Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, lahir sekitar 1450 M, namun ada juga
yang mengatakan bahwa beliau lahir pada sekitar 1448 M. Sunan Gunung
Jati adalah salah satu dari kelompok ulama besar di Jawa bernama walisongo.
Orang tua
Sunan Gunung Jati bernama Syarif Hidayatullah, lahir sekitar
tahun 1450. Ayah
beliau adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar.
Jamaluddin Akbar adalah seorang Muballigh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Maulana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucu beliau Imam Husain.
Jamaluddin Akbar adalah seorang Muballigh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Maulana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucu beliau Imam Husain.
Ibunda
Ibunda Sunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang,
seorang putri keturunan Kerajaan Sunda, anak dari Sri Baduga Maharaja, atau dikenal juga sebagai Prabu
Siliwangi dari perkawinannya dengan Nyai Subang Larang.
Makam dari Nyai Rara Santang bisa
kita temui di dalam klenteng di Pasar Bogor ,
berdekatan dengan pintu masuk Kebun Raya Bogor.
Silsilah
.Sunan Gunung Jati @ Syarif Hidayatullah
Al-Khan bin
.Sayyid 'Umadtuddin Abdullah Al-Khan bin
.Sayyid 'Ali Nuruddin Al-Khan @ 'Ali Nurul
'Alam
.Sayyid Syaikh Jumadil Qubro @ Jamaluddin
Akbar Al-Khan bin
.Sayyid Ahmad Shah Jalal @ Ahmad Jalaludin
Al-Khan bin
.Sayyid Abdullah Al-'Azhomatu Khan bin
.Sayyid Amir 'Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad ,India )
bin
.Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin
.Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut)
.Sayyid Ali Kholi' Qosim bin
.Sayyid Alawi Ats-Tsani bin
.Sayyid Muhammad Sohibus Saumi'ah bin
.Sayyid Alawi Awwal bin
.Sayyid Al-Imam 'Ubaidillah bin
.Ahmad
al-Muhajir bin
.Sayyid 'Isa Naqib Ar-Rumi bin
.Sayyid Muhammad An-Naqib bin
.Sayyid Al-Imam Ali Uradhi bin
.Sayyidina Ja'far As-Sodiq bin
.Sayyidina Muhammad Al Baqir bin
.Sayyidina 'Ali Zainal 'Abidin bin
.Al-Imam Sayyidina Hussain
Al-Husain putera Ali bin Abu Tholib dan
Fatimah Az-Zahro binti Muhammad
Silsilah dari Raja Pajajaran
.Sunan Gunung Jati @ Syarif Hidayatullah
.Rara Santang (Syarifah Muda'im)
.Prabu Jaya Dewata @ Raden Pamanah Rasa @
Prabu Siliwangi II
.Prabu Dewa Niskala (Raja Galuh/Kawali)
.Niskala Wastu Kancana @ Prabu Siliwangi I
.Prabu Linggabuana @ Prabu Wangi (Raja yang tewas di Bubat
Ibu
Ibunda Syarif Hidayatullah adalah Nyai Rara Santang putri Prabu
Siliwangi (dari Nyai Subang Larang) adik Pangeran
Walangsungsang bergelar Cakrabuwana / Cakrabumi atau Mbah Kuwu Cirebon
Girang yang berguru kepada Syekh
Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad bernama
asli Idhafi Mahdi.
Makam Nyai Rara Santang bisa kita temui di dalam komplek KLENTENG di Pasar Bogor , di sebelah Kebun
Raya Bogor.
Pertemuan orang tua Sunan Gunung Jati
Pertemuan Rara Santang dengan Syarif Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar masih
diperselisihkan. Sebagian riwayat (lebih tepatnya mitos) menyebutkan bertemu
pertama kali di Mesir,
tapi analisis yang lebih kuat atas dasar perkembangan Islam di pesisir ketika
itu, pertemuan mereka di tempat-tempat pengajian seperti yang di Majelis Syekh Quro,
Karawang (tempat belajar Nyai Subang Larang ibunda dari Rara Santang) atau di Majelis Syekh Kahfi,
Cirebon (tempat belajar Kiyan Santang kakanda dari Rara Santang).
Syarif Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar, sangat mungkin terlibat aktif
membantu pengajian di majelis-majelis itu mengingat ayahanda dan kakek beliau
datang ke Nusantara sengaja untuk menyokong perkembangan agama Islam yang telah
dirintis oleh para pendahulu.
Pernikahan Rara Santang putri Prabu Siliwangi / Nyai Subang Larang dengan
Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar melahirkan seorang putra yang diberi nama
Raden Syarif Hidayatullah.
Perjalanan Hidup Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
Proses belajar
Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecendrungan spiritual dari kakek
buyutnya Syekh Mawlana Akbar sehingga ketika telah selesai belajar agama di pesantren
Syekh Kahfi beliau meneruskan ke Timur Tengah. Tempat mana saja yang dikunjungi
masih diperselisihkan, kecuali (mungkin) Mekah dan Madinah karena ke
2 tempat itu wajib dikunjungi sebagai bagian dari ibadah haji untuk umat Islam.
Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuwana membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai
pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Raden Syarif Hidayat mengambil peranan
mambangun kota Cirebon dan
menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setelah Uwaknya
wafat.
Pernikahan
Memasuki usia dewasa sekitar diantara tahun 1470-1480, beliau menikahi adik
dari Bupati Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari
pernikahan ini beliau mendapatkan seorang putri yaitu Ratu
Wulung AyuMawlana Hasanuddin yang
kelak menjadi Sultan Banten I. dan
Kesultanan Banten
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Kesultanan Banten berawal ketika Kesultanan
Demak memperluas pengaruhnya ke daerah barat. Pada tahun 1524/1525, Sunan
Gunung Jati bersama pasukan Demak merebut pelabuhan Banten dari kerajaan
Sunda, dan mendirikan Kesultanan Banten yang berafiliasi ke Demak. Menurut
sumber Portugis, sebelumnya Banten merupakan salah satu pelabuhan Kerajaan
Sunda selain pelabuhan Pontang, Cigede, Tamgara (Tangerang), Sunda
Kalapa dan Cimanuk.
Sejarah
Anak dari Sunan Gunung Jati (Hasanudin) menikah dengan seorang putri dari
Sultan Trenggono dan melahirkan dua orang anak. Anak yang pertama bernama Maulana Yusuf. Sedangkan
anak kedua menikah dengan anak dari Ratu Kali Nyamat dan menjadi Penguasa
Jepara.
Terjadi perebutan kekuasaan setelah Maulana Yusuf wafat (1570). Pangeran
Jepara merasa berkuasa atas Kerajaan Banten daripada anak Maulana Yusuf yang
bernama Maulana Muhammad karena Maulana Muhammad masih terlalu muda. Akhirnya Kerajaan Jepara menyerang
Kerajaan Banten. Perang ini dimenangkan oleh Kerajaan Banten karena dibantu
oleh para ulama.
Puncak kejayaan
Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abu Fatah
Abdulfatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan
Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju
pesat. Wilayah kekuasaannya meliputi sisa kerajaan Sunda yang tidak direbut
kesultanan Mataram dan serta wilayah yang sekarang menjadi provinsi Lampung.
Piagam Bojong menunjukkan bahwa tahun 1500 hingga 1800 Masehi Lampung dikuasai
oleh kesultanan Banten.
Masa kekuasaan Sultan Haji
Pada zaman pemerintahan Sultan Haji, tepatnya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung
diserahkan kepada VOC.
seperti tertera dalam surat
Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang
sedang berlabuh di Banten. Surat itu kemudian
dikuatkan dengan surat
perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat VOC memperoleh hak monopoli
perdagangan lada di Lampung
Penghapusan kesultanan
Kesultanan Banten dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah
kolonial Inggris. Pada tahun itu, Sultan Muhamad
Syafiuddin dilucuti dan dipaksa turun takhta oleh Thomas Stamford Raffles. Tragedi ini
menjadi klimaks dari penghancuran Surasowan oleh Gubernur-Jenderal
Belanda, Herman William Daendels tahun 1808.[1]
Daftar pemimpin Kesultanan Banten
- Sunan Gunung Jati
- Sultan Maulana Hasanudin 1552 - 1570
- Maulana Yusuf 1570 - 1580
- Maulana Muhammad 1585 - 1590
- Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir 1605 - 1640 (dianugerahi gelar tersebut pada tahun 1048 H (1638) oleh Syarif Zaid, Syarif Makkah saat itu.[2])
- Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad 1640 - 1650
- Sultan Ageng Tirtayasa 1651-1680
- Sultan Abdul Kahar (Sultan Haji) 1683 - 1687
- Abdul Fadhl / Sultan Yahya (1687-1690)
- Abul Mahasin Zainul Abidin (1690-1733)
- Muhammad Syifa Zainul Ar / Sultan Arifin (1750-1752)
- Muhammad Wasi Zainifin (1733-1750)
- Syarifuddin Artu Wakilul Alimin (1752-1753)
- Muhammad Arif Zainul Asyikin (1753-1773)
- Abul Mafakir Muhammad Aliyuddin (1773-1799)
- Muhyiddin Zainush Sholihin (1799-1801)
- Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)
- Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803)
- Aliyuddin II (1803-1808)
- Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809)
- Muhammad Syafiuddin (1809-1813)
- Muhammad Rafiuddin (1813-1820)
Referensi
Sumber
- ^ Memimpikan Takhta Kesultanan Banten. Harian Kompas, Senin, 22 Desember 2003,
- ^ Jejak Syariah dan Khilafah di Indonesia
Pranala luar
- (id)Sia-sia, Kalau Bangkitkan Sosok Sultan Banten. Harian Kompas, 28 Maret 2003
- (id)Menunggu Kembalinya Sultan Banten. Republika, 7 September 2003
- (id)Ribuan Peziarah Serbu Masjid Agung Banten. TempoInteraktif, 26 Oktober 2006
- (id)Kesultanan Banten? Wallah(id)Sia-sia, Kalau Bangkitkan Sosok Sultan Banten. Harian Kompas, 28 Maret 2003
- (id)Menunggu Kembalinya Sultan Banten. Republika, 7 September 2003
- (id)Ribuan Peziarah Serbu Masjid Agung Banten. TempoInteraktif, 26 Oktober 2006
- (id)Kesultanan Banten? Wallahualam…. Harian Kompas, 26 April 2003
Kesultanan Demak
Masa ini kurang banyak diteliti para sejarawan hingga tiba masa pendirian Kesultanan
Demak tahun 1487 yang mana beliau memberikan andil karena sebagai anggota
dari Dewan Muballigh yang sekarang kita kenal dengan nama Walisongo.
Pada masa ini beliau berusia sekitar 37 tahun kurang lebih sama dengan usia Raden Patah
yang baru diangkat menjadi Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah. Bila
Syarif Hidayat keturunan Syekh Mawlana Akbar Gujarat dari pihak ayah, maka
Raden Patah adalah keturunan beliau juga tapi dari pihak ibu yang lahir di
Campa.
Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa bukan hanya di
Demak, maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian bawahan vassal state dari kesultanan
Demak, terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang pelantikan Syarif
Hidayatullah secara resmi sebagai Sultan Cirebon.
Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan Ampel, Ulama yang
paling di-tua-kan di Dewan Muballigh, bahwa agama Islam akan disebarkan di P.
Jawa dengan Kesultanan Demak sebagai pelopornya.
Gangguan proses Islamisasi
Setelah pendirian Kesultanan Demak antara tahun 1490 hingga 1518 adalah
masa-masa paling sulit, baik bagi Syarif Hidayat dan Raden Patah karena proses
Islamisasi secara damai mengalami gangguan internal dari kerajaan Pakuan dan Galuh (di Jawa Barat) dan Majapahit (di
Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan gangguan external dari Portugis yang
telah mulai expansi di Asia Tenggara.
Tentang personaliti dari Syarif Hidayat yang banyak dilukiskan sebagai
seorang Ulama kharismatik, dalam beberapa riwayat yang kuat, memiliki peranan
penting dalam pengadilan Syekh Siti Jenar pada tahun 1508 di pelataran
Masjid Demak. Ia ikut membimbing Ulama berperangai ganjil itu untuk menerima
hukuman mati dengan lebih dulu melucuti ilmu kekebalan tubuhnya.
Eksekusi yang dilakukan Sunan Kalijaga akhirnya berjalan baik, dan dengan
wafatnya Syekh Siti Jenar, maka salah satu duri dalam daging di Kesultana Demak
telah tercabut.
Raja Pakuan di awal abad 16, seiring masuknya Portugis di Pasai dan Malaka,
merasa mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif Hidayat yang telah
berkembang di Cirebon
dan Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam kekuasaan Pakuan.
Di saat yang genting inilah Syarif Hidayat berperan dalam membimbing Pati Unus
dalam pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di P. Jawa
dengan misi utama mengusir Portugis dari wilayah Asia Tenggara. Terlebih dulu
Syarif Hidayat menikahkan putrinya untuk menjadi istri Pati Unus yang ke 2 di
tahun 1511.
Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat fatal di tahun 1521
memaksa Syarif Hidayat merombak Pimpinan Armada Gabungan yang masih tersisa dan
mengangkat Tubagus Pasai (belakangan
dikenal dengan nama Fatahillah),untuk menggantikan Pati Unus yang syahid di
Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru untuk memancing
Portugis bertempur di P. Jawa.
Sangat kebetulan karena Raja Pakuan telah resmi mengundang Armada Portugis
datang ke Sunda Kelapa sebagai dukungan bagi kerajaan Pakuan yang sangat lemah
di laut yang telah dijepit oleh Kesultanan
BantenKesultanan Cirebon di Timur. di Barat dan
Kedatangan armada Portugis sangat diharapkan dapat menjaga Sunda Kelapa dari
kejatuhan berikutnya karena praktis Kerajaan Hindu Pakuan tidak memiliki lagi kota pelabuhan di P. Jawa setelah Banten dan Cirebon menjadi
kerajaan-kerajaan Islam.
Tahun 1527 bulan
Juni Armada Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari Pasukan Islam yang
telah bertahun-tahun ingin membalas dendam atas kegagalan expedisi Jihad di
Malaka 1521.
Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara resmi ke dalam Kesultanan
Banten-Cirebon dan di rubah nama menjadi Jayakarta dan
Tubagus Pasai mendapat gelar Fatahillah.
Perebutan pengaruh antara Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten segera bergeser
kembali ke darat. Tetapi Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan banyak wilayah
menjadi sulit menjaga keteguhan moral para pembesarnya. Satu persatu dari para
Pangeran, Putri Pakuan di banyak wilayah jatuh ke dalam pelukan agama Islam.
Begitu pula sebagian Panglima Perangnya.
Perundingan Yang Sangat Menentukan
Satu hal yang sangat unik dari personaliti Syarif Hidayat adalah dalam
riwayat jatuhnya Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda pada tahun 1568 hanya setahun
sebelum beliau wafat dalam usia yang sangat sepuh hampir 120 tahun (1569).
Diriwayatkan dalam perundingan terakhir dengan para Pembesar istana Pakuan,
Syarif Hidayat memberikan 2 opsi.
Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga
kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau Panglima dan
dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing. Yang ke dua adalah bagi
yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton masing-masing
dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di pedalaman Banten
wilayah Cibeo sekarang.
Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini,
sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi ke 1. Sedang
Pasukan Kawal Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps
Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka inilah cikal bakal
penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus menjaga anggota pemukiman hanya
sebanyak 40 keluarga karena keturunan dari 40 pengawal istana Pakuan. Anggota
yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy Luar.
Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah opsi ke 3 yang diminta
Para Pendeta Sunda Wiwitan. Mereka menolak opsi pertama dan ke 2.
Dengan kata lain mereka ingin tetap memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran Hindu
di wilayah Pakuan) tetapi tetap bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan.
Sejarah membuktikan hingga penyelidikan yang dilakukan para Arkeolog asing
ketika masa penjajahan Belanda, bahwa istana Pakuan dinyatakan hilang karena
tidak ditemukan sisa-sisa reruntuhannya. Sebagian riwayat yang diyakini kaum
Sufi menyatakan dengan kemampuan yang diberikan Allah karena doa seorang Ulama
yang sudah sangat sepuh sangat mudah dikabulkan, Syarif Hidayat telah
memindahkan istana Pakuan ke alam ghaib sehubungan dengan kerasnya penolakan
Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun sekadar keluar
dari wilayah Istana Pakuan.
Bagi para sejarawan beliau adalah peletak konsep Negara Islam modern ketika
itu dengan bukti berkembangnya Kesultanan Banten sebagi negara maju dan makmur
mencapai puncaknya 1650 hingga 1680 yang runtuh hanya karena pengkhianatan
seorang anggota istana yang dikenal dengan nama Sultan Haji.
Dengan segala jasanya umat Islam di Jawa Barat memanggil beliau dengan nama
lengkap Syekh Mawlana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar