berlarut, akan muncul kegamangan yang membahayakan kejujuran hati kita. Luka-luka moral, bukannya disembuhkan, tetapi dibiarkan meradang agar ada kompensasi musuh bersama yang kekanak-kanakan seperti yang kita lihat selama ini.
Sudah terlalu lama kita kehilangan “hikmah”, bahkan kejujuran batin yang bercahaya. Jangan sampai kita terjebak pada arena, yang dihuni oleh para penjahat yang sedang berlomba membangun peradaban jahat tanpa sedikitpun merasa jahat, karena cahaya tak pernah muncul di kegelapannya.
Juga jangan terjebak pada arena terang benderang yang dihuni oleh orang yang merasa dirinya patuh pada Tuhannya, lalu membangun peradaban “cahaya” dari kegelapan keangkuhan spiritualnya.

by KH M. Luqman Hakim, MA dalam tarekat Syaziliyyah..  
 catatan nurfadhil al Alawi
#
#
Komentar  nurfadhil al Alawi.
Ketika terjadi sesuatu dalam kehidupan, merupakan rangkaian pemberian Rahmat & Ujian yang tampak berbeda-beda bagi tiap2 kita sesuai peran kita masing2. Bagi sang Pendosa datangnya Musibah tsb bisa dianggap sbg Azab namun dibaliknya ada Rahmat utk mnghapus dosa ... Lihat Selengkapnyatersebut yg mana bila baru di azab di akherat akan lebih berat & bisa mnjadi sarana bagi pendosa tersebut untuk makin dekat dengan-Nya.. tentunya bila ia lulus mnjalani ujian ini..

Bagi kita.. kita diuji untuk tetap berlaku Amar Ma'ruf Nahi Mungkar .. namun dlm penegakkannya Rasul mngjarkan bila mnyertakan kebencian maka yg harus kita benci adalah perbuatannya buka orangnya.. Selaku orang awam kita diuji untk mnjadikan hal tersebut pelajaran / hikmah untuk tdk mlakukan hal yg sama seraya berlindung kpd Allah dr dosa kita.. bagi aparat yg berwenang mereka ditakdirkan punya tanggung jawab untuk menegakkan hukum yg perlu kita dukung. Seorang Sufi memiliki peran untuk memandang suatu fenomena dalam kacamata Rahmat sedangkan Ahli Fiqh harus mmandangnya dr kacamata penegakkan syariah.. semua mmpunyai takdir memainkan peran masing2

Dengan demikian tidak bertolak belakang.. "Takdir" memiliki posisi yg berbeda bagi peran yg berbeda.. Hidup adalah panggung sandiwara

Mm.. kl ngebahas takdir ntar bisa panjang.. tentunya itu merupakan bagian Rahasia Ilahi.. kita musti berikhtiar memainkan peran kita masing2 sebaik mungkin seraya mengembalikan segala sesuatu & berserah diri kepada Allah.
dunia mmg panggung sandiwara, Taqdir Ciptaan Allah yg dgn KuasaNya mengkaitkan Taqdir yg 1 ke Taqdir yg lain berkesinambungan dalam suatu Urusan ttt yg Hanya Allah yg Tahu Rahasia di balik itu smua.kita hanya bs ambil Hikmahnya.
Dunia mmg panggung sandiwara, Taqdir Ciptaan Allah yg dgn KuasaNya mengkaitkan Taqdir yg 1 ke Taqdir yg lain berkesinambungan dalam suatu Urusan ttt yg Hanya Allah yg Tahu Rahasia di balik itu smua.kita hanya bs ambil Hikmahnya.

Tulisan Al-Hikam di atas dlm penafsiran ana bukan brarti Allah menetapkan / menakdirkan scr mutlak Ariel & Luna utk berbuat dosa, bgitu pula pnjahat, teroris dll.. krn Allah menetapkan/menakdirkan manusia (&jin) sbg makhluk yg memiliki pilihan atas hidupnya.. berbeda dgn pnakdiran bliau atas makhluk lain..

Yang ana pandang Allah memiliki......penetapkan/pntakdirkan scr kaidah hukum2 umum sebab akibat yg bila mana orang berbuat sesuatu akan mengakibatkan sesuatu.. dan orang tersebut hrs bertanggung jawab akan akibatnya.. penetapan akan kaidah tersebut dalam bhs teologis disebut Qadha.. yang mana bila telah terjadi, disebut Qadar.. yakni telah berlangsungnya sesuatu krn rangkaiannya penyebabnya sudah sempurna sesuai penetapan kaidah scara umum oleh-Nya..

Karena Allah menetapkan kaidah berdasarkan HIKMAH kebijaksanaan-Nya, sehingga apapun hasil yg terjadi tidak berada di luar penetapan kaidah-Nya, tdk di luar penetapan-Nya.. makanya para Sahabat (Ali&Umar) pernah mengatakan aq menghindari takdir dengan takdir..

Jadi ini berarti Allah tidak zalim menetapkan sesuatu secara spesifik & memaksa prbuatan dosa hamba-Nya..bila seperti maka akan sia-sialah kaidah ajaran agama dgn pahala & siksa krn semua bukan pilihan namun keterpaksaan.. namun segala sesuatu yg terjadi tidaklah lepas dari penetapan kaidah Ilahi secara adil.. Namun tetap pengetahuan Ilahi terjadi secara spesifik.. Allah Maha Tahu bahwa sebelum terjadinya sesuatu namun pengetahuan-Nya tersebut bukan brarti Ia punya andil "memaksa" perbuatan makhluknya .. sbg contoh Dokter tahu seorang pasien akan mninggal dlm 3 hari tp bukan brarti dokter tsb mnybabkan orang tsb mati..

Jadi bila orang memilih takdirnya mnjadi orang baik insya Allah takdirnya akan mmbawanya pada surga dan bila orang memilih takdir mnjadi orang jahat tanpa bertobat takdir akan membawanya pada neraka.. sedangkan pada pemilihan takdir dgn pertobatan, takdir akan membawanya pada ampunan dgn ganjaran yg biasanya terasa pedih namun akan membawa pada knikmatan pada akhirnya..

Artinya kita memiliki takdir utk memilih jd orang baik atw orang jahat.. kt sdh ditakdirkan dgn sistem yg mnghargai prbuatan baik & tetap menghukum prbuatan yg merugikan orang banyak.. tapi marilah kita jalankan takdir, jalankan pilihan kita lebih dengan dasar Kasih.. itulah mengapa kita diajarkan senantiasa mengucap basmalah dlm sgl aktifitas kita mnjalani & memilih takdir hidup kita

 betul siksa-Nya amat pedih .. tp Allah brfirman Rahmat-Ku mendului Murka-Ku.. sehingga senantiasa Murka, Ganjaran, Azab-Nya didasari oleh kebaikan-Nya.. Karena Kebaikan mnsyaratkan Keadilan sehingga perbuatan salah & Dosa yg besar tetap mndapatkan Ganjaran namun dilakukan atas dasar Kasih.. sehingga yg mlakukan tersadarkan, jera & berubah mnjadi lbh baik dll...Ini bukan brarti supaya kt tdk perlu takut akan dosa & siksa-Nya.. sgala sesuatu hrs pd tmpatnya.. namun spy kita mmiliki ksalahan kita masih punya optimisme positif & produktif untuk mmprbaiki ksalahan kita krn mngharap kasih & ampunan-Nya 
**
“Istirahatkan /bebaskan dirimu/fikiranmu daripada kerisauan mengatur sebab apa yang sudah dijamin/diselesaikan oleh selainmu, tidak usah engkau sibuk memikirkannya.” (Al-Hikam)

terjemahan lainnya “Istirahatkanlah dirimu dari mengatur urusan duniawi dengan susah payah. Karena, hal yang sudah diurus oleh selain engkau (yaitu Allah), maka tak perlu lagi kau turut mengurusnya..."

Jika Allah telah menyiapkan segalanya untuk kita di dunia ini maka kita tinggal "menjemput" nasib kita dengan berusaha seraya memasrahkannya kepada.. Allah apapun hasilnya. Sikap ini akan terlihat dari pola hidup yang kita jalani. Orang yang matang dalam menerima takdir ini akan senantiasa bersyukur terhadap karunia Allah. Ia akan selalu memper-barui rasa syukurnya. Penerimaan takdir ini juga tidak membuatnya apatis dan gampang menyerah karena dia tahu bahwa Allah menurunkan segala sesuatu dengan sebab. Allah yang mencipta sebab dan memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk melakukan sesuatu untuk menjemput sebab-sebab diturunkannya karunia dan pertolongan Allah. Pukulan tongkat Nabi Musa yang tak seberapa dijadikan Allah sebagai sebab turunnya pertolongan-Nya..

