Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi
Semarak penggunaan kata syariat di kalangan muslimin dewasa ini pantas untuk disyukuri karena secara tidak langsung, berarti menunjukkan keseriusan dan semangat kaum muslimin untuk kembali merujuk kepada agamanya. Namun demikian, perlu untuk diperhatikan dan disadari, jangan sampai semangat ini hanya sekedar mengusung nama dan jorgan semata. Oleh karena itu, maka perlu adanya upaya meluruskan istilah dan nama syariat, agar benar-benar sesuai dengan syariat Islam.
Salah satu di antara nama dan istilah ini, yaitu dalam masalah perbankan syariah atau bank syariat, yang didefinisikan dengan insitusi atau lembaga yang melakukan aktivitas langsung perbankan berdasarkan Islam dan kaidah-kaidah fikihnya[1]. Institusi ini mulai merata dan menampakkan jati dirinya di tengah banyaknya bank konvensional. Ustadz Kholid Syamhudi
Semarak penggunaan kata syariat di kalangan muslimin dewasa ini pantas untuk disyukuri karena secara tidak langsung, berarti menunjukkan keseriusan dan semangat kaum muslimin untuk kembali merujuk kepada agamanya. Namun demikian, perlu untuk diperhatikan dan disadari, jangan sampai semangat ini hanya sekedar mengusung nama dan jorgan semata. Oleh karena itu, maka perlu adanya upaya meluruskan istilah dan nama syariat, agar benar-benar sesuai dengan syariat Islam.
REALITA PAHIT PRAKTEK RIBAWI
Dalam syariat Islam bahwa riba adalah sesuatu yang diharamkan. Ironisnya, jaringan ribawi ini telah menyebar dalam kehidupan kaum muslimin dan masyarakat secara umum seperti pembuluh darah dalam tubuh manusia, sehingga merusak tatanan masyarakat dan merusak keindahan Islam. Bahkan yang lebih ironis lagi, ada di antara kaum muslimin yang berkeyakinan dan memandang praktek ribawi merupakan satu-satunya cara menumbuhkan perekonomian negara dan masyarakatnya. Demikianlah pengaruh buruk penjajahan yang telah menanamkan ke tubuh negara jajahannya muamalah ribawi ini, sebab sistem ini masuk ke dalam negara-negara kaum muslimin melalui tangan dan jerih payah mereka. Sehingga, kaum muslimin pun akhirnya mengambil sistem ini dari negara kafir yang menjajahnya. Maka hendaklah kita menyadari, bahwa negara-negara kafir tidak pernah peduli dengan pertumbuhan keagamaan, dan mereka memisah agama dari kehidupan ekonomi. Mereka tidak memiliki timbangan akhlak. Bahkan yang kuat dan memiliki kapital besarlah yang akan berkuasa walaupun mereka mendapatkannya dengan bantuan orang-orang fakir dan miskin.
Ini berbeda dengan Islam yang menginginkan suatu sistem ekonomi yang adil, sehingga yang kuat tidak menindas yang lemah, dan yang kaya menjajah yang miskin. Juga agar harta tidak hanya berputar di kalangan orang-orang kaya saja. Sehingga Islam menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
"Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" [al-Baqarah/2 : 275]
Syariat Islam memiliki sistem ekonomi bebas dari riba. Dalam meningkatkan perekonomian, pemberdayaan masyarakat dan kemanusiaan tidak memiliki ketergantungan kepadanya. Kita yakini dengan pasti sistem ekonomi Islam yang bebas dari riba ini, baik dalam bidang perbankan maupun bidang lainnya. Karenanya, menjadi kewajiban kaum muslimin untuk mempelajari tatanan sistem yang tidak bertentangan dan menyimpang dari syariat Islam yang sempurna nan suci ini.
Banyak orang yang kemudian sadar dengan praktek ribawi yang pahit ini. Krisis dan keguncangan ekonomi dunia tidak dapat dielakkan, sehingga masyarakat dunia kembali berfikir mencari solusi tentang hal ini.
Beberapa penelitian membuktikan, bahwa seseorang yang berhutang dengan bunga riba, ia akan sulit dan membutuhkan waktu yang lama untuk melunasi hutang dan bunganya tersebut. Dan pada kenyataannya, banyak yang tidak mampu melunasinya secara baik. Akhirnya memaksanya untuk melepas atau menjual harta miliknya yang menjadi agunan (jaminan) peminjaman hutang tersebut. Ini dilakukan untuk menjaga kemaslahatan (peningkatan) produksi. Disamping itu, pengaruh bunga hutang tersebut telah meninggikan biaya produksi yang berlanjut pada kenaikan harga. Sebab, perusahaan yang mengambil hutang ribawi akan memasukkan nilai bunga hutang itu yang telah membuat naik biaya produksinya, sehingga secara otomatis juga akan menaikkan harga produknya menjadi lebih tinggi.[2]
Terbukti, krisis-krisis yang menimpa perekonomian dunia umumnya muncul lantaran hutang-hutang perusahaan-perusahaan yang menumpuk. Ini diketahui negara-negara besar, sehingga mereka terpaksa mengambil langkah pembatasan prosentase ribanya. Namun hal ini belum bisa mengurangi bahaya riba[3]
KEMUNCULAN PERBANKAN SYARI’AT
Krisis demi krisis melanda perekonomian dunia hingga banyak bank-bank konvensional yang gulung tikar. Di negara Indonesia saja dalam tahun 2001 M –versi buku Bank Syariat dari Teori ke Praktek- telah ada 63 bank yang sudah tutup, 14 bank telah di take over, dan 9 bank lagi harus direkapitulasi dengan biaya ratusan trilyun rupiah. Ditambah lagi dengan harapan kaum muslimin yang ingin kembali menerapkan ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupannya khususnya dalam masalah ekonomi dan perbankan, dan munculnya kebangkitan Islam di era tahun tujuh puluhan. Semua ini mendorong tekad para peneliti untuk menerapkan sistem ekonomi Islam (Islamic Economic System) dengan mengkonsep perbankan syariat sebagai alternatif pengganti perbankan konvensional. Namun waktu itu keadaan dan situasi yang menyelimuti negara-negara Islam belum mendukung harapan, pemikiran dan tekad tersebut.
Kemudian mulailah adanya usaha-usaha riil untuk menerapkannya dan mencari trik dan cara yang beragam untuk mengeluarkan profit keuntungan dan sejenisnya dari lingkaran riba. Kemudian setelah itu muncul di dunia Islam usaha-usaha yang lebih riil, yaitu berupa penolakan terhadap pemikiran yang diimport dari barat saat penjajahan dulu. Usaha-usaha ini mengarah kepada pengganti perbankan ribawi dengan perbankan syariat. Usaha ini kian berkembang cepat dengan banyaknya kaum muslimin yang enggan menyimpan hartanya di bank-bank konvensional dan enggan bermuamalah dengan riba.
Dr. Gharib al-Gamal menjelaskan seputar kemunculan perbankan syariat. Dia mengatakan, banyak dari masyarakat Islam yang enggan bermuamalah dengan riba. Mereka tidak bermuamalah dengan lembaga perbankan yang ada sekarang ini. Dengan dasar ini, maka harta-harta milik masyarakat muslim di dunia Islam yang cukup besar ini akan menganggur (tidak dapat dikembangkan). Oleh karenanya, termasuk faktor yang mendorong untuk membangun lembaga perbankan syariat adalah merealisasikan solusi bagi masyarakat ini. Semua itu sebagai usaha untuk memberikan faedah dari harta-harta yang dimiliki masyarakat demi kemaslahatan dunia Islam seluruhnya. Ditambah lagi, untuk pencerahan kepada para penguasa (pemerintah) masyarakat tersebut agar berlapang dada membangun sistem yang menjamin terwujudnya pertumbuhan masyarakat di negara-negara Islam dengan cara (uslub) syariat.[4]
Banyaknya kaum muslimin yang enggan bermuamalah riba dan menyimpan hartanya di bank-bank konvensional -yang nota bene menerapkan sistem riba- akan menyebabkan banyaknya harta kaum muslimin yang membutuhkan lembaga atau institusi yang memudahkan untuk mengelolanya. Tidak dapat dipungkiri, harta yang sedemikian besar nominalnya tersebut membutuhkan satu institusi yang dapat menyimpan dan mengelolanya sesuai syariat. Hal ini mendorong pembentukan lembaga keuangan syariat sebagai sebuah solusi permasalahan ini.
Dari usaha-usaha untuk meninggalkan praktek ribawi tersebut, sehingga berdirilah berbagai lembaga keuangan (perbankan) yang mengklaim dirinya berasaskan syariat. Di antara lembaga perbankan bebas riba yang menjadi pelopor pembentukan bank syari’at ini adalah:
1. Mit Ghamr Bank, merupakan lembaga keuangan yang beroperasi sebagai rural-sosial bank (Bunuk al-Id-dikhâr) di Mesir pada tahun 1963 M. Namun bank ini masih berskala kecil.
2. Bank Nâshir al-Ijtima’i, berdiri di Mesir tahun 1971 M.
3. Al-Bank al-Islami lit-Tanmiyah, berdiri di Kerajaan Saudi Arabia tahun 1973 M.
4. Bank Dubai al-Islami (Dubai Islamic Bank), berdiri di Uni Emirat Arab tahun 1975 M.
5. Bank Faishal al-Islami (Faishal Islamic Bank), berdiri di Sudan tahun 1977 M.
6. Bait at-Tamwîl al-Kuwaiti (Kuwait Finance House), berdiri di Kuwait tahun 1977 M.
7. Bank Faishal al-Islami al-Mishri (Faisal Islamic Bank) di Mesir, tahun 1977 M.
8. Al-Bank al-Islami al-Urduni lit-Tamwîl wa al-Istitsmâr (Jordan Islamic Bank for Finance and Investment), berdiri di Yordania tahun 1978 M
Setelah itu bermunculan banyak bank syariat, sehingga menurut analisa Prof. Khursyid Ahmad dan laporan International Association of Islamic Bank, bahwa pada akhir tahun 1999 M tercatat lebih dari dua ratus lembaga keuangan Islam yang beroperasi di seluruh dunia. Fenomena ini patut mendapat perhatian, partisipasi dan dukungan semua pihak, agar laju perkembangan dan arahnya tetap lurus sebagaimana yang digariskan syariat Islam, dan dapat menjadi pengganti yang benar dan tepat dari lembaga keuangan ribawi dan konvensional.
Dewasa ini, lembaga-lembaga keuangan syariat ini terus berkembang dan bertambah banyak bertebaran di pelosok-pelosok daerah dengan produk-produknya yang klaim sebagai lembaga keuangan syariat. Oleh sebab itu, kita perlu melihat kembali hal ini secara kritis, dan semua lembaga keuangan itu kembali menilai produk-produk dan usahanya dengan pandangan syariat yang mulia ini.
Wabillahit-Taufiq.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
________
Footnote
[1]. Lihat definisi ini dalam kitab al-Bunuk al-Islamiyah Baina an-Nazhariyah wa at-Thath-biq, Abdullah ath-Thayâr, hlm. 88.
[2]. Lihat al-Mu’amalah al-Mashrafiyah al-Mu’asharah wa Ra’yu al-Islam fihâ, Dr. Muhammad 'Abdullah al-‘Arabi, hlm 13. Dinukil dari ar-Ribâ wa al-Mu’amalat al-Mashrafiyah, Dr. Umar 'Abdul-'Aziz al-Mutrik, hlm. 171.
[3]. Ar-Ribâ wa al-Mu’amalat al-Mashrafiyah, hlm. 171.
[4]. Al-Masharif wa al-A’maal al-Mashrafiyah, Dr. Gharib al-Gamal, hlm. 391.
[5]. Lihat al-Bunuk al-Islamiyah Baina an-Nazhariyat wa at-Thath-biq, hlm. 89.
[6]. Lihat buku Bank Syari’at dari Teori ke Praktek, Muhammad Antonio Syafi’i, hlm. 18.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar