07 Februari 2010

HUKUM SUAMI YANG MEMUKUL ISTERINYA DAN MENGAMBIL HARTANYA DENGAN PAKSA

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum syari’at menurut anda tentang suami yang memukul isterinya dan mengambil hartanya dengan paksa serta memperlakukannya dengan perlakuan buruk?

Jawaban
Suami yang memukul isterinya, mengambil hartanya dengan paksa dan memperlakukannya dengan perlakuan yang buruk adalah orang yang berdosa dan maksiat terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, berdasarkan firman-Nya.

“Artinya : Dan bergaullah dengan mereka secara patut” [An-Nisa : 19]

Dan firman-Nya.

“Artinya : Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf” [Al-Baqarah : 228]

Seorang laki-laki tidak boleh memperlakukan isterinya dengan perilaku buruk seperti itu, sementara disisi lain ia menuntutnya untuk memperlakukan dirinya dengan baik. Sikap ini termasuk perbuatan zhalim yang tercakup dalam firman Allah Ta’ala.

“Artinya : Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain mereka mengurangi” [Al-Muthaffifin : 1-3]

Setiap orang yang meminta orang lain untuk memenuhi haknya dengan sempurna sementara ia sendiri tidak memberikan hak orang lain dengan sempurna, maka orang yang semacam ini termasuk golongan yang disebutkan dalam ayat tadi. Saya nasehatkan kepada orang tersebut dan yang seperti dia, agar bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam memperlakukan isteri, sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam khutbahnya di Arafah saat Haji Wada, yang mana saat itu beliau bersabda.

“Artinya : Bertakwalah kalian kepada Allah dalam memperlakukan wanita, karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan jaminan Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah” [HR Muslim, kitab Al-Hajj (1218)]

Saya katakan kepada orang tersebut dan yang seperti dia, bahwa hidup ini tidak mungkin akan bahagia kecuali jika masing-masing suami isteri saling bersikap bijaksana dan baik, berpaling dari keburukan dan menampakkan kebaikan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Artinya : Tidaklah seorang mukmin menghinakan seorang mukminah (isterinya) jika ia membenci suatu perilaku darinya ia pasti rela dengan perilaku yang lain darinya” [HR Muslim, kitab Ar-Radha (1469)]

[Dari fatwa-fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin, tertera tanda tangannya]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masail Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Albalad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]

Al manhaj.or.id


--------------------------------------------------------------------------------------------------------


Neng R :


pembahasan untuk kata 'memukul' wanita "

sebenarnya, pemukulan terhadap istri ada hukum syari'atnya.....suami tidak boleh ringan tangan melayangkan pemukulan karena ini sudah termasuk dalam katagori penganiayaan (KDRT _kekerasan dalam rumah tangga).

di al Qur'an (an Nisa' 34) Allah memberikan tuntunan sebagai berikut :

Perempuan-perempuan yang kamu khawatiri nusyuznya[1], maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka, dan pukulah mereka.”[2] Dalam ayat 34 surat An-Nisa’ di atas kata ‘idhribu hunna’ diartikan dengan dan pukulah mereka

kata ‘dharaba’ memiliki banyak arti. Al-Quran sendiri memakai kata ini dalam banyak pengertian seperti; membuat contoh dan permisalan,[QS. 14:24] bepergian,[4:94. ] membuat,[16:74] menutup,[24:31.] dan makna-makna lain yang disebut dalam kamus bahasa Arab. Sekalipun memiliki makna yang beragam namun kata ‘dharaba’ memiliki makna yang lebih sering digunakan yaitu memukul.

Sebelum mengkaji ayat di atas, kita perlu untuk melihat susunan secara umum dari ayat tersebut dan apa pesan yang dikandungnya. Al-Quran, dalam versi terjemahan Depag, hendak memberikan tuntutan bagaimana seorang suami memperlakukan istrinya bila dikhawatirkan akan melakukan pembangkangan terhadapnya atau melakukan perbuatan yang melanggar aturan-aturan agama maka yang harus dilakukan berdasarkan urutan adalah:
(1) Memberi nasihat, (2) Pisah ranjang, dan (3) Memukul

perhatikan urutannya, memberi nasihat dahulu (suami bisa memberikan tenggang waktu, misalnya selama 1 minggu / 1 bulan istri beri nasihat). untuk tenggang waktu ini, diserahkan kepada kebijakan suami.artinya adakan dialog dan nasihat /musyawarah dengan cara yang baik dan sopan terhadap istri....tidak dengan berbicara kasar/menghina/memojokkan...dalam hal ini suami dituntut untuk berbuat ma'ruf kepada istri. Allah sendiri ber firman kpd para suami, : "Dan bergaulah dengan mereka secara patut”.(4:19.)

bila poin yang pertama tidak mempan, artinya istri masih tidak menunjukkan ketaatan pada Allah swt, maka suami harus memakai cara yang ke 2 yaitu 'pisah rangjang'....maksud pisah ranjang disini, masih dalam 1 rumah suami mengambil jarak dengan istri....inipun ada waktu yang ditentukan oleh suami.....Terlihat di sini bahwa tahapan kedua ini lebih keras dari yang pertama

bila cara yang ke 2 sudah dilakukan namun istri tidak juga berubah menjadi sholih, maka boleh dilakukan cara yang terakhir, yaitu 'idhribu hunna’
pukulah mereka....

pembahasan
Ada satu makna lain untuk kata ‘dharaba’ seperti yang disebutkan dalam kamus Al-Munjid yang berarti berpisah

Terlihat di sini bahwa tahapan kedua ini lebih keras dari yang pertama Ada satu makna lain untuk kata ‘dharaba’ seperti yang disebutkan dalam kamus Al-Munjid yang berarti berpisah. Dan satu makna lain yang lebih tepat untuk ayat ini adalah membiarkan dan tidak memperhatikan .

Bila makna ini yang kita ambil untuk memaknai ayat Al-Quran surat An-Nisa’ di atas akan lebih sesuai dengan tahapan untuk memperbaiki istri. Setelah dinasihati maka yang perlu dilakukan adalah pisah ranjang untuk sementara waktu dan bila masih juga terjadi pembangkangan yang perlu dilakukan seorang suami adalah membiarkan dan tidak menyapa istrinya agar sadar bahwa apa yang dilakukannya sangat tidak disukai oleh suaminya. Di sini, pada langkah ketiga di mana suami mencoba untuk tidak melakukan hubungan dengan istrinya secara total, istri akan merasa bahwa ia sudah betul-betul tidak diperhatikan lagi sebagai salah satu anggota keluarga. Dengan ini diharapkan bahwa sang istri kembali sadar dengan tanggung jawabnya selaku istri.

Pemaknaan ayat 34 surat An-Nisa’ dengan yang dijelaskan di atas akan lebih sesuai dengan ayat lain dari surat An-nisa’ yang berbunyi, “Dan bergaulah dengan mereka secara patut”
( 4:19.)

Bahwa cara yang dilakukan dengan mendiamkan istri dan tidak memperhatikannya akan lebih tepat disebut pergaulan yang ma’ruf dan patut.

Di sisi lain, bila dimaknai dengan memukul maka akan memberikan pembenaran kepada setiap suami untuk melakukan penganiayaan kepada istrinya dengan sedikit kesalahan yang diperbuat. Ditambahkan lagi kurangnya perlindungan terhadap hak-hak perempuan dan bila pemukulan dilakukan di dalam rumah membuat semakin sulit melakukan pembelaan terhadap hak-hak istri.

Sementara itu, dalam buku-buku fikih dijelaskan bahwa bila pemukulan dilakukan hingga menimbulkan bekas, maka pemukulan yang semacam ini dilarang bahkan dapat diadukan ke pengadilan. Dan bila itu benar, tentunya sang suami akan didenda dan diqisas terhadap perilakunya.

Ada sebuah hadis yang menarik dan dapat dipakai untuk memaknai kata ‘dharaba’ dalam ayat tanpa mengartikannya dengan memukul. Namun mengacuhkan istri dengan tidak memberikan nafkah lahiriah. Setelah pada tahap sebelumnya telah mengacuhkannya dengan pisah ranjang. Rasululah saw bersabda, ‘Aku heran terhadap seorang yang memukul istrinya. Dialah yang semestinya lebih layak untuk dipukul. Jangan kalian memukul istri kalian dengan kayu karena akibatnya adalah kalian akan diqisas. Kalian dapat memutuskan untuk tidak memberikan istri kalian nafkah sehari-harinya. Perbuatan lebih bermanfaat bagi kalian di dunia dan di akhirat’.[Mirza An-Nuri, Mustadrak Al-Wasail, jilid 14, hal 250, cetakan Muassasah Alul Bayt. Al-Majlisi, Bihar Al-Anwar, jilid 103, hal249, hadis ke 38, cetakan Teheran] dan

[Hadis ini menurut para ilmuwan hadis dan rijal dianggap dapat dipercaya (muwatssaq) bahkan oleh sebagian yang lain menyebutnya sahih. Dengan demikian hadis-hadis yang menyebutkan memukul perempuan dengan ungkapan ‘Al-Madhrab bis Siwak’ yang berarti memukul dengan kayu siwak menjadi lemah.Pertama dari sisi sanad karena hanya diriwayatkan oleh At-Thabarsi dalam bukunya Majma’ Al-Bayan. Dan yang kedua, dari sisi matan. Hal ini dikarenakan ulama ketika sampai pada hadis-hadis seperti ini kemudian memberikan penafsiran lain tidak seperti apa adanya.Seperti disebutkan oleh Syahid Ats-Tsani bahwa yang dimaksud memiliki hikmah berhubungan seks karena memukul sangat tidak mendidik. Begitu juga Marhum Al-Bahrani dalam bukunya Al-Hadaiq, jilid 24, hal 617]

Dalam hadis di atas ternyata Nabi Muhammad saw tidak memperbolehkan kepada seorang suami untuk memukul istrinya dan malah menggantikannya dengan tidak memberikan nafkah sehari-harinya. Karena dari satu sisi, dapat menahan dan memperbaiki perilaku istri dan yang lebih penting lagi adalah tanggung jawab di hadapan Alah nantinya lebih ringan.
Seandainya kita bersikeras untuk tetap memaknai kata ‘dharabu’ dengan arti memukul maka yang perlu diketahui bahwa itu tidak wajib. Memukul istri bukan sebuah kewajiban ketika tahapan kedua telah dilalui. Mengapa demikian? Karena setidak-tidaknya Nabi memberikan satu contoh lain memperlakukan istri dengan tidak memberikan nafkah sehari-harinya. Artinya, makna memukul bukan satu-satunya makna yang dimiliki oleh kata ‘dharabu’ dalam ayat 34 surat An-Nisa’ di atas. Sangat mungkin sekali bahwa pada suatu kesempatan untuk mengembalikan istri ke pangkuan suami dengan cara memukul dan pada suatu kesempatan lain dengan tidak memberikan nafkah sehari-harinya atau mengacuhkannya.


Rujukan:
[1] . Nusyuz: yaitu meninggalkan kewajiban bersuami istri. Nusyuz dari pihak istri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya. (makna ini dari Depag sendiri. –pen)

[2] . Terjemahan ini diambil dari terjemahan DEPAG dalam Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Quran Dept. Agama RI Pelita V/Tahun III/1986/1987. Dicetak oleh PT. Serajanya Santra.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Nasihat Seorang Ulama dalam Menghadapi Suami yang Kasar

KIRIMAN DARI :
Akhwain -Sahab Dan Raihanah

Para istri yang menerima perlakuan kasar dari suami mereka mungkin bertanya-tanya, bagaimana menghadapi suami mereka yang tipenya demikian. Sebagaimana pertanyaan yang pernah diajukan seorang wanita kepada seorang ‘alim rabbani, Syaikh yang mulia Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullahu yang waktu itu menjabat sebagai mufti kerajaan Saudi Arabia.

Sang wanita mengadu, “Suami saya tidak menaruh perhatian kepada saya di dalam rumah. Ia selalu bermuka masam lagi sempit dada. Katanya, sayalah yang menjadi penyebabnya. Padahal Allah -segala puji bagi-Nya- mengetahui bagaimana keadaan saya yang sebenarnya. Saya selalu menunaikan haknya dan senantiasa berupaya mempersembahkan untuknya segala kenyamanan dan ketenangan, serta menjauhkan darinya segala yang tidak disukainya. Saya juga menyabari tindak tanduknya yang kaku lagi kasar. Setiap saya bertanya kepadanya tentang sesuatu atau mengajaknya bicara satu hal, ia murka dan mendidih kemarahannya. Ia mengomentari bahwa omongan saya itu tidak ada artinya, ucapan orang yang pandir dan dungu. Padahal suami saya ini selalu berseri-seri wajahnya bila bersama kawan-kawannya. Tapi kalau bersama saya, tak pernah saya dapati darinya kecuali ucapan yang menjelekkan dan pergaulan yang buruk. Sungguh saya sakit menerima semua ini darinya. Dan ia banyak menyiksa saya, sehingga membuat saya beberapa kali berniat meninggalkan rumah. Saya sendiri adalah seorang wanita yang alhamdulillah menunaikan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan kepada saya.

Syaikh yang mulia, apakah saya berdosa bila meninggalkan rumah suami saya bersama anak-anak saya, kemudian menyibukkan diri mendidik anak-anak saya dan menanggung sendiri beban kehidupan ini? Ataukah saya harus tetap tinggal bersamanya dalam keadaan yang seperti ini, menahan diri (berpuasa) dari berbicara dengannya, dan dari menyertai serta ikut merasakan permasalahan-permasalahannya? Berilah fatwa kepada saya, apa yang harus saya lakukan. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas anda dengan kebaikan.”

Syaikh yang mulia rahimahullahu menasihatkan,
“Tidaklah diragukan bahwa wajib bagi suami istri untuk bergaul dengan ma’ruf, saling memberikan kecintaan, dan bergaul dengan akhlak yang utama, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

“Bergaullah kalian (wahai para suami) dengan mereka (para istri) dengan ma’ruf.” (An-Nisa`: 19)

Dan juga firman-Nya:

وَبُعُوْلَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاَحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ

“Mereka (para istri) memiliki hak yang seimbang dengan kewajiban mereka dengan cara yang ma’ruf, dan para suami memiliki kelebihan satu tingkat di atas mereka.” (Al-Baqarah: 228)

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ

“Kebaikan itu adalah akhlak yang baik.” (HR. Muslim)

Demikian pula sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوْفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلِقٍ

“Jangan sekali-kali engkau meremehkan perbuatan baik sedikitpun, walaupun hanya berupa memberikan wajah yang manis saat berjumpa dengan saudaramu.” (HR. Muslim)

Dan ucapan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لِأَهْلِي

“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya. Dan aku adalah orang yang terbaik di antara kalian terhadap keluargaku.”10

Masih banyak lagi hadits-hadits yang berisi hasungan untuk berakhlak yang baik, berjumpa dengan wajah yang cerah dan bergaul yang baik di antara kaum muslimin secara umum. Tentunya, lebih utama lagi pergaulan antara suami istri dan dengan karib kerabat.

Sungguh anda telah melakukan perkara yang baik dengan kesabaran dan ketabahan anda dalam menanggung kekakuan dan jeleknya akhlak suami anda. Saya pesankan kepada anda untuk terus menambah kesabaran dan jangan meninggalkan rumah suami anda. Karena dengan terus bertahan dalam kesabaran Insya Allah ada kebaikan yang besar dan akhir yang baik, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَاصْبِرُوْا إِنَّ اللهَ مَعَ الصَّابِرِيْنَ

“Bersabarlah kalian karena sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (Al-Anfal: 46)

إِنَّهُ مَنْ يَتَّقِ وَيَصْبِرْ فَإِنَّ اللهَ لاَ يُضِيْعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِيْنَ

“Sesungguhnya siapa yang bertakwa dan bersabar maka sungguh Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (Yusuf: 90)

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُوْنَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Hanyalah orang-orang yang bersabar itu diberikan pahala mereka tanpa batasan.” (Az-Zumar: 10)

فَاصْبِرْ إِنَّ الْعَاقِبَةَ لِلْمُتَّقِيْنَ

“Bersabarlah engkau, sesungguhnya akhir/kesudahan yang baik itu diperuntukkan bagi orang-orang yang bertakwa.” (Hud: 49)

Tidak ada larangan bagi anda untuk mengajaknya bercanda dan berbincang dengan menggunakan kata-kata yang bisa melunakkan hatinya. Yang menyebabkannya senang kepada anda dan membuatnya menyadari hak anda terhadapnya.

Tidak usah anda menuntut kebutuhan-kebutuhan duniawi kepadanya selama ia masih menegakkan perkara-perkara penting yang wajib. Sehingga hatinya menjadi lapang dan dadanya menjadi luas dari menghadapi tuntutan-tuntutan anda. Anda akan mendapatkan akhir/kesudahan yang baik Insya Allah.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi taufik kepada anda agar memberi anda tambahan seluruh kebaikan. Dan semoga Dia memperbaiki keadaan suami anda, memberinya ilham kepada kelurusan dan menganugerahinya akhlak yang baik serta penuh perhatian terhadap hak-hak yang ada. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah sebaik-baik Dzat yang diminta, dan Dia memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Al-Fatawa, Kitab Ad-Da’awat, 1/193-195)

Demikian nasihat dari seorang ulama kepada istri yang menerima sikap kasar dari suami. Maka bersabarlah dan terus bersabar, disertai doa kepada Ar-Rahman…! Sungguh kesudahan yang baik akan anda raih dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

(dicopy dari catatan Al-akh Abu Abdirrohman Al Muwahid)

2 komentar:

  1. tolong tulisan tulisan bermutu ditambah. trima kasih atas infonya

    BalasHapus
  2. Indah sekali tulisannya...InsyaAllah saya akan berjuang untuk bertahan demi akhirat saya...Barakallah...

    BalasHapus