Jadi mengenai takdir di atas tdk brtentangan dgn usaha.
"Kemampuan untuk menunda insiden terjangkau"..

khtiar menjemput takdir adalah sikap zahir; pasrah, tawakal, ikhlas pd hasil takdir adalah sikap batin ..

****
Bahwa segala hal yang mengenai takdir haruslah dipandang dalam dimensi syariat maupun hakikatnya, yang keduanya harus berjalan beriring, tidak bisa dan tidak boleh hanya salah satu saja.

Dimensi syariat merupakan wilayah akal-pikiran-jasmani-fisik
dimana kita memiliki kebebasan penuh atau mempunyai pilihan apa... Lihat Selengkapnya pun untuk kita lakukan, karena kita tidak tahu pena takdir bergerakke mana. Sehingga apa pun yang kita lakukan memang harus kita rencanakan, kita strategikan, bagaimana caranya mendapatakan hasil yang terbaik.

Sedangkan dimensi hakikat merupakan wilayah hati, dimana sebenarnya tugasnya hati adalah hanya menyaksikan-Nya di segala sesuatu dan pada segala sesuati, sehingga hati tidak boleh resah atas segala hal yang terjadi karena hakikatnya semuanya adalah mutlak kehendak Allah.

Dari kasus Aril-Luna tersebut pun, secara syariat tetap harus dihukumi, bagaimana hukum ditegakkan, bagaimana kemerosotan akhlaq dan moral dapat semaksimal mungkin dieliminir, karena terungkapnya kasus tersebut bukankah seperti gunung es yang cumanterlihat puncaknya saja ? Padahal di seantero negeri ini hal tersebut sudah banyak terjadi.

Tetapi secara hakikat, seharusnya kita memandang memang itulah takdir Allah yang sedang berjalan sehingga kita bisa memandang secara arif [sebagaimana dalam pasal-pasal al-Hikam yang telah banyak diuraikan di atas], yang mungkin dalam bahasa kesadaran kita mengatakan, mungkin Ariel-Luna ditakdirkan Allah seperti itu dalam rangka lebih mendekatkan mereka kepada Allah, mungkin juga Allah menghendaki hal itu terkuak sebagai cermin kemunafikan diri kita masing-masing.

Syaikh Abu al-Abbas al-Mursi : Maksiat dalam ketaatan adalah manakala seorang hamba melakukan ketaatan tetapi kemudian membanggakan ketaatannya itu, mengagungkannya dan meremehkan orang yang dianggapnya tidak taat serta meminta balasan atas ketaatan yang dilakukannya. Ketaatan yang meliputi maksiat adalah manakala seorang hamba melakukan dosa tetapi dia segera kembali pada Allah, meminta ampunan-Nya, merendahkan diri dihadapan-Nya, dan memuliakan orang yang tidak mengerjakan dosa.

Dalam pandangan syariat, ketika seseorang berbuat dosa dan kemudian bertaubat, maka Allah akan mengampuni [berarti ampunan Allah tergantung pada taubatnya seseorang, padahal Allah merupakan sebab dari segala sebab-akibat], maka dalam pandangan hakikat, jika Allah berkehendak mengampuni seorang hamba maka Allah akan mengerakkan hati hamba itu untuk bertaubat [Allah sama sekali tidak bergantungdantergantung pada apa pun].

Karena itu, dalam segala hal syariat dan hakikat haruslah berjalan seiring dan agar bisa tertata dengan baik dalam diri seseorang dalam arti tidak bentrok antara akal dan hatinya, diperlukan bimbingan seorang Mursyid yang benar-benar mursyid yaitu yang berkualifikasi kamil dan mukammil.


***
Kita kembalikan kepada Allah,
Negara Kita bukan negara Islam,
Harap maklum bila Hukum yang ditegakkanpun kurang mengacu kepada Syari'at Islam.---pen



http://www.facebook.com/profile.php?id=1292199172#!/notes/nurfadhil-al-alawi-al-husaini/pandangan-teologis-sufistik-syaziliyyah-atas-fenomena-ariel-luna-maya-_/401396839855.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar