25 Januari 2010

Argumen Acara 40 Hari Orang Meninggal

Assalamu'alaikum,
Ustadz, saya masih bingung sebenarnya seperti apa perlakuan kita terhadap orang yang sudah meninggal ? Apakah acara - acara 7 hari, 40 hari dst.. ada dalilnya ? Kalau tidak ada bagaimana mematahkan argumen orang yang masih melaksanakan acara - acara tersebut ?

Kebetulan dikampung saya, saya melihat acara - acara tersebut sangat memberatkan keluarga yang ditinggalkan, belum lagi dengan pemahaman orang kampung yang sepertinya hal tersebut seperti sudah kewajiban jadi ada tidak ada harus diadakan.

Wassalamu'alaikum, Wawan

Wawan Jakarta
Jawaban:

Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh
Alhamdulillah, Washshalatu wassalamu `ala Rasulillah, wa ba’d.
Kami yakin bahwa pasti Anda sudah betul bahwa semua bentuk acara itu memang tidak ada dasar masyru`iyahnya dari Rasulullah SAW. Sebagai sebuah paket acara ritual yang baku, tidak ada perintah atau dasar contoh dimana Rasulullah SAW melakukannya. Tidak juga para shahabat, tabi`in ataupun atba`ut tabi`in. Bahkan generasi para fuqaha dan orang-orang shaleh berikutnya pun tidak pernah merekomendasikan untuk melakukan perayaaan demikian.

Biasanya, para pendukung kegiatan ini sering kali beragumen bahwa di balik kegiatan ini ada hal-hal yang baik dan perlu untuk diambil manfaatnya. Dan kalau kita sejenak meminjam logika mereka dan mempreteli satu persatu, ada juga ada satu dua esensi acara itu yang masih bisa dikatakan sebagai perbuatan yang baik.

Misalnya dalam acara 40 hari itu ada unsur silaturrahimnya. Dan silaturrahim tentu bagian dari perintah dari ajaran Islam.

Juga di dalam acara itu ada unsur memberi sedekah berupa memberikan hidangan makan atau berkat kepada para undangan. Memberi makan kepada orang adalah bagian dari ajaran Islam.

Biasanya dalam acara itu juga ada pidato / ceramah agama yang berguna. Dan belajar agama adalah bagian penting dari perintah agama Islam.

Kita tidak menafikan adanya manfaat di balik acara demikian, yang menjadi masalah adalah ketika acara demikian sudah dianggap sebagai ritual khusus yang bila tidak dilakukan dalam format bakunya, seolah-olah menjadi hal yang kurang dari agama ini. Kesalahan inilah yang seharusnya dipahami dengan arif, cermat dan bijaksana oleh para pendukungnya.

Namun karena mereka sudah menerima acara demikian sejak kecil dan dilakukan oleh nenek moyang mereka turun temurun, seolah-olah hal itu sudah menjadi bagian dari pola hidup mereka. Kalau anda menghadapi mereka dengan cara memotong argumentasi, kami yakin usaha anda tidak akan berjalan terlalu mudah. Sebab kecenderungan yang terjadi bahwa umumnya orang-orang melakukannya bukan karena nalar logika apalagi ilmu syariah, melainkan sebagai sebuah tradisi yang terbentuk ratusan tahun lamanya. Bukan perkara mudah untuk merubah sebuah life style sebuah komunitas masyarakat begitu saja.

Perubahannya mungkin akan lebih efektif dengan melalui sebuah proses. Kita mungkin bisa ikut mempercepat proses itu dengan cara antara lain :

Memperluas dan memperdalam pemahaman ilmu syariah kepada generasi muda dan khususnya tentang masalah konsep ibadah ritual dengan bid’ah-bid’ahnya. Generasi muda umumnya belum terlalu kental dengan tradisi dan masih terbuka wawasannya terhadap masukan yang lebih kuat dalilnya.

Tidak terlalu mengekspose perbedaan pendapat dalam masalah ini. Sebab biasanya semakin diekspose, pihak-pihak yang cendrung mempertahankannya akan semakin bersemangat untuk membela pendapatnya. Seekor kucing yang terpojok bisa nekat mencakar lawannya. Biarkanlah perubahan zaman yang dengan sistematik akan merubahnya. Ini berlaku bila kita menghadapi mereka yang amat kuat mempertahankan pendapatnya.
Argumentasi yang kuat bisa anda lakukan kepada mereka yang punya nalar dan wasasan yang luas dan mendalam dalam memahami agama. Tentu saja bukan cara debat apalagi di depan publik, melainkan dengan muzakarah ilmiah dengan didukung oleh dalil-dalil fiqih yang kuat. Syarat utamanya adalah orang itu tidak berisifat fanatik buta terhadap apa yang dipegangnya, tetapi terbuka dalam menerima pendapat orang lain bila punya dasar yang kuat.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,
Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuhkutipan dari kumpulan konsultasi Swaramuslim.net



komentar

Menghadiahkan Fatihah, atau Yaasiin, atau dzikir, Tahlil, atau shadaqah, atau Qadha puasanya dan lain lain, itu semua sampai kepada Mayyit, dengan Nash yang Jelas dalam Shahih Muslim hadits no.1149, bahwa “seorang wanita bersedekah untuk Ibunya yang telah wafat dan diperbolehkan oleh Rasul saw”, dan adapula riwayat Shahihain Bukhari dan Muslim bahwa “seorang sahabat menghajikan untuk Ibunya yang telah wafat”, dan Rasulullah SAW pun menghadiahkan Sembelihan Beliau SAW saat Idul Adha untuk dirinya dan untuk ummatnya, “Wahai Allah terimalah sembelihan ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari Ummat Muhammad” (Shahih Muslim hadits no.1967).

Dan hal ini (pengiriman amal untuk mayyit itu sampai kepada mayyit) merupakan Jumohur (kesepakatan) Ulama seluruh madzhab dan tak ada yang memungkirinya apalagi mengharamkannya, dan perselisihan pendapat hanya terdapat pada madzhab Imam Syafi’i, bila si pembaca tak mengucapkan lafadz : “Kuhadiahkan”, atau wahai Allah kuhadiahkan sedekah ini, atau dzikir ini, atau ayat ini..”, bila hal ini tidak disebutkan maka sebagian Ulama Syafi’iy mengatakan pahalanya tak sampai.

Jadi tak satupun ulama ikhtilaf dalam sampai atau tidaknya pengiriman amal untuk mayiit, tapi berikhtilaf adalah pada Lafadznya. Demikian pula Ibn Taimiyyah yang menyebutkan 21 hujjah (dua puluh satu dalil) tentang Intifa’ min ‘amalilghair (mendapat manfaat dari amal selainnya). Mengenai ayat : "DAN TIADALAH BAGI SESEORANG KECUALI APA YG DIPERBUATNYA, maka Ibn Abbas ra menyatakan bahwa ayat ini telah mansukh dengan ayat “DAN ORANG ORANG YG BERIMAN YG DIIKUTI KETURUNAN MEREKA DENGAN KEIMANAN”,

Mengenai hadits yang mengatakan bahwa bila wafat keturunan adam, maka terputuslah amalnya terkecuali 3 (tiga), shadaqah Jariyah, Ilmu yang bermanfaat, dan anaknya yang berdoa untuknya, maka orang orang lain yang mengirim amal, dzikir dll untuknya ini jelas jelas bukanlah amal perbuatan si mayyit, karena Rasulullah SAW menjelaskan terputusnya amal si mayyit, bukan amal orang lain yang dihadiahkan untuk si mayyit, dan juga sebagai hujjah bahwa Allah memerintahkan di dalam Al Qur'an untuk mendoakan orang yang telah wafat : "WAHAI TUHAN KAMI AMPUNILAH DOSA-DOSA KAMI DAN BAGI SAUDARA-SAUDARA KAMI YG MENDAHULUI KAMI DALAM KEIMANAN", (QS Al Hasyr-10).

"Ta'ziyah"
Ta’ziyah adalah upaya menghibur keluarga si mayit dari rasa berduka dan menyabarkannya atas musibah yang menimpanya dikarenakan kehilangan anggota keluarganya. Ta’ziyah ini hukumnya sunnah sebagaimana sabda Rasulullah saw tatkala beliau melewati seorang wanita yang sedang menangisi anaknya yang meninggal, Beliau mengatakan,”Bertaqwalah kepada Allah dan bersabarlah.” Kemudian beliau bersabda lagi,”Sesungguhnya sabar itu pada saat pertama kali.” (HR. Bukhori dan Muslim) dan juga sabdanya saw,”Tidak seorang mukmin pun datang berta’ziyah kepada saudaranya yang ditimpa musibah, kecuali akan diberi pakaian kebesaran oleh Allah pada hari kiamat.” (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi)

Adapun terkait dengan keharusan keluarga dekat si mayit menyediakan makanan dan minuman bagi mereka yang datang dan berkumpul di rumahnya maka dijelaskan didalam hadits-hadits berikut :
Hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Ja’far bahwa Rasulullah saw bersabda,”Buatkanlah untuk keluarga Ja’far makanan karena dia sedang disibukkan oleh satu urusan.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Dari Jarir bin Abdullah al Bajaliy mengatakan,”Kami menganggap bahwa berkumpul di rumah keluarga mayit dan membuat makanan sama dengan meratapi mayat.” (HR. Ibnu Majah)
Ibnu Humam dalam Fathil Qodir Syarhul Hidayah mengatakan,”Disunnahkan bagi tetangga dari keluarga yang meninggal dan para kerabatnya yang jauh untuk mempersiapkan makanan bagi mereka yang dapat mengenyangkan mereka sehari semalam. “ (Aunul Ma’bud juz VII hal. 119, Makatabah Syamilah)

Al Qoriy mengatakan,”Pembuatan makanan yang dilakukan oleh keluarga si mayit untuk menyajikan orang-orang yang berkumpul baginya adalah bid’ah makruhah sehingga tepat apa yang diriwayatkan oleh Jarir diatas,’Bahwa kami menganggapnya bagian dari meratapi.” Dan hal ini tampak keharamannya.” (Tuhfatul Ahwaziy juz III hal 54 Maktabah Syamilah)
Tahlilan ini sudah menjadi suatu tradisi dan kebiasaan yang sudah mendarah-daging di masyarakat kita dan sudah berlangsung dari generasi ke generasi, konon ini tradisi yang dilakukan sejak zaman Wali Songo untuk mengganti kebiasaan masyarakat saat itu yang masih bercampur dengan budaya hindu, Wallahu A’lam. Yang pasti, tradisi ini sudah begitu melekat di masyrakat kita.

Sebagian masyarakat bahkan ada yang mengatakan bahwa tahlilan ini adalah bagian dari keutamaan yang harus dilakukan oleh keluarga si mayit demi membantunya di alam barzahnya, mereka merasa ada yang kurang (tidak lengkap) dalam penyelenggaraan pengurusan jenazah jika tidak ada tahlilan. Bahkan di masyarakat kerap kali keluarga yang tidak melakukan tradisi ini menjadi buah bibir dan omongan negative diantara mereka, meskipun hal ini biasanya hanya berlangsung sebentar saja.

Untuk itu dalam menyikapi masalah ini perlu hati-hati dan perlahan namun wajib untuk dilakukan perbaikan kearah yang ideal, misalnya tidak usah terikat dengan tradisi 40 hari, 100 hari, dll, untuk menghilangkan tradisi secara perlahan, coba  lakukan di hari hari yang lain..tidak perlu harus  3 hari ,40 hari,100 hari, dll Tindakan perlahan-lahan dalam perubahan ini bukan berarti kita harus menyalahi syari’at atau hukum.

sekali lagi :

 bahawa Acara ini tidak mesti terpaku dengan hari-hari tertentu yang selama ini terjadi di masyarakat serta harus menghindari hal-hal yang dilarang oleh agama.

Hari berkabung bagi manusia adalah selama 3 hari, tidak boleh lebih dari ini, kecuali istri yang ditinggal mati suaminya, ia wajib berkabung 4 bln 10 Hari (sebagai masa idahnya)
 (fiqih sunnah)

---------------------------------------------------------------------------------------------------------


1 komentar:

  1. tidak ada dalil satupun, baik nash Al Qur'an maupun Al Hadits yang melarang membaca surat Yasin, tahlil, kalimah-kalimah mu'adzomah pada hari 3, 7, 40, 100, 1000 hari dari meninggalnya seseorang, untuk itu hal tersebut baik dilakukan dan dilestarikan, bahkan perlu ditambah waktu2 selain tersebut, sehingga tradisi tersebut lebih syiar dan memasyarakat.......

    Amirudin Krapyak Tahunan Jepara

    BalasHapus