20 Januari 2010

AWAS…..SHALAT JANGAN MEREM

                Memejamkan mata ketika shalat pada dasarnya dimakruhkan.  Sebab hal itu merupakan tasyabbuh terhadap Yahudi ketika mereka shalat. Namun, jika memejamkan mata karena ada kebutuhan, yakni agar mata kita tidak diganggu oleh pemandangan, karpet, permadani, atau sajadah masjid yang bergambar, maka tidak mengapa dia memejamkan matanya agar tetap terjaga kekhusyu’annya.

                Sebagian ulama ada yang membolehkan memejamkan mata, sama sekali tidak makruh, lantaran tidak ada hadits shahih yang melarangnya. Ini diisyarakatkan oleh Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berikut:

تغميض العينين: كرهه البعض وجوزه البعض بلا كراهة، والحديث المروي في الكراهة لم يصح

                “Memejamkan mata: sebagian ulama ada yang memakruhkan, sebagian lain membolehkan tidak makruh. Hadits yang meriwayatkan kemakruhannya tidak shahih.” (Fiqhs Sunnah, 1/269. Darul Kitab Al ‘Arabi)

                  Bahkan Syaikh Abdul Qadir Ar Rahbawi dalam kitab Ash Shalah ‘Alal Madzahib Al Arba’ah tidak memasukkan memejamkan mata dalam bab hal-hal yang dimakruhkan dalam shalat.  Tetapi, Syaikh Sayyid Sabiq sendiri dalam kitab Fiqhus Sunnahnya,  memasukkan memejamkan mata  dalam bab hal-hal yang dimakruhkan dalam shalat.

Pandangan Ulama Salaf
Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra, mengatakan:

وروينا عن مجاهد وقتادة انهما كانا يكرهان تغميض العينين في الصلوة وروى فيه حديث مسند وليس بشئ

                “Kami meriwayatkan dari Mujahid dan Qatadah bahwa mereka berdua memakruhkan memejamkan mata dalam shalat. Tentang hal ini telah ada hadits musnad,  dan hadits tersebut tidak ada apa-apanya.” (As Sunan Al Kubra, 2/284)

                Ini juga menjadi pendapat Sufyan Ats Tsauri. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 3/314. Darul Fikr)

Imam Al Hasan Al Bashri membolehkannya. Imam Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Zaid bin Hibban, telah bercerita kepada kami Jamil bin ‘Ubaid,katanya:

سمعت الحسن وسأله رجل أغمض عيني إذا سجدت فقا إن شئ

                “Aku mendengar bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Al Hasan, tentang memejamkan mata ketika sujud. Al Hasan menjawab: “Jika engkau  mau.”(Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 2/162)

Pandangan Hanafiyah

                Imam   Abu Bakr Al Kasani Al Hanafi mengatakan dalam Al Bada’i Ash Shana’i:

 وَيُكْرَهُ أَنْ يُغْمِضَ عَيْنَيْهِ فِي الصَّلَاةِ ؛ لِمَا رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى عَنْ تَغْمِيضِ الْعَيْنِ فِي الصَّلَاةِ ؛ وَلِأَنَّ السُّنَّةَ أَنْ يَرْمِيَ بِبَصَرِهِ إلَى مَوْضِعِ سُجُودِهِ وَفِي التَّغْمِيضِ تَرْكُ هَذِهِ السُّ
                “Dimakruhkan memejamkan mata dalam shalat, karena telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau melarang memejamkan mata ketika shalat, dan juga karena disunahkan melemparkan pandangan ke tempat sujud, ketika memejamkan mata sunah ini akan ditinggalkan.” (Al Bada’i Ash Shana’i, 2/343. Mawqi’ Al Islam)

                Tokoh besar madzhab Hanafi, yakni Imam Abu Ja’far Ath Thahawi juga memakruhkannya. (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 3/314.       Darul Fikr)

Pandangan Malikiyah

                Disebutkan oleh Imam An Nawawi, tentang pendapat Imam Malik:

وقال مالك لا بأس به في الفريضة والنافل

                “Berkata Malik: tidak apa-apa memejamkan mata, baik pada shalat wajib atau sunah.” (Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 3/314. Darul fikr)
Imam Muhammad Al Kharasyi Al Maliki mengatakan dalam Syarh Mukhatshar Al Khalil:

وَكَذَلِكَ يُكْرَهُ تَغْمِيضُ الْبَصَرِ خَوْفَ اعْتِقَادِ وُجُوبِهِ إلَّا أَنْ يَكُونَ فَتْحُهُ يُشَوِّشُهُ

                “Demikian juga dimakruhkan memejamkan pandangan, khawatir hal itu diyakini sebagai kewajiban, kecuali jika membuka mata membuatnya was-was.”  (Syarh Mukhtashar Al Khalil, 3/453. Mawqi’ Al Islam)

                Imam Ahmad bin Muhammad Ash Shawi Al Maliki mengatakan dalam Hasyiah ‘ala Asy Syarh Ash Shaghir:                                                                                                                 

كُرِهَ ( تَغْمِيضُ عَيْنَيْهِ ) إلَّا لِخَوْفِ وُقُوعِ بَصَرِهِ عَلَى مَا يَشْغَلُهُ عَنْ صَلَاتِهِ .


                “Dimakruhkan memejamkan mata, kecuali dikhawatiri  jika terjadi pada pandangannya apa-apa yang membuatnya shalatnya terganggu.” (Hasyiah ‘ala Asy Syarh Ash Shaghir, 6/42. Mawqi’ Al Islam)

                Imam Muhammad bin Ahmad ‘Alisy Al Maliki dalam Manhal Jalil mengatakan:

كُرِهَ ( تَغْمِيضُ بَصَرِهِ ) أَيْ عَيْنِ الْمُصَلِّي خَوْفَ اعْتِقَادِ فَرْضِيَّتَهُ إلَّا لِخَوْفِ نَظَرٍ لِمُحَرَّمأَوْ مَا يَشْغَلُهُ عَنْهَا

                “Dimakruhkan memejamkan  pendangan yaitu mata orang yang shalat, dikhawatiri dia meyakininya sebagai kewajiban, kecuali jika dikhawatiri dia memandang sesuatu yang dharamkan atau apa-apa yang membuatnya terganggu.” (Manhal Jalil Syarh Mukhtashar Khalil, 2/95. Mawqi’ Al Islam)

Pandangan Asy Syafi’iyah

                Madzhab ini ada yang membolehkan seperti  Imam An Nawawi, yang mengatakan dalam Raudhatuth Thalibin:

والمختار أنه لا يكره إن لم يخف ضررا وينبغي أن يدخل فيها بنشاط وفراغ قلبه من الشواغل والله أعلم.

               “Pendapat yang dipilih adalah, tidak makruh memejamkan mata jika dia tidak khawatir adanya dharar (hal yang merusak) dan hal itu diharapkan bisa menyemangatinya dan hatinya bersih dari hal-hal yang membuatnya terganggu.” (Raudhatuth Thalibin, 1/99. Mawqi’ Al Islam) Ini juga dikatakan oleh Imam Al Malibari Al Hindi. (Fathul Mu’in, 1/214. Mawqi’ Ya’sub) lantaran hal itu tidak ada hadits yang melarangnya. (Imam Zakaria Anshari, Hasyiah Al Jumal, 3/474. Mawqi’  Al Islam

           Ada pula yang memakruhkan seperti Imam As Sayyid Bakr Ad Dimyathi, dalam I’anatuth Thalibin:

وأنه يكره تغميض عينيه وعللوه بأن اليهود تفعله، وأنه لم ينقل فعله عن النبي(ص) ولا عن أحد من الصحابة رضي الله عنهم أجمعين.
                “Dan, bahwasanya dimakruhkan memejamkan mata, mereka beralasan bahwa Yahudi melakukan hal itu, dan belum pernah dinukil perbuatan tersebut dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan tidak pula dilakukan oleh para sahabat Radhiallahu ‘Anhum ajma’in.” (I’anatuth Thalibin, 1/193.Mawqi’ Ya’sub)
                Al ‘Abdari juga memakruhkan. (Al Majmu’, 3/314. Mughni Muhtaj, 2/425)

Pandangan Hambaliyah
                Imam Ahmad memakruhkan sebagaimana dikatakan  Imam Ibnul Qayyim.(Zaadul Ma’ad, 1/294. Muasasah Ar Risalah)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah –tokoh madzhab Hambali abad ini- mengulas ini dalam kitabnya, Syarhul Mumti’:

أنه يُكره تغميض عينيه، أي: تطبيقهما، وعُلِّلَ ذلك: بأنه فِعْلُ اليهود في صلاتهم، ونحن منهيُّون عن التَّشبُّهِ بالكُفَّار من اليهود وغيرهم، لا سيما في الشَّعائر الدينية؛ لأن دياناتهم ديانات منسوخة نَسَخَهَا الله تعالى بِشَرْعِ مُحمَّد صلّى الله عليه وسلّم، فلا يجوز أن نتشبَّه بهم في العبادات ولا غيرها.


ولكن ذكر كثيرٌ من الناس أنه إذا أغمض عينيه كان أخشع له. وهذا من الشيطانيُخَشِّعُهُ إذا أغمض عينيه من أجل أن يفعل هذا المكروه، ولو عالجَ نفسَه وأبقى عينيه مفتوحة وحاول الخشوع لكان أحسن.


لكن لو فُرِضَ أن بين يديك شيئاً لا تستطيع أن تفتح عينيك أمامه؛ لأنه يشغلك، فحينئذٍ لا حَرَجَ أن تُغمض بقَدْرِ الحاجة، وأما بدون حاجة فإنه مكروه كما قال المؤلِّف، ولا تغترَّ بما يُلقيه الشيطان في قلبك من أنك إذا أغمضتَ صار أخشعَ لك.

           “Dimakruhkan memejamka mata, alasannya: karena hal itu adalah perbuatan Yahudi saat mereka shalat. Kita dilarang untuk menyerupai orang kafir, baik Yahudi atau lainnya, apalagi dalam hal syi’ar agama mereka. Karena agama mereka adalah agama yang sudah dihapus (mansukh) oleh Allah Ta’ala dengan syariat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka tidak boleh menyerupai mereka dalam hal ibadah dan lainnya.

                Tetapi banyak manusia menyebutkan bahwa memejamkan mata bisa lebih khusyu’. Ini adalah dari syetan. Dia mengkhusyukannya ketika memejamkan matanya, karena melakukan ini adalah perbuatan makruh. Seandainya seseorang bisa mengobati dirinya dan tetap membiarkan matanya terbuka dan memperoleh kekhusyu’an, maka itu lebih baik.

                Tetapi jika di hadapan Anda ada sesuatu, dan   mata  terbuka Anda tidak  mampu  di  hadapannya,   karena Anda akan disibukkan olehnya, maka saat itu boleh memejamkan mata sejauh kebutuhan saja. Ada pun jika tanpa kebutuhan maka itu makruh, sebagaimana yang dikatakan penyusun kitab ini. Janganlah Anda terpedaya dengan apa yang dilemparkan  syetan ke dalam hatimu, berupa perasaan lebih khusyu’ ketika anda memenjamkan mata.”  (Syarhul Mumti’, 3/72. Mawqi’ Ruh Al Islam)


Kesimpulan
                Semua sepakat bahwa memejamkan mata tidak haram, dan bukan pembatal shalat. Perbedaan terjadi antara makruh dan mubah. Jika dilihat dari sisi dalil  -dan  dalil  adalah hal yang sangat penting-  ternyata tidak ada hadits yang shahih tentang larangannya, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Sayyid Sabiq, dan diisyaratkan oleh Imam Al Baihaqi. Namun, telah shahih dari tabi’in bahwa hal itu adalah cara shalatnya orang Yahudi, dan tidak boleh menyerupai mereka dalam hal keduniaan, lebih-lebih ritual keagamaan.
Maka, pandangan kompromis yang benar dan bisa diterima dari fakta-fakta ini adalah seperti apa yang diulas Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah  sebagai berikut:

وقد اختلف الفقهاء في كراهته، فكرِهه الإِمامُ أحمد وغيرُه، وقالوا:هو فعلُ اليهود، وأباحه جماعة ولم يكرهوه، وقالوا: قد يكونُ أقربَ إلى تحصيل الخشوع الذي هو روحُ الصلاة وسرُّها ومقصودها. والصواب أن يُقال: إن كان تفتيحُ العين لا يُخِلُ بالخشوع، فهو أفضل، وإن كان يحول بينه وبين الخشوع لما في قبلته من الزخرفة والتزويق أو غيره مما يُشوش عليه قلبه، فهنالك لا يُكره التغميضُ قطعاً، والقولُ باستحبابه في هذا الحال أقربُ إلى أصول الشرع ومقاصده من القول بالكراهة، والله أعلم.
                “Para fuqaha telah berselisih pendapat tentang kemakruhannya. Imam Ahmad dan lainnya memakruhkannya. Mereka mengatakan itu adalah perilaku Yahudi, segolongan yang lain membolehkannya tidak memakruhkan. Mereka mengatakan: Hal itu bisa mendekatkan seseorang untuk mendapatkan kekhusyu’an, dan itulah ruhnya shalat, rahasia dan maksudnya. Yang benar adalah: jika membuka mata tidak menodai kekhusyu’an maka itu lebih utama. Dan, jika justru hal itu mengganggu dan tidak membuatnya khusyu’ karena dihadapannya terdapat ukiran, lukisan, atau lainnya yang mebuat hatinya tidak tenang, maka secara qath’i(meyakinkan) memejamkan mata tidak makruh. Pendapat yang menganjurkan memejamkan mata dalam kondisi seperti ini lebih mendekati dasar-dasar syariat dan maksud-maksudnya, dibandingkan pendapat yang mengatakan makruh. Wallahu A’lam.” (Zaadul Ma’ad, 1/294. Muasasah Ar Risalah)

                Pendapat beliau, juga sama dengan yang difatwakan oleh Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam. Berikut keterangannya:





وَأَفْتَى ابْنُ عَبْدِ السَّلَامِ بِأَنَّهُ إذَا كَانَ عَدَمُ ذَلِكَ يُشَوِّشُ عَلَيْهِ خُشُوعَهُ أَوْ حُضُورَ قَلْبِهِ مَعَ رَبِّهِ فَالتَّغْمِيضُ أَوْلَى مِنْ الْفَتْحِ  


                “Ibnu Abdissalam berfatwa, bahwa jika memejamkan mata bisa menghilangkan gangguan atas kekhusyu’annya atau mampu menghadirkan hati kepada Rabbnya, maka  memejamkan lebih utama dibanding membukanya.” (Imam Al Khathib Asy Syarbini, Mughni Muhtaj, 2/425. Mawqi’ Al Islam)

                Jadi esensinya adalah kekhusyu’an dan hadirnya hati ketika shalat. Memejamkan mata bisa makruh jika tanpa ada keperluan tersebut. Tetapi jika hal itu dibutuhkan, demi menghilangkan gangguan pandangan, dan menjaga suasana kekhusyu’an dihati maka itu boleh, bahkan afdhal (lebih utama). Oleh karena itu, masalah ini tidak sama pada setiap orang, dan sifatnya sangat personally.





                Wallahu A’lam



Tidak ada komentar:

Posting Komentar