Di kalangan media-media Yahudi telah lama dikenal prinsip, “Ulang-ulangilah terus kesalahan, maka ia lama-lama akan diterima sebagai kebenaran.” Jadi kebenaran itu diterima bukan karena SUBSTANSI-nya memang benar, tetapi karena ia dipaksakan untuk diterima akal manusia, melalui ekspose media yang tak kenal henti.
Hal yang sama terjadi pada diri Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dilihat dari berbagai sisi, sebenarnya tokoh ini tidak terlalu istimewa.
Masih banyak tokoh yang lebih baik dari dirinya. Namun karena rekayasa media yang luar biasa, akhirnya ia tampil seperti tokoh “SUPERMAN” yang penuh keistimewaan, dan tidak pernah melakukan kesalahan sedikit pun. Kalau seseorang menemukan kesalahan pada tokoh satu ini, dia segera dibentak keras, “Hai, lihat mata kamu! Bukan dia yang salah, tapi mata kamu rabun. Tahu?”
Nah, disinilah kita bisa merasakan betapa hebatnya peranan orang-orang Freemasonry dalam membentuk opini. Mereka benar-benar mengendalikan media massa, terutama media-media TV, sehingga yang keluar dari media itu isinya hanya pujian, kekaguman, fantasi, obsesi yang bersifat mengagung-agungkan tokoh itu.
Sedikit perlu disini dibuka data-data menyangkut kiprah Gus Dur di masa lalu:
Kalau melihat MetroTV, media ini tampak sangat komit dengan nilai-nilai pembelajaran sikap kritis masyarakat. Slogannya saja, Be Smart Be Informed! Tapi ketika bicara tentang Gus Dur, mereka terus mengulang-ulang klaimnya, bahwa Gus Dur itu bapak bangsa, tokoh demokrasi, tokoh pluralisme, tokoh humanisme, dan sebagainya.
Ya, sebagai mantan Presiden RI, secara sosial mungkin Gus Dur memiliki hak-hak untuk diperlakukan oleh negara secara terhormat. Sama ketika bangsa ini waktu itu memperlakukan Soeharto.
Tapi masalahnya, pemberitaan-pemberitaan media itu sudah mengarah ke “kultus individu”, mengagung-agungkan Gus Dur melebihi kepantasan. Mereka kemukakan segala opini indah seputar Gus Dur, tetapi mereka lupa dengan fakta-fakta lain yang seharusnya tidak disembunyikan. Ketika Soeharto meninggal, banyak media-media tetap mengkritisi Soeharto. Mereka buka juga data-data kekeliruan Soeharto. Ketika Gus Dur meninggal, semua seakan sepakat untuk mengangkat Gus Dur tinggi-tinggi, ke derajat kultus individu.
Disana sangat tampak betapa OPORTUNIS-nya media-media itu. Mereka tidak mau melihat masyarakat kecil di bawah mengagung-agungkan manusia dengan cara tidak rasional. Tetapi mereka juga yang membuat masyarakat bersikap seperti itu. Laa haula wa laa quwwata illa billah.
Sesungguhnya, FAKTOR BESAR yang membuat bangsa Indonesia di jaman sekarang ini semakin sakit, hidup susah, menderita, adalah peranan media-media massa, terutama media TV. Hari ini kita teriak-teriak, “Awas liberalisasi, awas liberalisasi, awas liberalisasi!!!” Padahal ujung tombak liberalisasi adalah media-media itu sendiri.
Kita sama-sama sudah tahu kenyataan di lapangan. Selama puluhan tahun, sejak tahun 80-an, media-media massa rajin mengangkat pamor Gus Dur. Dari semua pemimpin NU yang menjadi tokoh nasional, hanya Gus Dur satu-satunya yang amat sangat DICINTAI media-media massa. Bahkan nama kakek Gus Dur sendiri, pendiri NU, almarhum KH. Hasyim Asyari, beliau tidak seterkenal Gus Dur.
Kalau melihat kemampuan Gus Dur dari sisi ilmu keagamaan, menurut pandangan NU, dia bukan tokoh yang alim ilmu agama. Gus Dur itu tidak pernah menulis buku agama, seperti ibadah, akidah, akhlak, bahasa Arab, tarikh Islam, dan lain-lain. Kalau Gus Dur ceramah, jangan membahas dalil-dalil Al Qur’an dan As Sunnah. Dia jarang mengucapkan “Allah Subhanahu Wa Ta’ala”, atau “Rasulullah shallallah ‘alaihi wassallam”, dan semisalnya. Dia jarang ikut dalam forum-forum keilmuwan Islam.
Gus Dur itu lebih banyak bicara politik, isu sosial, demokrasi, humor, kebudayaan, dan sebagainya. Citra dia sebagai seorang tokoh keagamaan Islam, tidak nampak. Bahkan isteri dan anak-anaknya juga tidak ada yang mengenakan jilbab, selain kerudung penutup kepala.
Banyak orang mengelu-elukan dirinya dengan berbagai pujian yang berlebihan. Seorang pemuda NU di Malang, pernah bicara kepada saya. Katanya, Gus Dur itu bisa membaca isi hati seseorang. Kalau Gus Dur mengatakan “anjing” ke seseorang, besar kemungkinan sifat orang itu seperti “anjing” juga.
Ya, semua ini hanya sebagai tambahan saja, bahwa upaya mengagung-agungkan Gus Dur adalah tidak tepat. Okelah, menghormati dia sebagai mantan Presiden RI, secara wajar, tidak masalah. Wong, itu memang hak baginya. Tapi menganggap dia dengan sebutan-sebutan berlebihan, apalagi sebagai “pahlawan nasional”, ini terlalu berlebihan. Pahlawan apa, Pak? Darimana parameternya?
Kasihan sekali almarhum Buya Muhammad Natsir. Beliau jelas-jelas sangat berjasa bagi bangsa Indonesia, berjasa bagi Ummat Islam Indonesia, bahkan berjasa bagi Dunia Islam. Tapi lihatlah, betapa amat lambatnya negara ini mengakui kepahlawanan beliau. Lalu Gus Dur, akankah secepat kilat menjadi “pahlawan nasional”, ketika tanah pusaranya sendiri masih memerah? Laa haula wa laa quwwata illa billah.
sumber :
Hal yang sama terjadi pada diri Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dilihat dari berbagai sisi, sebenarnya tokoh ini tidak terlalu istimewa.
Masih banyak tokoh yang lebih baik dari dirinya. Namun karena rekayasa media yang luar biasa, akhirnya ia tampil seperti tokoh “SUPERMAN” yang penuh keistimewaan, dan tidak pernah melakukan kesalahan sedikit pun. Kalau seseorang menemukan kesalahan pada tokoh satu ini, dia segera dibentak keras, “Hai, lihat mata kamu! Bukan dia yang salah, tapi mata kamu rabun. Tahu?”
Nah, disinilah kita bisa merasakan betapa hebatnya peranan orang-orang Freemasonry dalam membentuk opini. Mereka benar-benar mengendalikan media massa, terutama media-media TV, sehingga yang keluar dari media itu isinya hanya pujian, kekaguman, fantasi, obsesi yang bersifat mengagung-agungkan tokoh itu.
Sedikit perlu disini dibuka data-data menyangkut kiprah Gus Dur di masa lalu:
[=] Ketika tahun 1984 terjadi pembantaian berdarah pemuda-pemuda Islam di Tanjung Priok. Itu adalah buntut dari rencana Soeharto untuk memaksakan Pancasila sebagai Azas Tunggal. Pasca pembantaian itu, LB. Moerdani dan Try Soetrisno menjadi perhatian besar Ummat Islam, sebab mereka berdua adalah pejabat militer yang paling bertanggung-jawab terhadap Tragedi Priok tersebut. Lalu Gus Dur mengajak LB. Moerdani keliling pesantren-pesantren untuk meyakinkan pesantren bahwa tindakan militer dalam tragedi itu sudah benar. (Inilah salah satu bukti, bahwa Gus Dur seorang humanis, karena dia menyayangi LB. Moerdani, dan melupakan ratusan korban Priok dan keluarga mereka).Dari semua ini jelas tampak, bahwa besarnya Gus Dur itu karena “DIBESARKAN” oleh media-media massa. Samalah, seperti media massa membesarkan orang-orang seperti Tukul Arwana, Komeng, Aming, Demi Persik, Inul, dan sebagainya. Mereka bukanlah orang-orang yang memiliki moralitas baik, menurut Syariat Islam. Tetapi media-media massa memaksakan diri mereka menjadi “PANUTAN MASYARAKAT”.
[=] Gus Dur ini pernah menjadi anggota MPR dari Golkar, ketika Soeharto masih dekat dengan Moerdani CS. Tetapi ketika Soeharto dekat Habibie dan ICMI, Gus Dur mulai menjadi tokoh oposisi. Dia sangat tidak mau masuk ICMI, dan rela membentuk Fordem (Forum Demokrasi). Alasan dia ketika itu, ICMI cenderung sektarian. Tapi fakta sejarah tetap tercatat, bahwa Gus Dur pernah mendapat gaji karena menjadi anggota MPR dari Golkar.
[=] Gus Dur disebut-sebut sebagai tokoh demokrasi. Benarkah? Tahun 1999 Gus Dur mau saja menjadi Presiden RI, padahal ketika itu PKB bukanlah pengumpul suara terbanyak. Suara terbanyak ada di tangan PDIP, lalu Golkar. Kalau dia demokrat sejati pasti malu menjadi presiden. Ketika menjadi Presiden, Gus Dur pernah menghina lembaga DPR, dengan kata-kata, “Seperti anak TK.” Bahkan dia pernah mengatakan “Prek!” yang bernada menghina forum DPR. Lalu dia pernah hendak memberlakukan Dekrit Presiden, dibantu Prof. Harun Al Rasyid. Bahkan Gus Dur membiarkan saja para pengikutnya di Pasuruan dan lain tempat melakukan intimidasi-intimidasi, untuk menghalangi gerakan politik yang menuntut dirinya mundur. Saya masih ingat ancaman yang pernah diucapkan “PROFESOR DOKTOR KYAI HAJI” Sa’id Agil Siraj, ketika dia membela Gus Dur. Kata dia waktu, “Warga Nahdhiyin di bawah, sudah pada mengasah golok.” Itu untuk mengintimidasi siapapun yang hendak menjatuhkan Gus Dur. Bahkan meskipun Gus Dur sudah tidak menjadi Presiden lagi, dia tetap menyalahkan mekanisme Sidang Istimewa (SI) yang buahnya menjatuhkan dia dari kursi kepemimpinan RI. Itu tandanya, bahwa dia tidak legowo dengan aturan Parlemen.
[=] Pasca kerusuhan Ambon, tahun 1999, Gus Dur membuat pernyataan sangat melukai Ummat Islam. Kata dia, korban kerusuhan itu paling hanya 5 orang saja. Masya Allah, kalau hanya 5 orang, tidak perlu menjadi TRAGEDI yang sampai saat ini lukanya masih berbekas di hati-hati masyarakat disana. Ini menjadi bukti, bahwa seorang Gus Dur adalah tokoh “humanis” yang “bijaksana”.
[=] Ketika berlangsung Mukmatar NU di Tasikmalaya (di pesantren KH. Ilyas Ruchiyat), dalam pencalonan kandidat Ketua PBNU, Gus Dur ditantang oleh Abu Hasan. Abu Hasan ini tadinya tokoh yang loyal dan dipuji oleh Gus Dur. Tetapi ketika dia menjadi penantang Gus Dur menuju kursi Ketua PBNU, Gus Dur menghembuskan fitnah yang tidak pantas. Katanya, Abu Hasan terlibat korupsi sekian sekian miliar. Ini lagi-lagi menjadi bukti bahwa Gus Dur adalah seorang “demokrat” sejati.
[=] Pasca kerusuhan Mei 1998, Soeharto mengundurkan diri dari jabatan Presiden RI. Setelah Soeharto lengser, tiba-tiba media massa mengangkat Amien Rais, Megawati, Gus Dur, dan Sultan Hamengku Boewono sebagai “4 sekawan tokoh Reformasi”. Kalau Amien Rais bisa dimaklumi didaulat sebagai tokoh Reformasi, sebab sejak tahun 90-an dia sudah kritis kepada Soeharto. Tetapi mengangkat Gus Dur sebagai tokoh Reformasi adalah sangat aneh. Bagaimana tidak? Sebelum terjadi kerusuhan Mei, Gus Dur diundang Soeharto bersama 8 tokoh lain, untuk membicarakan konsep Reformasi. Setelah pertemuan itu, Gus Dur menyerukan kepada mahasiswa agar mereka menghentikan demonstrasi-demonstrasinya. Tapi himbauan Gus Dur tak diindahkan mahasiswa.
[=] Banyak tokoh-tokoh yang semula sangat loyal dan mendukung penuh Gus Dur, tapi lama-lama mental, dan memilih berseberangan dengan Gus Dur. Di antara mereka Abu Hasan, Matori Abdul Jalil, Alwi Shihab, Khofifah Indar Parawansa, Muhaimin Iskandar, Lukman Edi, dan lainnya. Kalau kita berseberangan dengan Gus Dur, mungkin bisa dimaklumi. Tapi kalau kader-kader terbaik Gus Dur sendiri berseberangan, dan itu bukan satu atau dua orang, jelas sangat aneh. Apalagi Muhaimin Iskandar yang disebut-sebut sebagai “anak ideologis” Gus Dur. Hal ini menjadi bukti bahwa Gus Dur layak disebut “bapak bangsa” karena selalu “mengayomi” kader-kadernya.
[=] Dan fakta-fakta lain.
Kalau melihat MetroTV, media ini tampak sangat komit dengan nilai-nilai pembelajaran sikap kritis masyarakat. Slogannya saja, Be Smart Be Informed! Tapi ketika bicara tentang Gus Dur, mereka terus mengulang-ulang klaimnya, bahwa Gus Dur itu bapak bangsa, tokoh demokrasi, tokoh pluralisme, tokoh humanisme, dan sebagainya.
Ya, sebagai mantan Presiden RI, secara sosial mungkin Gus Dur memiliki hak-hak untuk diperlakukan oleh negara secara terhormat. Sama ketika bangsa ini waktu itu memperlakukan Soeharto.
Tapi masalahnya, pemberitaan-pemberitaan media itu sudah mengarah ke “kultus individu”, mengagung-agungkan Gus Dur melebihi kepantasan. Mereka kemukakan segala opini indah seputar Gus Dur, tetapi mereka lupa dengan fakta-fakta lain yang seharusnya tidak disembunyikan. Ketika Soeharto meninggal, banyak media-media tetap mengkritisi Soeharto. Mereka buka juga data-data kekeliruan Soeharto. Ketika Gus Dur meninggal, semua seakan sepakat untuk mengangkat Gus Dur tinggi-tinggi, ke derajat kultus individu.
Disana sangat tampak betapa OPORTUNIS-nya media-media itu. Mereka tidak mau melihat masyarakat kecil di bawah mengagung-agungkan manusia dengan cara tidak rasional. Tetapi mereka juga yang membuat masyarakat bersikap seperti itu. Laa haula wa laa quwwata illa billah.
Sesungguhnya, FAKTOR BESAR yang membuat bangsa Indonesia di jaman sekarang ini semakin sakit, hidup susah, menderita, adalah peranan media-media massa, terutama media TV. Hari ini kita teriak-teriak, “Awas liberalisasi, awas liberalisasi, awas liberalisasi!!!” Padahal ujung tombak liberalisasi adalah media-media itu sendiri.
Kita sama-sama sudah tahu kenyataan di lapangan. Selama puluhan tahun, sejak tahun 80-an, media-media massa rajin mengangkat pamor Gus Dur. Dari semua pemimpin NU yang menjadi tokoh nasional, hanya Gus Dur satu-satunya yang amat sangat DICINTAI media-media massa. Bahkan nama kakek Gus Dur sendiri, pendiri NU, almarhum KH. Hasyim Asyari, beliau tidak seterkenal Gus Dur.
Kalau melihat kemampuan Gus Dur dari sisi ilmu keagamaan, menurut pandangan NU, dia bukan tokoh yang alim ilmu agama. Gus Dur itu tidak pernah menulis buku agama, seperti ibadah, akidah, akhlak, bahasa Arab, tarikh Islam, dan lain-lain. Kalau Gus Dur ceramah, jangan membahas dalil-dalil Al Qur’an dan As Sunnah. Dia jarang mengucapkan “Allah Subhanahu Wa Ta’ala”, atau “Rasulullah shallallah ‘alaihi wassallam”, dan semisalnya. Dia jarang ikut dalam forum-forum keilmuwan Islam.
Gus Dur itu lebih banyak bicara politik, isu sosial, demokrasi, humor, kebudayaan, dan sebagainya. Citra dia sebagai seorang tokoh keagamaan Islam, tidak nampak. Bahkan isteri dan anak-anaknya juga tidak ada yang mengenakan jilbab, selain kerudung penutup kepala.
Banyak orang mengelu-elukan dirinya dengan berbagai pujian yang berlebihan. Seorang pemuda NU di Malang, pernah bicara kepada saya. Katanya, Gus Dur itu bisa membaca isi hati seseorang. Kalau Gus Dur mengatakan “anjing” ke seseorang, besar kemungkinan sifat orang itu seperti “anjing” juga.
Ya, semua ini hanya sebagai tambahan saja, bahwa upaya mengagung-agungkan Gus Dur adalah tidak tepat. Okelah, menghormati dia sebagai mantan Presiden RI, secara wajar, tidak masalah. Wong, itu memang hak baginya. Tapi menganggap dia dengan sebutan-sebutan berlebihan, apalagi sebagai “pahlawan nasional”, ini terlalu berlebihan. Pahlawan apa, Pak? Darimana parameternya?
Kasihan sekali almarhum Buya Muhammad Natsir. Beliau jelas-jelas sangat berjasa bagi bangsa Indonesia, berjasa bagi Ummat Islam Indonesia, bahkan berjasa bagi Dunia Islam. Tapi lihatlah, betapa amat lambatnya negara ini mengakui kepahlawanan beliau. Lalu Gus Dur, akankah secepat kilat menjadi “pahlawan nasional”, ketika tanah pusaranya sendiri masih memerah? Laa haula wa laa quwwata illa billah.
sumber :
http://abisyakir.wordpress.comAMW.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar