19 November 2009

UMMU HABIBAH RAMLAH BINTI ABU SUFYAN


Kaum muslimah pada zaman ini perlu untuk mengetahui kisah (hidup) wanita yang mulia ini supaya mereka mengetahui keutamaan (yang dimilikinya) yang berbeda jauh antara mereka dengan (para wanita dari) generasi pertama yang telah ’lulus’ dari sekolah kenabian. Dan juga agar mereka mengetahui bagaimana keimanan (yang tinggi) bisa menciptakan hal-hal yang menakjubkan dari jiwa-jiwa orang yang memenuhi (panggilan) Allah dan Rasul-Nya, sehingga mereka menjadi pelita-pelita yang memancarkan petunjuk dan cahaya.
            Diantara pelita yang bercahaya tersebut adalah Ummul Mukminin Ramlah binti Abu Sufyan, seorang pemimpin Quraisy dan orang-orang musyrik sampai sebelum ditaklukkannya kota Mekkah (Fathu Mekkah).
            Ia beriman di atas kekufuran bapaknya saat itu. Namun bapaknya tidak mampu menghalangi puteri yang memiliki kemauan yang teguh itu agar tetap menjadi wanita kafir. Sebaliknya Ramlah menunjukkan kekuatan kepribadian dan kemauannya. Ia bersabar menahan penderitaan di jalan aqidahnya yang penuh dengan kesulitan dan hal-hal yang menakutkan. Ramlah menikah dengan Ubaidilah bin Jahsyin yang telah masuk Islam sepertinya dirinya. Tatkala permusuhan orang-orang kafir telah mencapai tingkat sangat melampaui batas, Ramlah berhijrah ke Habasyah dengan ditemani suaminya. Di tempat hijrah tersebut ia melahirkan seorang anak puteri yang diberi nama Habibah sehingga ia berkunyah (bergelar) Ummu Habibah.
            Ummu Habibah adalah wanita yang senantiasa bersabar menahan derita akibat agama yang dipeluknya. Seperti derita keterasingan, kesunyian, jauh dari keluarga serta negerinya sehingga terjadilah sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan dalam pikirannya.
            Ia berkata pada dirinya sendiri: “Saya bermimpi dalam tidur bahwa suamiku –Ubaidillah bin Jahsyin- berpenampilan sangat jelek dan buruk. Saya terkejut dan berlindung kepada Allah dari yang demikian itu. Ketika bangun di pagi hari, tiba-tiba (aku dapati) Ubaidillah bin Jahsyin (telah) masuk agama Nasrani. Saya pun mengabarkan kepadanya tentang mimpi saya, namun dia tidak memperdulikannya.”
            Orang murtad yang celaka ini selanjutnya berusaha dengan segala kemampuannya untuk mengajak isterinya meninggalkan agama Islam. Akan tetapi Ummu Habibah menolaknya dengan segala macam bentuk penolakan. Dan ia tetap bertahan dengan keimanannya, sehingga keimanannya semakin kokoh di atas keislamannya. Ketika Ummu Habibah tetap menolak dan tidak mau mengikutinya, akhirnya Ubaidillah bin Jahsyin sendirian dalam menjalani agama Nasrani dalam beberapa waktu sampai ia mati.
            Ia menghabiskan masa janda beberapa waktu di negeri hijrah dalam keadaan mengalami 2 macam siksaan yakni: siksaan jauh dari keluarga dan negeri tempat tinggal, dan siksaan janda lagi tidak memiliki keluarga. Dengan bekal keimanannya yang jujur, ia mampu bersandar pada keimanan tersebut menghadapi ujian yang keras. Ia adalah wanita yang telah merealisasikan firman Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi:
            “Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia aka mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberi riski dari arah yang tiada yang disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkannyy (keperluannya). Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki-Nya). Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (Ath-Thalaq: 2-3)
            Allah telah menetapkan Ummu Habibah memiliki kemauan yang kokoh. Dalam sebuah mimpinya, ia melihat seseorang yang memanggilnya sambil berkata: “Wahai Ummul Mukminin.” Mimpi tersebut membangunkannya lalu ia menta’wilkannya bahwa Rasulullah akan menikahinya.
            Sebelum masa iddahnya habis, salah seorang budak wanita Najasyi memberi kabar kepadanya bahwa ia akan menikah dengan Sayidul Khalqi (semoga shalawat dan salam yang sangat utama selalu terlimpahkan kepadanya). Akantetapi ia tidak yakin dengan kabar gembira tersebut sehingga budak itu berteriak: “Allah telah memberi kabar gembira berupa kebaikan kepadamu.”
            Ummu Habibah kemudian melepas perhiasannya dan diberikan kepada budak tiu karena gembira mendengar berita yang disampaikannya. Ia pun mengutus seseorang kepada Khalid bin Sa’id bin Al-‘Ash untuk menjadikannya sebagai wali dalam pernikahannya. Sedangkan Rasulullah meminta Raja Najasyi untuk menjadi walinya untuk menikahi Ummu Habibah. Dan Raja Najasyi juga mengetahui permasalahan yang dialami Ummu Habibah dalam memperjuangkan agamanya., yaitu adalah wanita yang tidak mempunyai pelindung serta pembantu. Ketika sore tiba, Raja Najasyi mengumpulkan kaum muslimin yang ada di Habasyah. Mereka dating dipimpin oleh Ja’far bin Abi Thalib, anak paman Rasulullah j.
            An-Najasyi kemudian berkhotbah:
            “Segala puji hanya milik Allah, yang merajai (alam semesta), Maha Suci, Maha Pemberi Keselamatan dan Kemauan, Yang Maha Mengawasi dan Perkasa, serta Yang Maha Perkasa dan Sombong. Saya bersaksi sesungguhnya tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, dan saya bersaksi bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, sebagaimana yang telang dikabarkanoleh Isa bin Maryam. Adapun setelah itu, Sesungguhnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalaam telah menulis surat kepada saya agar saya menikahkan beliau dengan Ummu Habibah bin Abu Sufyan. Maka saya memenuhi apa yang diserukan oleh Rasulullah. Saja juga telah memberikan maharnya (berupa uang) sebanyak 400 dinar.” Kemudian Raja Najasyi mengeluarkan uang dinar tersebut di depan kaum muslimin.
            Selanjunya Khalid bin Said berbicara:
            “Segala puji bagi Allah. Saya memuji-Nya dan meminta pertolongan hanya kepada-Nya. Saya bersaksi sesungguhnya tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Ia telah mengutusnya dengan petunjuk dan agama yang benar dalam rangka memenangkannya di atas semua agama meskipun seluruh orang-orang musyrik membencinya. Adapun setelah itu. Sesungguhnya saya telah memenuhi sesuatu yang diserukan oleh Rasulullah j. Dan saya nikahkan beliau dengan Ummu Habibah binti Abu Sufyan. Semoga Allah memberkahi kepada Rasul-Nya.”
            Najasyi memberikan uang dinar tersebut kepada Khallid bin Said dan dia menerimanya. Kemudian raja Najasyi mengadakan walimah pernikahan sambil berkata: “Duduklah kalian, sesungguhnya sunnah para Nabi jika mereka menikah hendaknya di makan hidangan itu.”
            Tatkala Khaibar telah ditklukkan, datanglah rombongan orang-orang yang berhijrah dari Habasyah. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalaam berkata: “Dengan dasar apa saya gembira? Dengan takluknya Khaibar atau dengan kedatangan Ja’far?”
Ummu Habibah termasuk bersama rombongan yang datang ketika itu. Lalu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalaam mencampurinya. Hal ini terjadi pada tahun ke-6 atau ke-7 Hijriyah. Ummu habibah telah mencapai umur 40 tahun tatkala bergabung dengan bintang-bintang yang menerangi yaitu para isteri Rasul Shalallahu ‘alaihi wassalaam untuk menjadi Ummul Mukminin. Ummu Habibah mengutamakan agamanya di atas segala-galanya. Ia lebih mengutamakan aqidahnya di atas kaum kerabatnya. Ia pun menyatakan bahwa loyalitasnya hanya untuk Allah Rasul-Nya dan tidak diberikan kepada seorang pun selain keduanya.
Diantara buktinya adalah sikapnya terhadap Abu Sufyan (bapaknya) tatkala datang menemui ketika ia telah menjadi isteri Rasul di Madinah. Abu Sufyan bermaksud meminta bantuannya dan menjadikannya sebagai perantara terhadap Rasul Shalallahu ‘alaihi wassalaam untuk memprbaharui masa perjanjian Hudaibiyah setelah kaum musyrikin mengkhianati perjanjian mereka.
Ketika itu Abu Sufyan ingin duduk di atas tikar Nabi j. secara spontan Ummu Habibah melipatnya. Abu Sufyan berkata kepadanya sambil terheran-heran: “Wahai puteriku, apakah engaku (lebih) mengutamakan aku daripada tikar ini, atau engkau (lebih) mengutamakan tikar ini daripada aku?”
Lalu ia menjawab dengan penuh keberanian dan ketenangan serta tidak cemas terhadap kekuatan da kekuasaan bapaknya: “Ini adalah tikar Rasulullah j, sedangkan engkau adalah seorang laki-laki yang musyrik lagi najis. Saya tidak menyukai engkau duduk di atas tikar Rasulullah.”
Maka Abu Sufya berkata kepadanya: “Demi Allah, wahai anakku, sesungguhnya engkau akan ditimpa keburukan setelahku.”
Maka ia berkata diiringi rasa harga diri dan keyakinan yang sangat tinggi: “Allah telah membimbingku kepada Islam. Sedangkan engkau wahai bapakku, adalah pemimpin kaum Quraisy. Mengapa engkau tidak masuk Islam saja? Mengapa engkau menyembah batu yang tidak bisa melihat dan mendengar?” Abu Sufyan pun pergi sambil marah dan kecewa kepada puterinya.
Sesungguhnya sikap ia benar yaitu sikap yang pantas diperoleh oleh ssemua orang yang mempunyai kebesaran dan kesombongan dari Ummul Mukminin Ummu Habibah. Kalau para wanita bersikap sepertinya, pastilah terjadi apa yang telah terjadi…..
Setelah Rasulullah telah kembali keharibaan Allah, Ummu Habibah menetap di rumahnya dan ia tidak keluar darinya kecuali untuk shalat. Ia tidak meninggalkan kota Madinah kecuali untuk menunaikan ibadah haji, sampai maut menjemputnya ketika ia berusia tujuh puluhan. Sungguh ia telah memberi tauladan yang paling tinggi dalam merih kejayaan dengan agama dan dalam berupaya istiqamah di atasnya. Dan ia telah meraih kedudukan yang tinggi di atas kejahiliyahan, dan ia tidak menilai sesuatu karena nasab jika hal itu bertentangan dengan aqidah. Semoga Allah meridhainya dan menjadikannya orang yang ridha terhadap-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar