Mencabut Uban
Dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, katanya:
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن نتف الشيب، وقال ((هو نور المؤمن)).
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang mencabut uban,” dan katanya: “Itu adalah cahaya bagi seorang mu’min.” (HR. Ibnu Majah No. 3721, Syaikh Al Albani mengatakan Hasan Shahih, dalam Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 3721)
Dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, katanya: “Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
"لاتنتفوا الشيب ما من مسلمٍ يشيب شيبةً في الإِسلام" قال عن سفيان "إلاَّ كانت له نوراً يوم القيامة" وقال في حديث يحيى "إلا كتب اللّه [تعالى وجل] له بها حسنةً وحطَّ عنه بها خطيئةً".
“Janganlah kalian mencabut uban, tidaklah seorang muslim beruban di dalam Islam.” (Beliau bersabda, dari Sufyan): “Melainkan baginya cahaya di hari kiamat nanti.” (Dia bersabda dalam hadits Yahya): “melainkan Allah Ta’ala catat baginya satu kebaikan dan menghapuskan untuknya satu kesalahan.” (HR. Abu Daud No. 4202, Syaikh Al Albani mengatakan Hasan Shahih, dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 4202. Lihat juga Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 14605)
Dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya:
"أن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن نتف الشيب وقال إنه نور المسلم". هذا حديث حسن وقد رواه عبد الرحمن بن الحارث وغير واحد عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده
“Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang mencabut uban, dan bersabda: bahwa itu adalah cahaya bagi seorang muslim.” (HR. At Tirmidzi No. 2975, katanya: Hadits ini hasan. Abdurrahman bin Al Harits dan selain dari satu orang telah meriwayatkannya dari Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 14604. Syaikh Al Albani mengatakan Shahih, dalam Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2821)
Syarah Hadits:
Hadits-hadits di atas secara zahir menunjukkan larangan mencabut uban, dan hukum dasar dari larangan menunjukkan haram. Berkata Syaikh Abdul Muhsin Hamd Al ‘Abbad Al Badr Hafizhahullah:
فهذا يدل على منع أو تحريم نتف الشيب
“Maka, ini menunjukkan larangan atau keharaman mencabut uban.” (Syarh Sunan Abi Daud No. 472. Maktabah Al Miyskah)
Tetapi, tertulis dalam berbagai kitab tentang riwayat dari Ibnu Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu:
عن عبد الله بن مسعود أن نبي الله صلى الله عليه وسلم كان يكره الصفرة يعني الخلوق وتغيير الشيب يعني نتف الشيب وجر الإزار والتختم بالذهب…
Dari Abdullah bin Mas’ud, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memakruhkan shafrah yakni wangi-wangian, merubah uban yakni mencabutnya, menjulurkan kain, dan memakai cincin emas …” (HR. Abu Daud No. 4222, An Nasa’i No. 5088, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 15464)
Keterangan dari Ibnu Mas’ud ini menyebutkan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ‘hanya’ memakruhkan mencabut uban. Tetapi hadits ini memiliki redaksi yang musykil sebab menyebutkan bahwa memakai cincin emas (buat laki-laki) adalah makruh, padahal telah ijma’ (konsensus) bahwa cincin emas adalah haram untuk laki-laki, bukan makruh. Dan, secara sanad hadits ini pun munkar (Lihat Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud, No. 4222), oleh karena itu menurut para ulama, hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah kemakruhannya. Maka, mesti kembali kepada hukum asal larangan yaitu haram.
Namun, ada dalil lain yang menunjukkan kemakruhannya, Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu mengatakan:
يكره أن ينتف الرجل الشعرة البيضاء من رأسه ولحيته.
“Dimakruhkan bagi seorang laki-laki mencabut rambut kepalanya yang memutih dan juga janggutnya.” (HR. Muslim No. 2341, Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 14593)
Apa yang dikatakan Anas bin Malik ini menjadi dalil yang kuat makruhnya mencabut uban baik di kepala atau di janggut. Dan, ini menjadi pendapat madzhab Syafi’i dan Maliki bahwa mencabut uban adalah makruh, tidak haram. Inilah pandangan yang lebih kuat. Wallahu A’lam
Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:
قَالَ أَصْحَابنَا وَأَصْحَاب مَالِك : يُكْرَه وَلَا يَحْرُم .
“Sahabat-sahabat kami (syafi’iyah) dan sahabat-sahabat Malik (Malikiyah) mengatakan: dimakruhkan, dan tidak diharamkan.” (Al Minhaj Syah Shahih Muslim, 8/59. Mawqi’ Ruh Al Islam)
Beliau juga menambahkan bahwa kemakruhan ini bukan hanya bagi rambut di kepala, tapi juga lainnya. Katanya:
ولا فرق بين نتفه من اللحية والرأس والشارب والحاجب والعذار من الرجل والمرأة.
“Tidak ada perbedaan antara mencabut rambut janggut, kepala, kumis, alis, dan pipi, baik pada laki-laki dan wanita.” (Lihat Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/227)
Imam Abul Abbas Al Qurthubi Rahimahullah juga mengatakan:
وكراهته ـ صلى الله عليه وسلم ـ نَتْف الشيب إنَّما كان لأنه وقارٌ ، كما قد روى مالك : (( أن أوَّل من رأى الشيب إبراهيم ـ صلى الله عليه وسلم ـ ، فقال : يا رب ! ما هذا ؟ فقال : وقار . قال : يا رب زدني وقارًا )) ، أو لأنه نورٌ يوم القيامة
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memakruhkan mencabut uban, karena dia adalah kewibawaan, sebagaimana yang diriwayatkan dari Malik: Bahwa yang pertama kali merlihat uban adalah Ibrahim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu dia berkata: Ya Rabb, apa ini?! Tuhan menjawab: Waqar (kewibawaan/mahkota),” Dia berkata: “Ya Rabb, tambahkan untukku kewibawaan.” Atau juga karena uban adalah cahaya pada hari kiamat nanti. (lalu Imam Abul Abbas menyebut hadits tentang itu). (Lihat Al Mufhim Lima Asykala Min Talkhish Kitabi Muslim, 19/56. Maktabah Misykah)
Maka lebih tepat dikatakan bahwa larangan tersebut adalah makruh, sebagaimana langsung dikatakan oleh salah seorang Sahabat Nabi, dan pernah menjadi pelayan di rumahnya, yakni Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu. Ada pula sebagian ulama yang mengatakan boleh mencabut uban, tetapi berbagai riwayat shahih di atas, dan juga fatwa sahabat ini sudah cukup mengoreksi pendapat mereka. Wallahu A’lam
Mewarnai (menyemir) Rambut
Berkata Al ‘Allamah Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah:
وأما خضاب الشعر بالأحمر والأصفر والأسود وغير ذلك من الألوان فهو جائز، إلا عند الشافعية، فإنه يحرم الخضاب بالسواد وقال غيرهم بالكراهة فقط
“Ada pun menyemir rambut dengan warna merah, kuning, hitam dan warna lainnya adalah BOLEH, kecuali menurut Syafi’iyah bahwa mereka mengharamkan menyemir rambut dengan warna hitam, sedangkan selainnya mengatakan hanya makruh.” (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/227. Maktabah Al Misykah)
Kenapa mencabut uban dilarang, sementara menyemir dibolehkan? Berkata Imam Ibnul ‘Arabi Rahimahullah:
إنما نهى عن النتف دون الخضب، لأن فيه تغيير الخلقة عن أصلها، بخلاف الخضب فإنه لا يغير الخلقة على الناظر إليه.
“Sesungguhnya larangan ini hanyalah bagi pencabutan uban bukan mewarnai, karena di dalamnya terdapat upaya merubah ciptan Allah dari aslinya, berbeda dengan mewarnai karena dia tidak merubah ciptaan bagi orang yang melihatnya. (Fathul Bari, 10/355, Darul Fikr. ‘Aunul Ba’bud, 11/171, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Tuhfah Al Ahwadzi, 8/108, Al Maktabah As Salafiyah)
Dalil-Dalil Dibolehkannya Menyemir Rambut
Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إن اليهود والنصارى لايصبغون فخالفوهم
“Sesungguhnya Yahudi dan Nasrani tidak menyemir (rambut), maka berbedalah dengan mereka.” (HR. Abu Daud No. 4203, An Nasa’i No. 5069, Ibnu Majah No.3621. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam berbagai kitabnya)
Hadits ini menunjukkan; Pertama, anjuran berbeda dengan Yahudi dan Nasrani dengan cara menyemir rambut, dan ini sunah. Kedua, secara mutlak dibolehkan menyemir rambut dengan warna apa saja, karena hadits ini tidak mengkhususkan warna tertentu.
Tetapi dalam riwayat Abu Umamah Radhiallahu ‘Anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hanya menyebut dua warna:
خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم على مشيخة من الأنصار بيض لحاهم فقال: يا معشر الأنصار حمروا وصفروا وخالفوا أهل الكتاب
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam keluar bersama seorang tua dari Anshar yang rambutnya putih merata. Maka dia bersabda: “Wahai orang Anshar, warnailah dengan merah dan kuning, dan berbedalah dengan ahli kitab.” (HR. Ahmad, sanadnya hasan. Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari 10/354)
Bahkan, dalam riwayat lain, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam secara khusus melarang warna hitam. Ketika datang Abu Quhafah (ayah Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiallahu ‘Anhu) pada hari Fathul Makkah, yang rambutnya sudah memutih seluruhnya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
"غيروا هذا بشىءٍ، واجتنبوا السواد".
“Rubahlah rambutnya ini dengan sesuatu, dan jauhilah warna hitam.” (HR. Abu Daud No. 4204, An Nasa’i No. 5076, Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 4204)
Dari hadits ini merupakan petunjuk yang jelas bolehnya menyemir rambut beruban dengan berbagai warna, tetapi haram menyemir dengan hitam, sebagaimana pendapat kalangan Syafi’iyah. Ada pun hadits sebelumnya masih bersifat umum (muthlaq), sedangkan hadits ini adalah muqayyad (spesisifik). Oleh karena itu, sesuai kaidah Hamlul Muthlaq Ilal Muqayyad, yang mutlak (umum) harus dibawa/dibatasi (taqyid) kepada yang muqayyad. Hadits ini menjadi pengecualian atas hadits sebelumnya. Ringkasnya, kita katakan: semua warna boleh kecuali hitam. Wallahu A’lam
Selanjutnya, apakah larangan ini menunjukkan makna haram –sebagaimana pendapat kalangan Syafi’iyah?
Jika kita lihat manath (objek hukum), maka kita paham bahwa larangan warna hitam itu berlaku buat kasus Abu Quhafah saja, lantaran usianya yang sudah sangat tua, sehingga tidak pantas lagi memiliki rambut berwarna hitam. Oleh karena itu pelarangan ini lebih tepat hanya sampai makruh. Diriwayatkan bahwa sebagian sahabat dan tabi’in ada yang menyemir rambutnya dengan warna hitam.
Imam Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:
ولهذا اختار النووي أن الصبغ بالسواد يكره كراهية تحريم. وعن الحليمي أن الكراهة خاصة بالرجال دون النساء فيجوز ذلك للمرأة لأجل زوجها. وقال مالك: الحناء والكتم واسع، والصبغ بغير السواد أحب إلي.
“Oleh karena itu pendapat yang dipilih oleh An Nawawi adalah bahwa menyemir dengan warna hitam adalah makruh, dengan makruh tahrim (mendekati haram). Dari Al Hulaimi, bahwa kemakruhannya khusus bagi laki-laki dan tidak bagi wanita, hal itu boleh bagi wanita demi membahagiakan suaminya. Malik berkata: diberikan keluasan bagi Inai dan Al Katam, dan menyemir dengan selain hitam lebih aku sukai.” (Fathul Bari, 6/499. Darul Fikr)
Apa yang dikatakan oleh Al Hulaimi, bahwa makruh hanya bagi laki-laki dan tidak bagi wanita, tentu membutuhkan dalil. Dan, kita tidak temukan dalil itu melainkan bahwa larangan itu bersifat umum bagi laki-laki dan wanita.
Sebagian Sahabat dan Tabi’in Ada yang Menyemir dan Ada Yang Tidak
Imam Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Abu Bakar dan Umar Radhiallahu ‘Anhuma menyemir rambutnya dengan inai. (HR. Muslim No. 2341)
Berkata Al Qadhi ‘Iyadh Rahimahullah:
اختلف السلف من الصحابة والتابعين في الخضاب وفي جنسه فقال بعضهم ترك الخضاب أفضل وروى حديثًا عن النبي صلى اللَّه عليه وآله وسلم في النهي عن تغيير الشيب ولأنه صلى اللَّه عليه وآله وسلم لم يغير شيبه روي هذا عن عمر وعلي وأبي بكر وآخرين .
وقال آخرون الخضاب أفضل وخضب جماعة من الصحابة والتابعين ومن بعدهم للأحاديث الواردة في ذلك ثم اختلف هؤلاء فكان أكثرهم يخضب بالصفرة منهم ابن عمر وأبو هريرة وآخرون وروي ذلك عن علي .
وخضب جماعة منهم بالحناء والكتم وبعضهم بالزعفران وخضب جماعة بالسواد روي ذلك عن عثمان والحسن والحسين ابني علي وعقبة بن عامر وابن سيرين وأبي بردة وآخرين .
“Para salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in berbeda pendapat tentang menyemir itu sendiri. Sebagian mereka mengatakan bahwa meninggalkannya adalah lebih utama. Dan diriwayatkan hadits dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang larangannya merubah uban, dan lantaran Beliau juga tidak merubah ubannya. Ini diriwayatkan dari Umar, Ali, Abu Bakar, dan lainnya.
Di antara segolongan mereka ada yang menyemir dengan inai dan Al Katam (sejenis tumbuhan), dan sebagian lagi dengan za’faran, dan segolongan ada yang menggunakan warna hitam dan diriwayatkan hal itu dari Utsman, Al Hasan, Al Husein, Uqbah bin Amir, Ibnu Sirin, Abi Burdah, dan lainnya.” (Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 1/118)
Maka, apa yang dilakukan sebagian sahabat dan tabi’in ini;mereka menggunakan warna hitam, lalu dikompromikan (taufiq) dengan dalil larangan menggunakan warna hitam, menunjukkan bahwa ia lebih tepat dihukum makruh.
Kesimpulan
الصواب أن الأحاديث الواردة عن النبي صلى اللَّه عليه وآله وسلم بتغيير الشيب وبالنهي عنه كلها صحيحة وليس فيها تناقض بل الأمر بالتغيير لمن شيبه كشيب أبي قحافة والنهي لمن له شمط فقط
“Yang benar adalah hadits-hadits yang datang dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berupa perintah untuk merubah uban dan berupa larangannya, semuanya adalah shahih, satu sama lain tidak saling menganulir. Tetapi perintah merubah uban adalah bagi siapa yang ubannya sudah seperti Abu Qahafah dan larangannya bagi siapa yang ubannya masih bercampur.” (Nailul Authar, 1/118)
Tetapi, pembedaan yang dikatakan oleh Imam Ath Thabari ini tidak kita temukan korelasinya pada berbagai riwayat yang ada. Faktanya tidak sedikit para sahabat yang menyemir rambutnya, walau mereka belum sampai seperti Abu Qahafah.
Kesimpulannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Wahbah Az Zuhaili berikut:
والصواب جواز تغيير الشيب وجواز تركه، وجواز الخضاب بأي لون كان، مع كراهة الخضاب بالسواد.
“Yang benar adalah boleh merubah uban dan boleh juga membiarkannya, dan dibolehkan menyemirnya dengan warna apa saja, namun makruh menggunakan warna hitam.” (Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 4/228. Maktabah Al Misykah)
Catatan:
Saat ini menyemir rambut dengan berbagai warna telah dilakukan oleh anak-anak muda ‘gaul’, mereka melakukannya bukan karena menghidupkan sunah tetapi untuk gaya-gayaan dan mengikuti mode tren penyanyi kafir. Maka, untuk saat ini, memerahkan warna rambut menjadi merah atau lainnya bagi aktifis Islam, bisa membawa masalah tersendiri lantaran pandangan masyarakat telah berubah, walau niat mereka adalah untuk menghidupkan sunah. Oleh karena itu dituntut kearifan dan kejelian mereka ketika berniat untuk melakukannya.
Wallahu A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar