بِسْــــــــــــــــــمِ اﷲِارَّحْمَنِ ارَّحِيم
Seolah saya terkena palu Godam, saat dikisahkan dialog sahabat. Abu Hurairah ra berkata: “Ada seseorang shalat sudah 60 tahun lamanya. Tapi sesungguhnya ia tak shalat!”
“Mengapa bisa begitu?” Spontan seorang sahabat bertanya terkaget-kaget.
“Ketika sujud tak sempurna, ruku juga tak sempurna, dan berdirinya pun tak sempurna. Dia shalat tapi tak khusyuk”, jawab Abu Hurairah ra.
Deeesss... seolah saya dihempas. Dan lebih terhempas lagi karena ditambahi pesan Umar bin Khatab ra: “Ada yang sudah berislam sampai tua dan beruban. Tapi tak satu rakaat pun dia shalat. Sebab ruku dan sujudnya tak sempurna”.
Lha, itu kan saya. Usia saya sudah Isya. Puluhan tahun shalat, masalahnya tetap kedodoran hadirkan khusyuk. Teringat dulu ketika mulai niat serius sujud. Azam digurat. Meski shubuh bolang-bolong, saya akan tetap jalani shalat sampai akhir hayat.
Alhamdulillah sudah terjalani. Namun dialog di atas, astagfirullah, sujud apa yang saya jalani selama ini. Tampak sepele. Cuma sekadar konsen khusyuk. Tapi sepanjang shalat, sepanjang itu pula sulit mengingat Allah. Dalam shalat, "jangan-jangan apapun dipikirkan kecuali Tuhan".
Dalam sebuah riwayat, Imam Ghazali ra pun ingatkan: “Saat sujud, disangkanya dia sedang mendekat pada Allah SWT. Padahal demi Allah. Jika mungkarnya sujud ditampakkan, maka hancurlah dunia. Dia memang sujud. Tapi pikirannya kemana-mana”.
_*Entah mengapa pikiran saya langsung ke jalan raya. Dalam berlalu lintas, kualitas kesabaran saya memang tampak belangnya. Sering saya tak terima saat disalip mobil yang tiba-tiba*_. _*Dalam kondisi tersulut, tak terpikir mobil lain terburu-buru karena sedang bawa orang sakit, misalnya. Atau tergesa-gesa karena hendak ujian. Atau bisa jadi yang di dalam mobil tergopoh-gopoh karena diburu deadline*_.
Waktu panas hati, itu bukti nafsu telah kuasai diri. Maunya menang sendiri. Begitu muncul kata “kurang ajar”, segera kaki tangan mainkan pedal gas dan setir. Untuk apa? Lidah ini segera saja mengucap: “Musti dididik tuh mobil”.
Istilah mendidik jadi “pengesah kesewenangan”. Nafsu mazmummah jadi komandan. Dengan istilah mendidik, jahatnya nafsu tersisih. Seolah sah nan mulya didik supir sebelah. Padahal yang jadi soal nafsu sendiri. Yang ditaklukan, mustinya ya nafsu sendiri dong.
Dipikir-pikir masih emosi dalam keseharian, artinya shalat gagal cegah yang mungkar. Masih mata duitan dan mata keranjang, shalat tak berhasil cegah diri berkeji-keji. Padahal, ya padahal. Katanya shalat itu pencegah perbuatan keji dan mungkar.
Yang saya pelajari, keji dan mungkar, bisa ditaklukan dengan shalat khusyuk. Yang namanya khusyuk, hati ini hadirkan Kemahaan Allah SWT. Saat shalat, esensinya kita ingat Allah. Nah ketika shalat tak ingat Allah, ini “cilaka di atas cilaka”.
Shalat yang mustinya “ingat Allah malah tak ingat”. Maka bagaimana lagi pada waktu tak shalat. Pasti tak ada dan pasti tak ingat Allah. Akhirnya keji dan mungkar jadi bagian sehari-hari.
Imam Ahmad ra mengatakan: “Ada sebuah zaman dimana umat jalankan shalat tetapi sesungguhnya mereka tak shalat. Yang aku takuti itu terjadi di zamanku”. Jika generasi sabiquna awwalun berkata seperti itu, lha saya ini hidup di zaman apa.
Rasulullah SAW pun berpesan: “Ya Allah, jadikan shalat ini jadi penenang diriku”.
Sang uswah sudah jelas “kekasih Allah”. Mengapa harus berdoa begitu. Yang jadi soal utama, mengapa selama ini saya merasa tenang dan tentram dengan shalat yang ala kadarnya. Mengapa saya merasa bangga dengan ibadah yang jangan-jangan compang camping karena diomong-omongkan ke sana sini.
Ingin khusyuk mudah. Lakukan khusyuk, masya Allah ternyata inilah satu bentuk “jihad sesungguhnya”.
Duuuh shalatku. Maka ada karib yang seolah tahu kesulitan saya. Dia ajari doa di tiap akhir sujud: “Ya Allah, jangan Engkau lempar shalat ini sebagai sampah ke wajahku. Dan jangan pula Engkau benamkan kami ke Neraka Wail karena kelalaian kami mengerjakan shalat ini. Ampuni dan maafkan kekurangan kami dalam menjalankan shalat ini. Baik shalat yang telah lalu, yang sekarang kami jalankan, maupun yang esok kami hendak tegakkan. Cukupkan dan sempurnakan shalat kami”. Aamiin yra.....
--------
Astaghfirullohal 'adziiim......
Aoakah ketika telah berkemampuan melakukan aneka macam amalan sholat fardhu dan sunnat, baca qur'an, puasa, dzikir, sedekah, dll,
Lantas menyangka bahwa usaha dirinya dlm ibadah seperti itu telah sukses untuk menyambungkan dirinya kepada Alloh Subhanahu wata'ala ...??
Padahal yang dapat menyambungkan ke Alloh Subhanahu wata'ala adalah Alloh Yg Maha Kasih , DIA Maha Kuasa dan kita tak punya kekuasaan apa apa
Dan DIA selalu melihat ke arah HATI yg TULUS **
Karena di dalam ketulusan Hati pasti terdapat Kejujuran, kecintaan sejati pdNYA, dan pd Rasulullah saw ketaatan, kelembutan dan keindahan Akhlak.
Alloh Subhanahu Wata'ala berfirman dalam hadis qudsi :
Wahai HambaKU....
Kalau engkau datang padaKU dengan melakukan ibadah dengan kemampuanmu, maka AKUlah TUHAN yg nanti akan menagih akan HAQKU dan menagih penyertaanKU pd badanmu yg menjadi pelaku pada engkau beramal"
-------
Keterangan :
**
HATI YANG TULUS ITU ADALAH, apabila diri merasa apa-apa yang dilakukan dan di af'alkan kepada diri lakunya ALLOH
, semata-mata apa yang diri lakukan adalah taufiq, hidayah, karunia dan rahmad dari ALLOH semata,
tiada yang dapat diri lihat kecuali ALLOH semata,
selain itu adalah kebohongan semata (tipuan syaithan).....
sudah sepatutnya sang hamba yang fakir selalu dalam keadaan memperbaiki NIAT setiap akan beramal, sedang beramal, sesudah beramal, apakah benar amalan diri hanya untuk mencari RIDHO ALLOH semata. ..??
..Yaa ALLOH......
..hanya kepada ALLOH saja yg di maksud..
..hanya RIDHO ALLOH saja yang di harap
Istighfar yuk
Astaghfirullahal 'adziim.......
صلوا على النبي صلي الله عليه و سلم
Tidak ada komentar:
Posting Komentar